Konten dari Pengguna

Mengenal Gaslighting dalam Paradigma Psikologi: Sebuah Pendekatan Neurosaintifik

Attila Eka Putra
Mahasiswa politeknik dengan program studi teknologi permainan, yang memiliki minat serta ketertarikan pada sektor kepenulisan dan literasi dengan topik skala makro, seperti psikologis, self-development, kisah inspiratif, dan finansial.
23 September 2024 9:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Attila Eka Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Seorang Pria sedang Berkonsultasi dengan Psikolog. Sumber: freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Seorang Pria sedang Berkonsultasi dengan Psikolog. Sumber: freepik
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gaslighting adalah sebuah fenomena manipulatif yang kerap terjadi dalam hubungan interpersonal, di mana individu atau kelompok membuat seseorang meragukan persepsi, ingatan, dan realitasnya sendiri. Istilah ini berasal dari sebuah drama tahun 1938 yang diadaptasi menjadi film berjudul Gas Light pada tahun 1944, yang menggambarkan bagaimana seorang suami secara sistematis memanipulasi istrinya agar meragukan kewarasannya. Dalam konteks psikologi modern, gaslighting dipandang sebagai bentuk kekerasan psikologis yang dapat menyebabkan dampak signifikan pada kesehatan mental korbannya.
ADVERTISEMENT

Mekanisme Psikologis Gaslighting

Dalam praktik gaslighting, pelaku berusaha mengontrol korbannya melalui distorsi kognitif dan manipulasi emosi. Mekanisme ini bekerja dengan cara mengganggu executive functions otak, khususnya area prefrontal cortex yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan, pemecahan masalah, serta penilaian realitas. Pelaku sering kali menolak fakta yang disampaikan korban, menuduhnya berlebihan atau tidak rasional, hingga membuat korban percaya bahwa persepsinya salah. Hal ini menciptakan disonansi kognitif yang memicu korban untuk meragukan integritas persepsi mereka sendiri.
Dari perspektif neurosains, gaslighting dapat memengaruhi aktivasi amigdala, bagian otak yang berperan dalam regulasi emosi, khususnya rasa takut. Ketika korban mulai meragukan persepsinya sendiri, amigdala akan merespons dengan meningkatkan kecemasan dan rasa tidak aman, yang berujung pada peningkatan produksi kortisol dan hormon stres lainnya. Akibatnya, individu yang mengalami gaslighting mungkin akan terus-menerus berada dalam kondisi hyperarousal atau hypervigilance, di mana mereka selalu waspada dan cemas terhadap lingkungannya.
ADVERTISEMENT

Pengaruh Jangka Panjang terhadap Otak

Gaslighting yang berkepanjangan dapat merusak struktur otak secara signifikan, terutama jika individu mengalami stres kronis. Aktivitas berlebih pada amigdala dan prefrontal cortex, serta hipersekresi kortisol, dapat menyebabkan kerusakan pada hippocampus, bagian otak yang bertanggung jawab atas penyimpanan memori jangka panjang dan navigasi spasial. Dalam jangka panjang, individu yang terpapar gaslighting berisiko mengalami gangguan memori, ketidakmampuan untuk membedakan realitas, hingga depresi klinis dan gangguan kecemasan umum (generalized anxiety disorder).
Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Neuroscience menunjukkan bahwa stres kronis yang terkait dengan manipulasi psikologis dapat menurunkan volume hippocampus hingga 12%. Penurunan ini berkontribusi terhadap ketidakmampuan individu untuk memproses informasi secara efektif dan mempertahankan kepercayaan diri terhadap ingatan mereka sendiri, salah satu ciri utama dari korban gaslighting. Proses neuroplastisitas otak—kemampuan otak untuk beradaptasi dan membentuk ulang koneksi saraf—juga dapat terganggu oleh manipulasi ini, menghambat proses penyembuhan alami dari trauma psikologis.
ADVERTISEMENT

Intervensi Psikoterapeutik dan Pendekatan Neurosains

Mengingat gaslighting berdampak pada aspek neurologis dan psikologis, pendekatan terapeutik harus mencakup intervensi yang mendukung pemulihan otak serta kesehatan mental. Salah satu metode yang sering digunakan adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yang bertujuan untuk membantu korban membangun kembali kemampuan mereka dalam mengenali realitas dan memperbaiki distorsi kognitif yang telah tertanam. CBT bekerja dengan menargetkan prefrontal cortex untuk meningkatkan pengambilan keputusan yang lebih sehat dan mengurangi rasa tidak percaya diri yang dibangun oleh gaslighting.
Terapi berbasis trauma, seperti Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), juga telah terbukti efektif dalam mengobati efek psikologis dari gaslighting. Teknik ini membantu memproses ulang memori traumatis melalui stimulasi bilateral otak, yang memungkinkan individu untuk menempatkan pengalaman traumatis mereka ke dalam perspektif yang lebih adaptif dan realistis.
ADVERTISEMENT
Selain intervensi psikologis, rehabilitasi neurologis juga penting dalam pemulihan korban gaslighting. Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik, seperti olahraga aerobik, dapat meningkatkan neurogenesis di hippocampus dan memperbaiki fungsi memori yang terganggu. Selain itu, meditasi dan mindfulness dapat membantu menurunkan aktivasi amigdala dan mengurangi respons stres, yang pada gilirannya mendukung pemulihan fungsi otak yang lebih baik.

Dampak Sosial dan Kesadaran Kolektif

Gaslighting tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada tatanan sosial yang lebih luas. Dalam konteks hubungan yang lebih besar, seperti institusi politik atau lingkungan kerja, gaslighting sering digunakan sebagai alat untuk memanipulasi opini publik dan mengontrol narasi kebenaran. Pelaku, yang sering kali berada dalam posisi kekuasaan, menggunakan taktik ini untuk menciptakan ketidakpastian dan memanipulasi persepsi massa.
ADVERTISEMENT
Kesadaran publik akan bahaya gaslighting terus meningkat seiring dengan kampanye kesehatan mental yang lebih inklusif. Para ahli kesehatan mental dan neurosains menekankan pentingnya literasi psikologis dalam mengenali tanda-tanda gaslighting dan mencari bantuan sejak dini sebelum efeknya menjadi kronis.
Gaslighting adalah bentuk kekerasan psikologis yang memiliki dampak merusak pada struktur otak dan kesejahteraan mental seseorang. Dengan memahami mekanisme psikologis dan neurologis di balik fenomena ini, kita dapat mengembangkan intervensi yang lebih tepat untuk melindungi dan memulihkan korban gaslighting. Terapi psikologis dan pendekatan neurosains yang terintegrasi memberikan harapan bagi mereka yang berusaha pulih dari trauma ini, sementara edukasi masyarakat tetap menjadi kunci dalam mencegah gaslighting terjadi di masa depan.