Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Konten dari Pengguna
Menemukan Ruang Publik Politis di Kedai Kopi
21 Agustus 2017 13:34 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Anis Saadah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
source : pexels.com
Setahun belakangan saya mulai akrab dengan kedai kopi. Setiap ada kesempatan dan sedikit uang saya sempatkan untuk menyesap barang secangkir. Baik sendirian atau bareng teman. Bahkan di akhir pekan saya bisa duduk seharian sambil membaca dan menulis. Menulis skripsi maksudnya.
ADVERTISEMENT
Jumlah kedai di Purwokerto bisa jadi tak sebanyak seperti di kota besar, semisal jogja. Tapi makin kesini jumlah kedai kopi baru dengan beragam konsep bisnis mulai bermunculan.
Setiap kedai menawarkan konsep yang berbeda bagi para peminum dan penikmat. Ada kedai yang cocok untuk bekerja seperti Praketa Kopi karena menyediakan fasilitas wifi. Ada pula yang cocok untuk diskusi seperti Allstar coffe karena kedai buka sampai dini hari.
Mahasiswa juga mulai menjadikan kedai kopi sebagai arena untuk mengerjakan tugas, bersantai sambil wifi-an atau, ehm, yang-yangan. Mahasiswa dari golongan aktivis juga mulai ketagihan diskusi di kedai kopi karena lebih nyaman, dan tentu saja lebih instagenic.
Beberapa kali saya juga pernah gabung gabung dalam diskusi yang mereka adakan. Temanya beragam, mulai membahas isu nasional atau lokal, misal isu kampus. Kajian wacana keilmuan juga sering dilakukan, termasuk yang berbau kekiri-kirian. Karena ikut diskusi, alhamdulilah, saya jadi tahu sedikit soal ekonomi-politik, komersialisasi pendidikan dan marxisme tanpa khawatir dituduh komunis.
ADVERTISEMENT
Diskusi di kedai rasanya berbeda dibanding diskusi di sekretariat atau di kampus. Ada semacam perasaan rileks dan tenang. Rasa itu bisa jadi karena pengaruh kopi atau bisa juga karena bebas dari rasa khawatir dibubarkan. Seperti banyak nasib kegiatan diskusi di tempat lain.
Di kedai tak perlu takut dibubarkan satpam kampus atau ormas radikal. Semuanya aman terkendali. Semua orang disitu bebas untuk berdiskusi, mengkritisi kebijakan pemerintah dan mencari ide segar sembari menyesap secangkir kopi. Berbagai perencanaan aksi, even atau aktivitas sosial juga bisa dilakukan di warung kopi.
Konon, di zaman penjajahan tempo dulu para pejuang Aceh membangun opini publik dan wacana anti-kolonial di kedai kopi. Karena disana ngopi-ngopi adalah bagian dari budaya bahkan hingga kini. Dari warung kopi gagasan melawan Belanda bermunculan dan membangkitan perlawanan bersenjata yang selain merepotkan sekaligus mematikan.
ADVERTISEMENT
Fenomena kedai kopi mengingatkan saya pada teori Public shpere-nya filsuf Jerman, Jurgen Habermas. Publik, tulis Habermas, perlu ruang yang bebas dari negara (state) dan pasar (market) agar bisa mendiskusikan masalah politik, ekonomi, budaya tanpa ada batasan. Siapapun bisa berwacana dan memproduksi pemikiran agar tercipta rasionalitas untuk mewujudkan wajah demokrasi yang lebih baik.
Rasionalitas, menurut Habermas, hanya bisa dihasilkan melalui proses dialog antar subyek. Antara pikiran manusia satu dengan manusia lainnya secara diskursif. Dalam menentukan pilihan rasionalnya subyek harus bebas dari paksaan, yang bisa berasal dari pengaruh kekuasaan negara dan juga pasar.
Di Purwokerto apa yang disebut tempat publik masih banyak tersedia, taman kota salah satunya. Disana siapa saja boleh masuk asal bersedia bayar uang parkir dan perawatan. Kampus juga menyediakan fasilitas publik bagi mahasiswanya untuk berkumpul secara cuma-cuma. Tapi tidak semua tempat bisa menjadi ruang publik. Apalagi menjadi ruang publik politis. Karena tempat yang publik tidak otomatis punya ruang yang publik pula.
ADVERTISEMENT
Anthony Giddens, membedakan antara tempat (place) dan ruang (space). Tempat adalah suatu yang yang riil, berupa ruangan atau apa saja yang bisa ditempati. Taman, kampus dan kedai kopi adalah tempat. Sementara ruang adalah bersifat abstrak dimana pemikiran dan ideologi berkontestasi.
Taman dan kampus bisa jadi menyediakan tempat yang nyaman untuk diskusi. Tapi ia belum tentu menyediakan ruang kebebasan untuk berpikir dan berwacana untuk saling berkontestasi. Karena kedua tempat itu tidak otonom, secara administratif dia terikat dengan kekuasaan sehingga individu berada diruang itu sulit untuk menentukan pilihan rasionalnya.
Jadi munculnya banyak taman atau tempat yang kita sebut ruang publik sebenarnya belum bisa menjadi ruang publik ala Habermas. Karena apa yang disebut ruang publik politis adalah tempat yang memunculkan solidaritas masyarakat melakukan perlawanan terhadap sumber kekuasan dan juga kapital yang menghegemoni. Dan syaratnya tentu saja harus otonom, tidak terikat pada negara dan juga pasar.
ADVERTISEMENT
Munculnya kedai-kedai kopi seakan menjadi oase ditengah semakin sedikitnya ruang publik yang tersedia. Yaitu suatu ruang otonom dimana ia bebas secara administratif dari struktur kekuasaan negara dan juga bebas dari kepentingan pasar sehingga subyek bebas menentukan pilihan-pilihan rasionalnya tanpa paksaan apalagi ketakutan.
Kedai kopi bisa menjadi ruang untuk publik politis sebagaimana diandaikan oleh Habermas. Yaitu tempat dimana seseorang bebas bertemu, berdikusi dan membangun opini terhadap maslah kehidupan mereka. Ini tentu saja selama kedai tetap kedap terhadap kepentingan kelompok yang mengabdi untuk kepentingan penguasa dan juga kapital yang ingin merampas setiap jengkal ruang publik . []