Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Ngomong itu, Yang Penting Orang Paham
7 September 2017 0:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Anis Saadah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pexels.com
Saya mulai belajar bicara di depan publik saat menjadi ketua panitia Isra Mi'raj di sekolah. Saat itu, sebagai ketua panitia, saya harus memberikan sambutan di hadapan ratusan kawan dan puluhan guru. Sebelum tampil saya dilatih oleh guru bahasa Indonesia, almarhum pak Suendra. Ia mengajari bagaimana intonasi, bagaimana sikap dan strategi mengusir grogi.
ADVERTISEMENT
Saat masuk kuliah dan gabung di Kopkun Indonesia, saya belajar publik speaking bersama teman-teman. Kebetulan saat kami diajari langsung oleh Firdaus Putra, manager organisasi Kopkun. Ia punya kemampuan retorika yang, menurut saya, sangat baik. Kekuatannya ada pada intonasi dan kalimat yang sistematis.
Saya punya obsesi untuk bisa ngomong, meski tidak punya bakat. Kaena bagi saya saat itu, bisa bicara didepan publik itu keren sekali. Apalagi kalau bicaranya mengutip pendapat ahli, memakai istilah teknis ilmiah ben katon intelek, atau keminggris. Sayapun mulai rajin menghafal kosa kata yang menurut saya keren agar suatu waktu bisa saya kutip.
Rapat Anggota Tahunan (RAT) Koperasi Pemuda Indonesia (Kopindo) pada tahun 2015 di Bandung adalah tempat praktek yang paling saya ingat sampai sekarang. Sebelum berangkat ke Jakarta saya mempelajari Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus. Saya pelajari baik-baik, cari celah yang bisa saya hantam. Oke, ini jahat tapi waktu itu saya merasa fine-fine aja.
ADVERTISEMENT
Setelah sedikit berlatih di depan cermin, akhirnya saya berangkat ke Bandung. Di forum, saat LPJ-an, sebenarnya ada dua senior saya yang juga pengurus. Tapi saya tidak mau tau, karena seperti kata banyak orang kalau masih muda itu jangan penakut. Hantem aja hantem. Andaikata salah bisa diperbaiki belakangan.
Mulanya saya hanya ingin bicara biasa saja. Tapi karena terbawa emosi, malah jadi orasi. Yang ngomong saat itu, " kenapa setelah tiga puluh tahun aset perusahaan begitu-gitu saja. Itu menandakan adanya sistem yang buruk. Kopindo kalau tidak becus ngurus usaha sebaiknya bubar aja, atau pilih fokus mendampingi koperasi mahasasiwa secara gerakan."
Sekarang, setelah dua tahun berlalu, ketika ingat momen itu saya jadi tertawa geli. Kok saya songong banget ya, nyuruh koperasi orang bubar. Mengkritik usaha padahal saya tidak bikin buka usaha sama sekali. Tapi gak apa-apa, yang penting sudah songong, ngomong.
ADVERTISEMENT
Di banyak kesempatan, saya pernah diundang oleh mahasiswa untuk bicara. Entah itu topiknya koperasi atau yang lain. Bicara dihadapan mahasiswa relatif lebih mudah. Apalagi mahasiswanya, angakatan baru. Saya ngomong keliru dan ngasal saja mereka tidak protes. Ya namanya juga mahasiswa sekarang.
Tapi saat bicara dengan masyarakat kebanyakan, ia punya tantangannya tersendiri. Saya pernah bicara didepan sekelompok penarik beca dampingan Kopkun, selama hampir satu jam. Mereka tampak terkantuk-kantuk, bengong dan saat saya melucu, mereka tidak tertawa. It was awkward moment.
Bicara dihadapan tukang beca sebenarnya lebih efektif jika pakai bahasa jawa. Sialnya saya gak bisa, kecuali bahasa jawa ngoko yang biasa saya pakai dengan teman-teman. Maka saya menyederhanakan lagi bahasa Indonesia, meskipun kadang masih banyak istilah yang tukang beca tidak mudeng.
ADVERTISEMENT
Saat bicara dihapan tukang beca itulah saya menyadari hakikat komunikasi. Bicara yang baik adalah bicara yang dimengerti oleh lawan bicara. Bukan yang soksokan revolusioner dan ngaktipis seperti yang saya lakukan dua tahun silam di Kopindo. []