Konten dari Pengguna

Mengapa Anak Cenderung Menutup Diri dari Keluarga?

Affifah Fauzia
Mahasiswa Universitas Pamulang
27 Maret 2025 11:23 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Affifah Fauzia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keluarga berperan penting dalam perkembangan anak, namun tidak semua anak merasa nyaman untuk terbuka dengan keluarganya. Beberapa anak cenderung menutup diri karena faktor pola asuh, kepribadian, pengalaman buruk, atau lingkungan sosial mereka. Jika dibiarkan, hal ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental, hubungan keluarga, dan keterampilan sosial anak. Oleh karena itu, penting untuk memahami penyebab serta mencari solusi agar anak lebih terbuka dan komunikasi dalam keluarga tetap terjaga.
Foto oleh Affifah Fauzia
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Affifah Fauzia
Penyebab anak menutup diri dari keluarga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Berikut adalah beberapa penyebab utama:
ADVERTISEMENT
1. Pola asuh yang tidak mendukung, seperti perhatian yang tidak merata, dapat membuat anak merasa diabaikan dan berpikir bahwa ia bisa mandiri tanpa bergantung kepada orang lain. Selain itu, kekerasan verbal, seperti sering dimarahi atau dibentak, dapat membuat anak merasa tertekan dan takut berinteraksi, sehingga cenderung menarik diri.
2. Kepribadian dan emosi anak berperan dalam sifat mereka yang tertutup. Anak dengan kepribadian introvert cenderung lebih nyaman dalam situasi tenang dan menyendiri, mereka mungkin merasa lelah setelah berinteraksi sosial dan memerlukan waktu sendiri untuk mengisi ulang energi mereka.
Sementara itu, anak yang pemalu mungkin merasa tidak nyaman dalam situasi sosial, terutama dengan orang baru, sehingga memilih untuk diam.
3. Trauma dan kegagalan. Pengalaman negatif seperti dibully atau diperlakukan buruk bisa membuat anak menjadi pendiam dan enggan berinteraksi. Selain itu, kegagalan dalam aktivitas, baik dalam aktivitas kecil maupun besar, ditambah dengan reaksi negatif dari orang tua, dapat membuat anak merasa minder dan semakin menarik diri.
ADVERTISEMENT
4. Gangguan emosional. Beberapa anak mungkin mengalami gangguan emosional yang membuat mereka menyembunyikan perasaan negatif seperti kecemasan atau depresi. Ini dapat terlihat dari perilaku menarik diri, kurang percaya diri, dan kesulitan dalam berkomunikasi.
5. Faktor lingkungan. Anak yang tidak memiliki teman dekat atau merasa tidak diterima di lingkungan sekitarnya cenderung menutup diri. Ini juga bisa diperparah jika orang tua terlalu protektif terhadap pergaulan anak.
Menutup diri dari anggota keluarga dapat memberikan berbagai dampak, baik bagi individu yang menutup diri maupun bagi hubungan keluarga secara keseluruhan. Berikut beberapa dampak utamanya:
1. Kesehatan Mental yang Menurun
Individu yang menutup diri cenderung mengalami peningkatan stress dan kecemasan akibat ketidakmampuan mengekspresikan perasaan atau permasalahan kepada anggota keluarga. Kurangnya komunikasi dalam keluarga dapat memperburuk rasa kesepian dan berpotensi memicu depresi. Bagi anak-anak maupun remaja, kondisi ini dapat menimbulkan perasaan keterasingan dan kurangnya dukungan emosional.
ADVERTISEMENT
2. Kerusakan Hubungan Keluarga
Menutup diri dapat menciptakan jarak emosional antar anggota keluarga, menghambat komunikasi yang efektif, serta mengurangi pemahaman satu sama lain. Kondisi ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, konflik, dan rasa sakit emosional bagi anggota keluarga lainnya, yang mungkin merasa diabaikan atau tidak dicintai.
3. Perilaku Sosial yang Negatif
Menutup diri dari keluarga dapat membuat anak atau remaja sulit bergaul dengan orang lain, yang bisa berujung pada isolasi sosial, serta dalam beberapa kasus, memicu perilaku agresif atau kenakalan sebagai bentuk pelampiasan frustasi.
4. Penurunan Rasa Percaya Diri
Menutup diri dapat menghambat proses mengenali jati diri pada anak, yang berakibat pada rendahnya rasa percaya diri serta kebingungan terhadap peran mereka dalam keluarga. Selain itu, kurangnya interaksi dengan anggota keluarga dapat menghambat perkembangan keterampilan sosial dan emosional, yang berdampak negatif pada kesiapan mereka dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
ADVERTISEMENT
Mendorong keterbukaan dalam keluarga adalah langkah penting untuk menciptakan hubungan yang sehat dan harmonis. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan:
1. Ciptakan Ruang untuk Berbicara
Meluangkan waktu khusus untuk berkumpul tanpa gangguan dari media sosial atau gadget dapat menciptakan ruang bagi setiap anggota keluarga untuk berbagi perasaan dan pikiran secara terbuka. Selain itu, mengadakan diskusi rutin mengenai pengalaman, tantangan, dan perasaan masing-masing anggota keluarga dapat memperkuat kepercayaan serta membangun rasa saling pengertian.
2. Komunikasi yang Efektif
Menerapkan keterampilan mendengarkan dengan empati, yakni tidak hanya memahami kata-kata, tetapi juga emosi dibaliknya, dapat menciptakan lingkungan yang mendukung sehingga setiap anggota keluarga merasa dihargai dan didengar. Selain itu, mendorong kejujuran dan keterbukaan dalam mengungkapkan perasaan tanpa rasa takut dihakimi berperan penting dalam menyelesaikan konflik serta memperkuat ikatan emosional dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
3. Kenali dan Hargai Perbedaan
Menghargai perbedaan kepribadian dan minat setiap anggota keluarga dapat mencegah konflik serta memperkuat rasa saling pengertian. Selain itu, memberikan dukungan emosional baik dalam menghadapi kesulitan maupun saat meraih pencapaian berperan penting dalam membangun rasa percaya diri dan kesejahteraan psikologis.
4. Ajak Anak Berpartisipasi dalam Diskusi
Melibatkan anak dalam diskusi keluarga dapat membuat mereka merasa dihargai dan berkontribusi dalam pengambilan keputusan. Selain itu, membahas permasalahan tanpa terkesan menceramahi, seperti dengan menanyakan pendapat mereka sebelum memberikan saran, dapat meningkatkan keterlibatan dan penerimaan mereka terhadap nasihat yang diberikan.
5. Luangkan Waktu Berkualitas Bersama
Melakukan aktivitas yang disukai oleh seluruh anggota keluarga, seperti bermain game, memasak atau berolahraga bersama, dapat memperkuat ikatan emosional serta menciptakan suasana yang nyaman untuk berbagi dan berkomunikasi secara lebih terbuka.
ADVERTISEMENT
Studi Kasus
1. Sikap Remaja yang Mengalami Broken Home
Dalam penelitian oleh Nadya Paramitha, ditemukan bahwa remaja yang berasal dari keluarga broken home menunjukkan perubahan sikap yang signifikan. Mereka cenderung menutup diri, merasa takut untuk menikah, dan mengalami kesulitan dalam mempercayai orang lain. Informan dalam studi ini melaporkan bahwa pengalaman melihat orang tua bertengkar membuat mereka ragu untuk menjalin hubungan serius di masa depan, karena takut anak mereka juga akan mengalami hal yang sama. Ini menunjukkan bagaimana trauma dari pengalaman keluarga dapat mempengaruhi pandangan hidup dan hubungan interpersonal remaja. (Paramitha, 2023, Jurnal MCRH)
2. Keterbukaan Diri Remaja di Lingkungan Keluarga
Penelitian yang dilakukan oleh Lucas Oloan di Universitas Multimedia Nusantara menemukan bahwa keterbukaan diri remaja terhadap orang tua dipengaruhi oleh karakter orang tua dan pola asuh yang diterapkan sejak kecil. Remaja cenderung menutup diri jika merasa bahwa orang tua tidak memahami atau mendukung mereka secara emosional. Wawancara dengan beberapa remaja berusia 21 dan 22 tahun menunjukkan bahwa mereka memiliki batasan tertentu dalam berbagi informasi pribadi dengan orang tua, yang menyebabkan terbentuknya jarak emosional. (Oloan, 2023, Universitas Multimedia Nusantara)
ADVERTISEMENT
Menutup diri dari keluarga dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pola asuh, kepribadian, pengalaman traumatis, gangguan emosional, dan lingkungan sosial. Jika tidak diatasi, kondisi ini dapat berdampak negatif terhadap Kesehatan mental, hubungan interpersonal, serta perkembangan sosial dan emosional anak. Oleh karena itu, diperlukan upaya strategis dalam membangun komunikasi yang efektif, menciptakan lingkungan yang suportif, serta meluangkan waktu berkualitas bersama keluarga guna mendorong keterbukaan dan memperkuat ikatan emosional dalam keluarga.