Konten dari Pengguna

Rasisme dan Prasangka dalam Novel Klasik Amerika 'To Kill A Mockingbird'

Adzra Nabila Ardina (Civitas Academica Universitas Andalas)
Currently study as an English Literature student in Andalas University.
23 Oktober 2021 20:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adzra Nabila Ardina (Civitas Academica Universitas Andalas) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak mengetahui karya sastra klasik Amerika berjudul To Kill A Mockingbird? Novel yang ditulis oleh seorang wanita asal Monrovielle, Alabama, USA itu kepopulerannya tidak habis termakan oleh waktu, bahkan hingga saat ini. Nelle Harper Lee menerbitkan novel pertamanya berjudul To Kill A Mockingbird pada tahun 1960. Dalam waktu singkat dari debutnya, novel tersebut laku keras bahkan menjadi best seller di beberapa toko buku Amerika.
ADVERTISEMENT
Harper Lee mengambil latar pada tahun 1930-an di Maycomb, Alabama. Pada saat itu terjadi krisis perekonomian dunia yang dikenal sebagai great depression yang mana dampaknya mempengaruhi perbedaan antara kulit hitam dan kulit putih. Secara keseluruhan, To Kill A Mockingbird bertemakan tentang rasisme. Namun, di dalamnya banyak sekali pelajaran yang dapat diambil tentang kehidupan sosial, seperti keadilan, buruknya akibat dari sebuah prasangka, serta pengaruh didikan keluarga.
Novel ini menceritakan tentang rasisme dari sudut pandang seorang gadis berusia 6 tahun bernama Scout Finch. Scout adalah seorang anak dengan kesadaran layaknya orang dewasa. Dia melihat semua orang dengan cara yang sama. Dia tidak memiliki pandangan rasis terhadap salah satu orang meski dari ras yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Masalah dimulai ketika ayah Scout, Atticus Finch, yang merupakan seorang pengacara kulit putih di Maycomb, mengambil keputusan untuk membela seorang pria kulit hitam yang dituduh memperkosa seorang wanita kulit putih. Keputusan Atticus ini mengubah kehidupan keluarga kecil mereka, ditambah dengan fakta bahwa Atticus dibenci oleh masyarakat sebab dia menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran, serta menentang diskriminasi ras, ketidakadilan, kebencian, dan kemunafikan. Atticus mengemukakan fakta bahwa Tom Robinson, orang yang ia perjuangkan keadilannya, tidak bersalah dan kebenaran itu tidak dapat disangkal. Yang terjadi kepada Tom Robinson adalah sebuah ketidakadilan. Namun seorang kulit hitam tetap menjadi orang dengan derajat rendah bagi masyarakat Maycomb. Prasangka buruk mereka terhadap kulit hitam tak dapat dipatahkan oleh sejumlah fakta yang kebenarannya di depan mata.
ADVERTISEMENT
“Orang pada umumnya melihat apa yang mereka cari dan mendengar apa yang mereka dengarkan.” Itulah yang ditulis Harper Lee pada novelnya. Meski Tom Robinson tidak bersalah, namun tidak ada kesempatannya untuk menang di pengadilan. Scout dan Jem, anak-anak Atticus Finch pun ikut menyaksikan proses pengadilan secara langsung, dan mereka mengetahui bahwa kehidupan orang dewasa tidak hanya sebatas hitam dan putih.
To Kill the Mockingbird berbicara tentang prasangka rasial dan diskriminasi. Penulis ingin menunjukkan kepada pembacanya bahwa prasangka rasial terlihat di mana-mana dan setiap saat dalam kehidupan sosial. Bahkan mungkin kita semua terkadang menjadi pelaku prasangka rasial di masyarakat secara sadar atau tidak. Hal-hal prasangka rasial diekspresikan melalui sikap seperti menunjukkan ketidaksukaan atau ketidakpercayaan terhadap kelompok atau orang dari suatu ras tertentu. Prasangka mendominasi dan membutakan manusia, sehingga keadilan tidak bisa ditegakkan dengan sempurna. Meski pada hakikatnya, prasangka itu berarti membohongi diri sendiri sebab menolak kebenaran. Dikutip dalam ulasannya pada bulan Agustus 1960, majalah Time mengatakan bahwa “Novel ini adalah kisah tentang kebangkitan kebaikan dan kejahatan.”
ADVERTISEMENT
To Kill a Mockingbird adalah sedikit gambaran bagaimana sistem hukum di Amerika berlaku pada saat itu. Keadilan tidak dapat ditegakkan sebab mata manusia dibutakan oleh prasangka yang entah di mana kebenarannya. Meski kebenaran sudah di depan mata, jika mata hati mereka tertutup prasangka yang buruk, maka tidak ada artinya kebenaran tersebut.
Mengenai prasangka ini pun banyak terjadi di sekitar kita. Berapa banyak orang yang hingga pada hari ini dirugikan, sebut saja misalnya dibunuh sebab prasangka yang membutakan mata hati. Prasangka sejalan dengan hawa nafsu, dan memang sulit untuk mengontrol keduanya secara bersamaan. Namun akan sangat baik jika manusia tidak mengikuti prasangka yang timbul di hatinya, sebab kebenarannya masih belum bisa dibuktikan.
ADVERTISEMENT
Salah satu dialog yang menyentuh banyak pembaca ialah ucapan Atticus yang ia sapaikan kepada anak perempuannya, Scout. "Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya." Dari kutipan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa melihat seseorang hanya dari satu sudut pandang, bukan berarti dapat menjadikan kita berhak menilai orang tersebut. Di dunia saat ini, begitu banyak orang yang mudah menilai seseorang hanya berdasarkan ‘katanya’, yang tidak jelas kebenarannya dan hanya disampaikan dari mulut ke mulut.
Harper Lee membuktikan bahwa untuk menyingkirkan kejahatan, setiap orang harus diperlakukan dengan adil. Dia mengungkapkan ini melalui kutipan dan percakapan di sepanjang cerita. Dia menjelaskan bagaimana orang di dunia nyata harus memperlakukan orang lain dalam menghadapi rasisme dan ketidaksetaraan. Dan masalah modern ini masih ada di masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Tentu banyak orang yang terinspirasi setelah membaca novel yang ditulis oleh Harper Lee ini. Kesadaran akan kesetaraan di mata hukum terbuka setelah narasi demi narasi yang indah dibaca oleh mata. Salah satunya ialah Diana Degette, seorang pengacara Amerika yang membagikan cuitannya di media sosial pada hari kematian Harper Lee. Dia mengatakan bahwa Harper Lee sangat menginspirasinya. “Karya Harper Lee menginspirasi saya dan jutaan orang lain untuk berdiri menentang diskriminasi dan menegakkan keadilan. Dia akan dirindukan.”
Novel ini dikemas dengan alur yang sangat menarik. Tak hanya menceritakan tentang rasis dan keadilan yang tidak ditegakkan dengan seharusnya, namun juga keharmonisan serta baiknya didikan keluarga yang positif dan benar.
Banyak pencapaian yang diraih Harper Lee setelah buku pertamanya ini terbit. Pada tahun 1961, To Kill a Mockingbird meraih penghargaan Pulitzer Prize untuk Fiksi setelah berada di daftar buku terlaris selama lebih dari 40 minggu. Pulitzer Prize merupakan penghargaan terbesar dan bergengsi terhadapa karya sastra di bidang jurnalisme cetak Amerika Serikat. Selain itu, novel ini juga diangkat menjadi film layar lebar dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa di dunia. To Kill A Mockingbird pula lah yang menghantarkan nama Harper Lee ke permukaan hingga dikenal dunia sebagai salah satu sastrawan terkenal.
ADVERTISEMENT