KKN di Desa Penari Saingi Doctor Strange, Mampukah Siaran TV Saingi Netflix?

Afgiansyah
Praktisi dan Akademisi Komunikasi Media Digital dan Penyiaran. Co-Founder Proxymedia.id // Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Universitas Indonesia, dan Universitas Paramadina.
Konten dari Pengguna
23 Mei 2022 18:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afgiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menonton Netflix di layar TV. Sumber: Shutterstock.com/@Vantage_DS
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menonton Netflix di layar TV. Sumber: Shutterstock.com/@Vantage_DS
ADVERTISEMENT
Film KKN di Desa Penari berhasil menyaingi film produksi internasional Marvel, Doctor Strange 2. Bukan hanya di Indonesia, film horor itu tayang di lebih banyak layar bioskop di Singapura dan Malaysia dibandingkan “Doctor Strange 2”. Melihat kesuksesan ini, bagaimana siaran televisi di Indonesia? Mampukah menyaingi gempuran Netflix?
ADVERTISEMENT
Buat menjawab itu, ada beberapa aspek yang bisa kita lihat. Dimulai dari bagaimana kita berkreasi menyuguhkan tayangan, soal anggaran produksi, lalu kecenderungan penonton Indonesia, hingga regulasi mengenai siaran TV dan Netflix yang disebut platform OTT ini.
Kalau bicara suguhan tayangan dari televisi dibandingkan Netflix, hal pertama yang menjadi sorotan tentunya soal kualitas produksi. Memang perlu diakui, konten-konten suguhan netflix baik itu film, serial, hingga dokumenter memiliki kualitas produksi yang sangat baik dibandingkan siaran televisi Indonesia. Setidaknya kita bicara konten-konten produksi khusus Netflix atau “Netflix original production” dengan konten-konten produksi televisi maupun production house (PH) lokal yang tayang di TV.
Mari kita ulas sedikit soal “Netflix original production”. Platform OTT berbasis Amerika Serikat itu bermula dari website penyewaan DVD online. Mereka menyewakan film-film dari studio produksi baik yang semula tayang di bioskop ataupun serial yang sebelumnya tayang di televisi. Setelah berkembang menjadi OTT platform, Netflix mulai membeli lisensi dari film atau serial TV sehingga pelanggannya bisa mengakses beragam konten dengan berlangganan. Namun di sini sifatnya masih “second window” yang secara harfiah berarti “jendela kedua” atau tempat tontonan kedua. Artinya, konten-konten itu sudah ditayangkan lebih dulu di tempat lain sebelum akhirnya bisa diakses di Netflix.
ADVERTISEMENT
Posisi “second window” membuat Netflix tidak banyak memiliki keunikan karena konten-konten yang sama bisa saja dibeli oleh platform lain. Agar memperoleh keunikan ini, mulai tahun 2011 Netflix menginisiasi “original production”. Konten-konten ini diproduksi khusus untuk Netflix, tidak pernah tayang di platform lain. Dan tentunya mereka mengeluarkan uang besar untuk itu. Menurut Kagan Media Research, sepanjang tahun 2021, Netflix mengeluarkan 5,21 miliar dolar AS atau setara 76,4 triliun rupiah untuk “original production”.

Netflix Original Production

Bicara “original production”, siaran televisi pada dasarnya merupakan media dengan konten produksi sendiri. Memang, ada beberapa konten akuisisi atau beli seperti film-film asing atau film lokal yang sebelumnya tayang di bioskop. Namun tayangan televisi didominasi oleh konten produksi sendiri seperti siaran berita, siaran hiburan, talk show, dan ragam lainnya yang dibuat oleh tim “in-house” atau karyawan sendiri. Belum lagi program-program TV yang berasal dari PH seperti sinetron, kuis, reality show, infotainment, dan ragam lainnya. Stasiun televisi di Indonesia umumnya memiliki hak eksklusif tayangan produksi PH lokal atau jika meminjam istilah Netflix, disebut sebagai “original production”.
ADVERTISEMENT
Di sini TV mulai terlihat “bersaing” dengan Netflix dari segi “original production” sebagai penanda keunikan. Lalu bagaimana dengan kualitas? Kembali kepada keberhasilan film “KKN di Desa Penari” menyaingi film “Doctor Strange 2”. Secara teknik produksi, tentunya film produksi studio Marvel itu kualitasnya tidak bisa disamakan dengan film KKN Desa Penari. Ini tentunya terkait juga dengan anggaran. Mengutip dari IMDB, produksi “Doctor Strange 2” diperkirakan menelan biaya 200 juta dolar AS atau setara 2,9 triliun rupiah. Sementara “KKN di Desa Penari” menurut produser Manoj Punjabi memakan budget produksi sebesar 15 miliar rupiah. Artinya, biaya “KKN di Desa Penari” hanya sekitar 0,5% budget “Doctor Strange 2”.
Bagaimana dengan budget siaran televisi dibandingkan Netflix? Kagan Media Research memperkirakan sepanjang 2021 Netflix mengeluarkan 13,6 miliar dolar AS atau setara 200 triliun rupiah untuk total konten di platform OTT itu. Sekitar 38% dari anggaran itu atau setara 5,21 miliar dolar AS dihabiskan buat “original production”. Sementara anggaran konten untuk siaran TV di Indonesia memang belum ada angka pasti. Namun berdasarkan pengalaman Saya pribadi bekerja di industri televisi, perkiraan anggaran stasiun TV papan atas yang bertengger di posisi 5 besar ada pada kisaran 1 triliun rupiah selama satu tahun. Ini berarti anggaran tahunan TV hanya sekitar 0,5% budget tahunan Netflix untuk biaya konten.
ADVERTISEMENT
Namun ternyata perbedaan kualitas produksi bukan menjadi penentu keberhasilan tayangan. Bagaimana membaca kecendrungan penonton jadi krusial ketika bicara konsumsi konten. Ini tampak pada keberhasilan film “KKN di Desa Penari”. Walaupun anggarannya kurang dari 1% dari biaya film “Doctor Strange 2”, film produksi lokal ini mampu bersaing dalam memenuhi minat khalayak di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Bisa dikatakan, produser film lokal memiliki kedekatan dengan. Ada istilah “relate sama penonton,” di mana konten-konten yang dibuat oleh produser lokal “nyambung “ dengan khalayaknya. Mereka lebih mengerti cara pikir dan minat orang-orang lokal.
Konten lokal jadi modal buat stasiun TV di Indonesia menyaingi konten-konten Netflix. Memang, Netflix saat ini sudah memasukkan cukup banyak konten dari Indonesia. Sejak tahun 2020, Netflix memulai kerja sama “original production” dengan rumah produksi serta sineas Indonesia di antaranya Starvision dan Nia Dinata. Sederet film Indonesia “Netflix original production” pun sudah tersedia di OTT Platform ini seperti “Ali dan Ratu-ratu Queens”, “Bucin”, dan “Guru-guru Gokil”. Namun jumlah ini masih terbilang sedikit jika dibandingkan dengan konten-konten produksi lokal di televisi. Belum lagi bicara ragam jenis konten. Mengacu pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait indeks kualitas siaran televisi, ada 8 kategori konten tayangan TV antara lain program anak, religi, berita, talk show, wisata dan budaya, variety show, infotainment, dan sinetron.
ADVERTISEMENT
Menyebut KPI, mari kita beranjak kepada regulasi. Jika siaran televisi diawasi oleh KPI lengkap dengan pedoman konten siaran yang layak ditayangkan, maka belum ada regulasi di Indonesia yang mengatur Netflix. Saat ini platform OTT asal Amerika Serikat itu masih bebas merilis konten apa saja, bahkan jika bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Konten muatan pornografi, adegan seks dan kekerasan, serta tema-tema LGBT (homoseksual dan transgender) masih mewarnai konten-konten di Netflix.
Soal regulasi ini bisa jadi kekuatan sekaligus kelemahan siaran televisi. Ketika OTT Platform seperti Netflix belum diregulasi isi kontennya, maka TV jadi media yang lebih aman untuk konsumsi konten dengan nilai-nilai yang sesuai bagi masyarakat Indonesia. Ini jadi kekuatan bagi TV dibandingkan Netflix. Sebaliknya, ini juga bisa jadi kelemahan. Konten pornografi sudah lazim dijadikan formula menggaet penonton dewasa. Namun hal ini bertentangan dengan nilai-nilai di Indonesia sehingga formula ini haram diterapkan. Lalu, ketika Netflix belum diregulasi, mereka memperoleh kemudahan meraih khalayak dengan konten-konten tadi.
ADVERTISEMENT
Siaran TV tentunya mampu menyaingi Netflix. Produksi lokal menjadi modal utama keunikan televisi di Indonesia menyaingi platform OTT dari luar negeri. Setidaknya sampai mereka benar-benar serius untuk menggarap konten lokal dalam melayani pasar Indonesia. Namun tentunya peluang bersaing siaran TV dengan Netflix yang masih besar ini perlu didukung dengan regulasi sehingga terjadi persaingan lebih sehat.