Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Kita Perlu Melewati Badai
29 Agustus 2017 9:51 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Anis Saadah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber : Pexels.com
Malam semakin larut. Udara dingin menembus tirai dan ventilasi kamar villa. Saya menarik selimut, lalu meringkuk meski tidak mengantuk. Udara dingin, memang saat terbaik untuk bermalas-malasan, bermain gawai, menulis status dan menunggu notifikasi. Tepat disamping saya, seorang aktivis Koperasi Mahasiswa (Kopma) juga melakukan hal yang sama, asyik dengan selimut dan gawainya.
ADVERTISEMENT
Penghuni kamar sebenarnya ada empat orang, tidur berdesak-desakan. Sudah dua hari tidur di tempat yang sama, saling mengenal meskipun tidak sampai saling mencintai. Dan malam itu, kami berdua sengaja bermalas-malasan. Menghindari sidang pleno Rapat Akhir Tahun koperasi yang membosankan.
“Mas, saya minder kalau ketemu sama kopma lain,” ia membuka pembicaraan tanpa menoleh. Masih asik dengan gawainya.
“Memang kenapa?” Saya menjawab tanpa menoleh pula. Asyik bikin status baru.
“Kopma mereka besar, sementara Kopma saya tahun ini tidak bubar saja sudah bagus.”
Dia bicara, tepatnya berkeluh kesah soal nasib kopma-nya dan kawan seperjuangannya. Dia mengaku punya semangat besar dalam berkoperasi, juga dalam berwirausaha. Tapi naas, pihak kampus mendukung setengah hati. Jangankan dimodali, yang ada ruko mereka terus didorong-dorong hingga pojok kampus yang pengap. Gelap dan berhantu, barangkali.
ADVERTISEMENT
Satu persatu kawannya juga banyak yang pergi, tidak kuat. Sekarang, katanya, yang tersisa hanya sekretaris dan bendaharanya saja. Pengurus bidang dan para staffnya entah sudah pergi kemana. Pernah ada rekruitmen, tapi tidak lama berselang bubar kembali.
Dia iri sama kopma yang didukung kampusnya, yang berdiri begitu megahnya. Aktivisnya tampil parlente dengan kemeja, celana bahan juga pantofel, juga dasi, juga rambut yang klimis. Sementara dia jangankan kepikiran berpakaian seperti itu, tidak diusir kampus saja sudah bagus.
****
Di awal kuliah saya pernah ikut organisasi, bersama puluhan mahasiswa lainnya. Sebulan kemudian, saya melihat satu per satu kawan saya mundur, pergi atau hijrah untuk tak kembali lagi. Internal Organisasi juga tak sebagus yang saya terka, ancur-ancuran ternyata. Bahkan, satu persatu pengurusnya juga mengundurkan diri, hingga menyisakan ketuanya saja. Ibarat kapal, organisasi ini sudah hendak karam.
ADVERTISEMENT
Saat semua orang pergi, saya tetap disitu. Karena bingung mau kemana lagi. Saya melihat dia, sang ketua, melakukan reparasi organisasinya. Dia ajak orang baru dengan semangat baru ke dalam organisasi. Tapi nasib tidak jauh beda, organaisasi oleng lagi lalu karam. Tapi dia tidak menyerah, terus melakukan inovasi dan pendekatan yang berbeda. Hingga kemudian dia berhasil.
Saat organisasi yang dia pimpin mulai stabil, saya masih menjadi pengiringnya yang baik. Menyediakan kopi dan Indomie. Tapi kemudian, ia meminta saya untuk pergi. Mencari tantangan untuk mengalami proses kesejarahan yang sama seperti yang dilaluinya dulu.
Katanya, hanya laut berbadai yang menghasilkan nakhoda piawai. Untuk menemui badai itulah saya diminta keluar dari organisasi. Meninggalkan kenyamanan.
ADVERTISEMENT
Tapi badai, kata senior saya, hanya terasa di kapal dimana saya menjadi nahkodanya. Di kapal besar, badai tidak begitu terasa apalagi bukan saya pengemudinya. Mereka yang tidak mau mencari tantangan di kapal besar, Ia tidak lebih dari ikan teri di laut lepas. Dia sebenarnya kecil, hanya lautnya saja yang besar. Begitupula orang yang berada di organisasi yang mapan, yang besar itu organisasinya, sementara ia belum tentu.
Lalu saya dibuatkan organisasi untuk saya pimpin sendiri. Namun seperti saya tebak, tidak lama berselang organisasi bubar. Luar-dalam berantakan. Saya bikin organisasi baru lagi, tapi kemudian bubar lagi. Bangkit lagi, kacau lagi.
Tapi hikmahnya, saya jadi tahu beragam masalah. Ibarat di laut, saya tau jenis badai yang menerpa dan bagaimana mengelola kapal yang oleng. Andai harus karam, bagi saya tidak masalah selama cara karamnya tidak sama seperti sebelumnya.
ADVERTISEMENT
“Kamu harusnya bangga dengan Kopmamu yang oleng itu. Apalagi Kopma itu koperasi kader, yang harus besar itu manusianya bukan koperasinya.”
“Tapi bagaimana kalau kopma-nya kandas?”
“Yang penting, kamu sudah bekerja Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”
“Saya seperti familiar dengan kalimat itu, Mas”
“Iya, itu kata-kata Pramoedya, bukan kata saya.”