Konten dari Pengguna

Urgensi RKUHAP : Menggagas Transformasi Penegakan Hukum Pidana Di Tanah Air

Afdhil Mubaroq
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas
29 Januari 2025 11:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afdhil Mubaroq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi untuk menimbang dan menegakkan keadilan hukum. (Sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2022/10/05/07/08/gavel-7499911_1280.jpg)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi untuk menimbang dan menegakkan keadilan hukum. (Sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2022/10/05/07/08/gavel-7499911_1280.jpg)
ADVERTISEMENT
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana telah digunakan selama 43 tahun dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa saat ini sudah banyak perkembangan terhadap hukum acara khusunya pada hukum acara pidana, tapi hukum acara pidana yang mengatur prosedural dari penegakan hukum pidana sama sekali belum diperbaharui. Padahal sejak tahun 2012 sampai 2014 pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginisiasi Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dan drafnya pun sudah diterima oleh masyarakat, namun draf itu sampai sekarang tidak kunjung disahkan, kemudian pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dimasa rezim Presiden Jokowi sudah memasukkan RKUHAP sebagai rancangan yang harus dibahas dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) namun lagi-lagi tidak dibahas secara serius oleh DPR dan belum ada kejelasan sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Akibatnya banyak terjadi kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara, misalnya demo yang terjadi pada tangal 22 sampai 24 Agustus 2024 kemaren, ada yang ditangkap dan disiksa ternyata salah tangkap yang menyebabkan kerugian terhadap korban dan melanggar UUD 1945 pasal 28 I ayat 1, didalamnya diatur bahwa seseorang mempunyai hak untuk tidak disiksa, kemudian sulitnya para korban untuk mengakses ganti rugi atas apa yang telah mereka alami. Persoalan lainnya adalah ketidaksamaan posisi antara negara dengan tersangka atau terdakwa dalam hukum acara pidana di Indonesia padahal jelas bahwa semua individu sama di depan hukum atau equality before the law tercantum dalam UUD 1945, yaitu pada Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), itu hanya satu saja kasus yang membuktikan bahwa dalam KUHAP tidak secara rinci mengatur tentang suatu permasalahan sehingga diperlukan pembaharuan.
ADVERTISEMENT
Akan ada banyak lagi kasus yang bisa kita temui dan itu melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ditambah lagi hal tersebut belum atau tidak diatur di dalam KUHAP. Penulis berpendapat bahwa melakukan perubahan/revisi terhadap KUHAP merupakan suatu kebutuhan yang harus dilakukan, karena dengan disahkannya UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku pada tahun 2026 nanti maka diperlukan juga pembaharuan terhadap KUHAP demi sukses dan efektivitasnnya UU No.1 Tahun 2023 tersebut. Ketika kita melihat KUHAP yang sekarang ini, telah membuktikan bahwa penanganan tindak pidana tidak efisien, banyak terjadi kasus penyiksaan, kasus penggeledahan dan penyitaan yang menyebabkan kerugian terhadap korban.
Kemudian contoh lainnya saja dalam regulasi tentang kejaksaan dimana dalam satu bulan, seorang jaksa paling banyak mengurusi 7 perkara pidana. Jika kita berkaca kepada negara lain seperti Singapura dan Korea Selatan dimana satu Jaksa dapat menangani lebih dari seratus perkara setiap bulan, karena hukum acaranya memisahkan antara pidana berat dan ringan. Pidana ringan ditangani oleh 1 hakim dan diproses cepat, terdakwa yang mengaku dan bukan residivis langsung diberikan sanksi denda. Sedangkan dalam hukum acara di Indonesiatidak diatur demikian sehingga asas sederhana, cepat dan biaya ringan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak mencapai tujuannya, persidangan yang menangani kasus ringan seperti pencurian, penipuan, dan lainnya diproses lama dan kebanyakan dimasyarakatkan, belum lagi masalah lainnya seperti menyogok aparat agar proses dipercepat. Coba saja diproses cepat dengan sistem denda dan hakim yang menanganinnya cukup 1 saja seperti di negara Singapura dan Korea Selatan maka akan efisien, cepat, dan biayanya ringan, dengan proses penegakan hukum seperti itu masalah kelebihan kapasitas lapas juga dapat diselesaikan. sehingga hal itulah yang menurut Penulis harus segera ditangani oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
KUHAP sendiri sudah sering diuji materi ke Mahkamah Konstitusi oleh warga negara. Seperti yang Pak Sugeng Purnomo Koordinator III Bidang Hukum dan HAM Kementrian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, ada 13 putusan Mahkamah Konstitusi yang menerima permintaan yang berkaitan dengan hukum acara pidana. Pak Sugeng menguraikan pada periode 2010,2011, dan 2014 masing-masing ada 1 permohonan yang diterima. Pada tahun 2012 dan 2015 masing-masing ada 3 permohonan. Pada tahun 2013 dan 2016 masingmasing ada 2 permohonan dikabulkan. Jika kita lihat dari data yang ada tersebut maka dapat Penulis katakan bahwa KUHAP ini sangat layak dan demi kebutuhan hukum dan keadilan perlu dilakukan pembaharuan. ketika RUU KUHAP ini selesai kemudian disahkan dan diundangkan, maka akan banyak permasalahan di bidang hukum pidana terutama dalam hukum acara yang dapat diselesaikan, sehingga efisiensi dan efektifitas dari penegakan hukum ini akan membaik dan mencapai tujuannya.
ADVERTISEMENT