news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Beda dengan TV dan Film, Begini Cara Youtube dan Instagram Sensor Konten

Afgiansyah
Praktisi dan Akademisi Komunikasi Media Digital dan Penyiaran. Co-Founder Proxymedia.id // Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Universitas Indonesia, dan Universitas Paramadina.
Konten dari Pengguna
3 Juni 2022 12:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afgiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi penyensoran TV & Film. Sumber: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penyensoran TV & Film. Sumber: Pribadi
ADVERTISEMENT
TV dan film di seluruh dunia punya sistem sensor sebelum tayangan dirilis ke penonton. Sensor di sini berarti memastikan konten yang ditayangkan sesuai dengan peraturan dan nilai-nilai yang disepakati masyarakat. Misalnya di Indonesia, TV dan film akan dipastikan bebas dari muatan pornografi. Lalu bagaimana dengan media sosial? Apakah ada sensor untuk konten di media sosial? Mari kita lihat bagaimana Youtube dan Instagram melakukan fungsi sensor.
ADVERTISEMENT
Sebelum membahas bagaimana Youtube dan Instagram bekerja soal sensor, kita perlu tahu bagaimana praktik sensor untuk film dan televisi dilakukan. Pertama tentunya ada ketentuan-ketentuan yang harus dituruti oleh penyelenggara. Ketentuan ini berbeda-beda antara satu negara dengan lainnya. Namun prinsip penerapan sensor kurang lebih sama. Kita ambil contoh sensor film di Amerika Serikat (AS) dan Indonesia.
Di AS, pada dasarnya tidak ada lembaga sensor film. Namun ada lembaga bernama “Motion Picture Association” (MPA) yang memberikan klasifikasi bagi film-film yang ditayangkan di bioskop. Klasifikasi ini mereka sebut dengan istilah “rating”. Misalnya, untuk film dewasa berisikan adegan seksual dan kekerasan secara eksplisit akan diberikan rating “R” atau “restricted” yang berarti terlarang untuk anak-anak. Sementara film yang bisa dinikmati oleh semua umur akan diberikan rating “G” atau “general audiences”. Di sini MPA hanya memberikan rating, lembaga ini tidak melakukan tindakan sensor seperti melarang adegan-adegan tertentu.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan AS, di Indonesia ada Lembaga Sensor Film (LSF). Hampir sama dengan MPA di AS, lembaga ini juga memberikan klasifikasi kepada film-film yang akan ditayangkan. Ada 4 klasifikasi atau rating film menurut LSF. Pertama “SU” untuk film bagi semua umur, lalu “13+” untuk film yang hanya layak ditonton oleh remaja mulai 13 tahun ke atas, kemudian “17+” untuk 17 tahun ke atas dan “21+” untuk 21 tahun ke atas.
Namun LSF tidak hanya memberikan rating. Lembaga ini juga memberikan “Surat Tanda Lulus Sensor” atau STLS. Ini yang membedakan LSF dengan MPA di AS. Masih ada sistem penyensoran di Indonesia. Sensor disesuaikan dengan norma-norma dan ketentuan hukum di Indonesia. Jika ada adegan yang melanggar, maka film akan dikembalikan kepada produser atau distributor untuk direvisi agar lulus sensor.
ADVERTISEMENT
Cara kerja sensor di televisi juga hampir sama dengan film. Ada pembuat kebijakan, misalnya Federal Communications Commission (FCC) di AS dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di negara kita. Berdasarkan kebijakan ini, maka stasiun penyiaran melakukan sensor mandiri dan memberikan klasifikasi tayangan.
Di Indonesia, KPI mengeluarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Stasiun TV akan melakukan sensor mandiri berlandaskan P3SPS. Lalu KPI secara berkala melakukan pengawasan. Jika terjadi pelanggaran maka akan dikeluarkan teguran hingga sanksi pada stasiun televisi.

Cara Youtube dan Instagram Melakukan Sensor

Bagaimana dengan media sosial seperti Youtube dan Instagram? Mereka punya sistem sendiri yang berlaku di seluruh dunia. Sistem yang mereka gunakan melibatkan sistem otomatis berupa teknologi “artificial intelligent” digabungkan dengan sekelompok orang yang memberikan penilaian secara manual.
ADVERTISEMENT
Sebelum kita beranjak lebih jauh, apa yang disebut “artificial intelligent” (AI) atau kecerdasan buatan jangan selalu dilihat sebagai teknologi canggih yang bisa menjawab semua persoalan. Bayangkan teknologi AI seperti teknologi listrik. Kita tahu, listrik adalah teknologi canggih. Namun kita sadar bahwa kecanggihan listrik punya keterbatasan tergantung dari situasi dan siapa yang mengoperasikannya.
Misalnya, pada sistem “smart home” atau rumah pintar, sistem kelistrikan bisa diatur seefisien mungkin hingga opsi sumber daya hibrida antara tenaga surya dan listrik dari PLN. Sementara di daerah terpencil, listrik hanya bisa dipenuhi dengan sistem diesel menggunakan bahan bakar solar untuk kebutuhan utama saja seperti lampu dan pompa air. Canggih namun tidak selalu menjawab semua persoalan. Hal yang sama juga berlaku untuk teknologi AI.
ADVERTISEMENT
Kembali kepada sistem sensor Youtube dan Instagram. Sebelum menerapkan gabungan sistem otomatis dan manual, keduanya menetapkan terlebih dahulu apa yang disebut sebagai “community guideline” atau kebijakan pengguna. Artinya, ada batasan-batasan yang dibuat oleh penyelenggara media sosial mengenai konten apa saja yang boleh diunggah di platform tersebut.
Sistem sensor pada platform media sosial pada dasarnya menyeleksi apakah konten dari pengguna melanggar “community guideline”. Jika ya, maka konten akan dihapus. Lebih lanjut, jika pengguna masih tetap mengunggah konten yang melanggar, bukan hanya konten yang dihapus namun akunnya pun akan ditutup.
Berbeda dengan batasan konten bagi televisi dan film yang ditetapkan oleh regulator di masing-masing negara, maka Youtube dan Instagram menetapkan satu “community guideline” untuk seluruh dunia. Kebijakan ini membuat platform media sosial dilarang di beberapa negara. Youtube saat ini diblokir di Cina, Iran, Eritrea, Sudan, Turkmenistan, dan Korea Utara.
ADVERTISEMENT
Hal ini terjadi karena ada kebijakan-kebijakan khusus di negara-negara tersebut yang tidak tercakup dalam “community guideline”. Namun bisa kita lihat hanya sedikit negara di dunia memblokir Youtube. Bagaimana cara Youtube mengakomodir cara pandang masyarakat lokal yang berbeda di seluruh dunia. Kita akan urai soal ini.
Setelah menetapkan “community guideline”, baik Instagram maupun Youtube dibantu sekelompok orang di berbagai belahan dunia mengawasi konten yang melanggar kebijakan tersebut. Instagram menyebutnya dengan “review team” sementara Youtube memiliki “trusted flagger” yang terdiri dari orang-orang terpilih, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lembaga pemerintah setempat (misalnya Kemenkominfo untuk Indonesia).
Selain sekelompok khusus orang ini, kedua platform juga memberikan kesempatan kepada pengguna biasa melaporkan pelanggaran kebijakan. Ada fitur di Youtube dan Instagram untuk melaporkan konten yang dianggap melanggar oleh pengguna. Tapi tentunya laporan dari pengguna biasa akan dilihat lagi oleh tim penilai.
ADVERTISEMENT
Melibatkan sekelompok orang tampaknya cukup berhasil bagi Youtube dan Instagram mencegah konten yang tidak sesuai bagi masyarakat beredar di platform itu. Sistem manual ini dikombinasikan dengan sistem otomatis. Misalnya, ada pengguna mengunggah konten telanjang yang dilarang oleh Instagram.
Ada sistem otomatis dari Instagram menggunakan AI yang bisa mengenali konten telanjang, sehingga unggahan tersebut langsung diblokir. Youtube juga punya sistem serupa. Dalam laporan transparansi Google kuartal pertama 2022, disebutkan bahwa Youtube menghapus sekitar 3,5 juta konten di seluruh dunia berdasarkan sistem otomatis terkait pelanggaran “community guideline”.
Jadi, itu tadi cara Youtube dan Instagram (juga Facebook tentunya) melakukan sensor. Sistem yang kurang lebih sama diterapkan platform media sosial berskala global lainnya seperti Twitter, TikTok, dan Linkedin. Perbedaannya ada di “community guideline” yang diterapkan masing-masing platform. Namun tentunya sistem yang mereka terapkan belum sempurna. Selain perbedaan kebijakan pada “community guideline” dengan nilai-nilai dan norma-norma yang kita anut, tidak semua pelanggaran terdeteksi oleh sistem yang tampak sangat canggih itu.
ADVERTISEMENT