Konten dari Pengguna

Lookism & Beauty Privilege: Saat Orang Good Looking Lebih Diperlakukan Istimewa

Zera Veronica
Mahasiswa Marketing Commuication BINUS University
17 Januari 2023 18:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zera Veronica tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan mengenakan tas. Foto: KaptureHouse/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan mengenakan tas. Foto: KaptureHouse/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pernah dengar gak, sih, katanya orang yang lahir dan dikaruniai kelebihan fisik baik ganteng atau cantik maka setengah masalah hidupnya sudah kelar. Kedengarannya memang tidak adil, tapi kenyataannya memang orang-orang good loking akan mendapatkan privilege yang akan membuat hidupnya menjadi lebih enak dan lebih mudah.
ADVERTISEMENT
Riset juga menunjukkan bahwa mereka mempunyai kans yang lebih baik untuk urusan asmara, kehidupan sosial, bahkan untuk urusan karier. Nah, fenomena ini dalam ilmu psikologi dikatakan sebagai lookism.
Lookism disebut sebagai suatu istilah yang merujuk pada perlakuan diskriminatif kepada orang-orang berdasarkan penampilan fisiknya. Istilah ini pertama kali muncul pada satu tulisan di The Washington Post Magazine pada tahun 1987. Psikolog Nancy Etcoff pernah membahasnya juga dalam sebuah buku yang berjudul "Survival of The Prettiest".
Dalam bukunya tersebut, Nancy menjelaskan bahwa lookism sebagai bentuk dari prasangka dan diskriminasi yang paling sesuai dengan kehidupan bagi banyak orang. Namun sayangnya, lookism ini tidak dipandang sebagai sesuatu hal yang perlu diperhatikan juga.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan permasalahan rasisme atau bahkan seksisme. Padahal kenyataannya lookism sering kali ditemui dalam urusan asmara, lingkungan sosial, bahkan lingkungan kerja yang kerap menyebutkan persyaratan paling awal adalah penampilan fisik yang menarik.
Buktinya, salah satu riset yang paling terkenal adalah yang dilakukan oleh Karen Dion dan dua rekannya dari University og Minnesota pada tahun 1972. Dalam penelitian itu terdapat 60 responden yang merupakan mahasiswa yang diminta untuk menilai individu yang memiliki fisik yang menarik, biasa saja, dan tidak menarik.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan mayoritas responden sangat yakin bahwa semakin menarik fisik seseorang maka akan semakin bagus pula kepribadiannya. Tidak hanya itu, mereka juga meyakini bahwa semakin menarik fisiknya maka akan semakin bahagia pula rumah tangganya, juga akan lebih sukses pula karirnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat dicermati pula pada lingkungan sekitar kita. Terdapat kecenderungan orang yang memiliki fisik yang menarik akan selalu mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa dan sebaliknya. Atau contoh nyata lainnya adalah ketika bermain dating apps yang swipe kanan kiri berdasarkan faktor fisik yaitu wajah yang cantik atau ganteng.
Hal serupa juga cukup marak ditemui dalam dunia kerja meskipun jobdesk atau produktivitasnya tidak diukur berdasarkan penampilan. Namun, persyaratan yang dicari biasanya akan lebih mendahulukan orang yang berpenampilan menarik.
Riset tersebut juga menunjukkan bahwa sekalipun tanpa syarat penampilan, telah banyak perusahaan yang cenderung merekrut orang-orang bertampang atraktif dan menarik. Padahal lookism di dunia kerja bisa sampai mempengaruhi ke dalam permasalahan kesenjangan gaji.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data di Amerika Serikat sekitar tahun 70-an, para pekerja yang berpenampilan di atas rata-rata akan mendapatkan gaji 3-4 persen lebih tinggi dibandingkan dengan para pekerja yang berpenampilan di bawah rata-rata. Lookism ini menjadi permasalahan sosial karena nilai seseorang diukur berdasarkan sesuatu yang susah bahkan mustahil untuk dikontrol.
Persoalan ini bahkan telah melebar kepada isu kelas sosial. Penampilan yang ditampilkan akan ditentukan berdasarkan kondisi ekonomi seseorang karena kecantikan atau ketampanan juga ditentukan dari modal yang dikeluarkan oleh seseorang.
Terdapat beberapa teori yang menjadi penyebab dari lookism ini salah satunya adalah efek halo, istilah ini dipopulerkan oleh seorang psikolog Edward L. Thorndike pada tahun 1920 yang menyebutkan bahwa secara garis besar efek halo ini adalah bias kognitif yang merujuk pada tendensi untuk memberikan kesan positif.
ADVERTISEMENT
Efek halo ini akan membuat seseorang berpikir atau mengambil tindakan berdasarkan generalisasi atau informasi yang ambigu. Namun, ternyata beauty privilege ini tidak selalu memberikan dampak positif, karena ekspektasi berlebih yang dibangun dari persepsi yang salah ini akan membuat pandangan yang tidak sehat terutama terhadap fisik seseorang.
Maka dari itu, sebagai generasi muda yang mulai memahami berbagai isu dalam kehidupan harus terus berpangku tangan untuk segera mencari solusi dan memecahkan isu-isu yang berkembang dalam masyarakat terutama isu beauty privilege ini.