Kotak-kotak Identitas di Pilpres 2019, Apakah Pilpres 2024 Serupa?

Afeysha Devany
An Undergraduate Students of International Relations UPN Veteran Jakarta. Love to explore a new knowledge here!
Konten dari Pengguna
9 Juni 2022 18:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afeysha Devany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung BAWASLU. Sumber: https://bojonegoro.bawaslu.go.id/
zoom-in-whitePerbesar
Gedung BAWASLU. Sumber: https://bojonegoro.bawaslu.go.id/
ADVERTISEMENT
Pesta demokrasi rakyat 'Pemilu' yang diselenggarakan per lima tahun sekali selalu menarik atensi yang besar dari berbagai kalangan masyarakat. Koalisi dan upaya lobi-lobi santer terdengar dari jauh-jauh hari. Bahkan hingga 2-3 tahun sebelum ‘hajatan akbar’ dilaksanakan. Memilih pemimpin melalui Pemilu memang suatu kebanggaan sendiri bagi masyarakat di Indonesia khususnya setelah Reformasi di mana masih ada tembok pembatas dalam melaksanakan Pemilu yang demokratis. Kini, rakyat diberikan keleluasaan untuk memilih dengan asas-asas tertentu yakni secara langsung, umum, rahasia jujur, dan adil (Luber Jurdil). Tak heran apabila Pemilu ini dimaknai sebagai realisasi kedaulatan, legitimasi, dan kekuatan rakyat (Haris, 1998).
ADVERTISEMENT
Pada Pilpres 2019, hadir dua kandidat calon Presiden dan Wakil Presiden RI yakni Joko Widodo bersama Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto bersama Sandiaga Uno. Pemilu menjadi semakin menarik. Dengan banyaknya atensi dan keterbukaan akses untuk memberikan kritik, saran, bahkan kampanye dari dan terhadap masing-masing calon, banyak suara yang akhirnya hadir dan ikut meramaikan kondisi sebelum dan sesudah Pemilu dilaksanakan. Namun yang unik dari Pilpres 2019 adalah kemunculan fenomena-fenomena dari yang berkembang di masyarakat. Beberapa diantaranya adalah isu-isu di daerah dan isu nasional terhadap pasangan calon presiden dan wakil persiden, kehadiran industri buzzer politik, influencer, dan konsultan politik yang menjamur di berbagai platform media sosial. Kemudian masa kampanye yang cukup panjangan menghadirkan gimmick politik yang lebih banyak muncul (PUSKAPOL UI, 2019). Selain itu, sebutan “cebong” dan “kadrun” bagi pendukung masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden berhasil mengkotak-kotakan masyarakat menjadi dua kubu yang bersebrangan. Bola liar di media sosial terkait berbagai permasalah isu tersebut pun terus bergulir dan semakin besar sehingga menimbulkan masalah baru; politik identitas yang terpolarisasi.
ADVERTISEMENT
Identitas memberi makna siapa ‘aku/kami’ dan siapa ‘kamu/mereka’ di luar aktor yang terlibat langsung (significant other) (Ellemers, 2002). Selain itu, identitas juga dimaknai sebagai atribut personal ketika melakukan tindakan atas dasar kehendak dan tujuannya sendiri (self awareness) tanpa melihat posisi atau kedudukannya dalam konteks sosial (Stets & Burke, 2000). Misalnya identitas etnis, agama, budaya, dan sebagainya. Melihat dua pengertian tersebut, pada Pilpres 2019 telah terbentuk identitas yang kemudian menjadi stereotip tertentu dari masing-masing pendukung. Joko Widodo dinilai dekat dengan rakyat dengan mengusung model ‘blusukan’ yang menjadi cara jitu untuk melihat permasalahan langsung di lapangan menggandeng Ma’ruf Amin yang lekat dengan karakter tokoh agama dari NU sekaligus orang penting dalam MUI. Sedangkan Prabowo Subianto dinilai memiliki karakter yang kuat sebagai pemimpin berdasarkan track recordnya sebagai Panglima Kostrad menggandeng Sandiaga Uno yang lekat dengan gaya keren khas milenial didukung dengan maksimalisasi penggunaan media sosialnya sebagai personal branding. Masyarakat dengan mudah melihat kedua pasangan calon sebagai pemain-pemain yang berseberangan dalam segala hal (Sumampouw, 2018). Belum lagi identitas yang melekat pada masing-masing calon yang kemudian benar-benar mebentuk kotak dan sekat antar masing-masing pendukung.
ADVERTISEMENT
Polarisasi ini terlihat mulai terlihat sejak Pilpres 2014, Pilgub DKI Jakarta 2017, Pilpres 2019, dan dikhawatirkan akan semakin parah pada Pemilu selanjutnya. Polarisasi politik dianggap telah berada dalam derajat yang cukup mengkhawatirkan setiap kali berlangsung pemilihan pimpinan eksekutif ditingkat nasional maupun di ibukota Jakarta. Hal tersebut dilihat dari pola-pola yang muncul pada setiap Pemilu dilaksanakan. Sayangnya kondisi polarisasi politik yang terjadi di Indoenesia hanya memiliki sedikit kajian akademis yang serius mendalaminya (Karim, 2019). Seharusnya, kajian akademik ini akan berguna untuk mencegah polarisasi dan kotak-kotak yang terbentuk yang berpotensi merusak persatuan masyarakat jelang Pemilu.
Pemilu terdekat adalah Pemilu Presiden 2024, banyak nama yang muncul sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden selanjutnya. Sebut saja Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Erick Thohir (Menteri BUMN), Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), dan sejumlah nama lain yang diperkirakan akan masuk ke dalam pertarungan memperebutkan kursi RI 1 & 2. Masing-masing calon memiliki karakter serta pendukungnya masing-masing. Diperkirakan persaingan akan semakin ketat melihat kuatnya elektabilitas dari nama-nama yang muncul.
ADVERTISEMENT
Masih terlalu dini untuk memperkirakan arus yang akan terbentuk pada Pilpres 2024. Namun, perlu adanya antisipasi polarisasi politik identitas yang telah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Jika kondisi-kondisi dari temuan di atas terus berlanjut, kampanye yang telah dan masih akan terus berlangsung tidak akan memberi manfaat yang. Untuk itu, perlu ada peran kuat kelompok masyarakat sipil untuk mengambil bagian mencegah politik identitas terutama ujaran kebencian, hoax, dan lebih terbuka pada informasi serta riset sebelum memilih agar tidak terbentuk pola yang sama dari periode ke periode Pilpres di Indonesia.