Konten dari Pengguna

Konten 'Prank' Sudah Ada di TV dari Zaman Dulu

Afgiansyah
Praktisi dan Akademisi Komunikasi Media Digital dan Penyiaran. Co-Founder Proxymedia.id // Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Universitas Indonesia, dan Universitas Paramadina.
25 Mei 2022 22:26 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afgiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "prank" atau menjahili orang. Sumber: pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "prank" atau menjahili orang. Sumber: pribadi
ADVERTISEMENT
Konten “prank” atau istilah awamnya ngerjain orang, ramai diproduksi di media sosial mulai dari Instagram reels, video Tiktok, dan tentunya Youtube. Beberapa pembuat konten malah kelewatan sampai akhirnya dipolisikan. Tren barukah ini? Tidak, konten model ini sebenarnya sudah ada di TV sejak zaman dulu sekali.
ADVERTISEMENT
“Candid Camera” karya Allen Funt bisa disebut sebagai satu program televisi legendaris. Mulai ditayangkan stasiun TV ABC tahun 1948 di Amerika Serikat, program ini bertahan hingga tahun 2014 atau 66 tahun sejak penayangan perdananya.
Apa isinya? Kalau ditonton anak zaman sekarang, bisa dibilang “Candid Camera” ini isinya konten prank. Betul kalau kita tonton isinya pada dasarnya ngerjain orang. Tapi ada narasi lebih besar di balik itu. Jadi bukan semata-mata menjahili orang supaya dapat banyak tontonan. Narasi besar dari “Candid Camera” membuat program ini bertahan lintas generasi. Apa rahasianya?
Sebelum mengulas narasi dari “Candid Camera”, mari kita lihat bagaimana konten-konten “prank” bertebaran di media sosial. Jika kita ketik di mesin pencari google dengan kata kunci “konten prank” akan muncul artikel berita dan wacana ilmiah tentang hal-hal negatif mengenai konten bertema kejahilan ini.
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyak berita, konten prank dari Ferdian Paleka muncul cukup sering, ketika Youtuber ini berpura-pura memberikan bantuan sosial namun ternyata kardus paket bantuan yang diberikan berisi sampah. Ferdian pun dipolisikan hingga masuk jeruji besi. Selebihnnya, berita-berita lain juga cenderung merujuk kepada kasus-kasus negatif konten prank hingga kreatornya berurusan dengan hukum.
Muncul juga wacana dari karya ilmiah dari artikel-artikel media online mengenai kekhawatiran terkait konten prank yang mencerminkan sikap negatif dari generasi muda karena maraknya kreator konten di media sosial yang membuat tayangan prank.
Betulkah konten prank ini cenderung menggambarkan perilaku negatif? Mari kita lihat bagaimana “Candid Camera” bertahan hingga 66 tahun dan tayang di berbagai negara di dunia.
ADVERTISEMENT

Prank bukan sekedar menjahili

“Smile” atau senyuman jadi narasi yang diusung “Candid Camera” sejak awal. Allen Funt kreator program ini bukan sekedar menjahili orang hingga memperoleh tontonan. Ia mencoba menyuguhkan tayangan yang menyenangkan, membuat orang tersenyum. Smile. Dengan narasi seperti ini, tayangan “Candid Camera” pun bukan sekedar menjahili. Bukan hanya penonton yang dibuat tersenyum, tapi orang-orang yang dijahili pun harus ikut tersenyum.
Di sini perlu kejelian dalam meramu konsep kreatif. Bagaimana bisa menjahili orang tanpa merugikan. Hal utama yang perlu diperhatikan tentunya bagaimana konsep jahil yang diangkat tidak membuat orang merasa kesal apalagi sampai merasa dirugikan.
Kenapa pada masa sekarang konten prank di media sosial cenderung memperoleh kesan negatif sementara program dengan jenis konten prank di televisi bisa bertahan hingga puluhan tahun?
ADVERTISEMENT
Untuk menjawabnya, kita bisa melihat bagaimana kualitas kreator konten memegang peran penting dalam mengemas tayangan. Kreator tayangan televisi harus memiliki latar belakang sebagai seorang profesional. Produser merupakan nama bagi profesi kreator di televisi. Sebagai satu bentuk media massa, penyelenggara televisi juga menerapkan kaidah-kaidah yang ketat bagi konten yang ditayankangkan. Ini berkaitan dengan adanya regulasi dari pembuat kebijakan di negara setempat baik dari pemerintah maupun lembaga independen.
Kita mengenal Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI sebagai regulator siaran radio dan televisi di negeri ini. Lembaga ini membuat pedoman penyelenggaraan siaran. Ada panduan dan batasan-batasan bagi konten yang ditayangkan oleh penyelenggara siaran. Di Indonesia, pedoman dan batasan ini dituliskan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan oleh KPI.
ADVERTISEMENT
Bagi orang awam, adanya aturan tampak membosankan. Apalagi jika bicara konsep kreatif yang melandasi karya audio visual atau tayangan di televisi. Munculnya media internet menjadi alternatif bagi kreator yang merasa enggan karyanya dibatasi.
Namun ternyata konsep kreatif tanpa panduan dan batasan-batasan bisa jadi merugikan. Munculnya media sosial memungkinkan semua orang membuat konten dan menyebarkannya langsung ke khalayak luas. Pembuat konten amatir tanpa bekal pengetahuan mengenai batasan konten yang baik dan buruk muncul ke permukaan. Kreator konten prank termasuk di antaranya. Para kreator pun jadi korban karena ketidaktahuannya dalam mengemas konten yang bertanggung jawab seperti beberapa nama kreator konten prank yang dipolisikan hingga dipenjarakan.
Padahal dengan pengetahuan yang baik, konten prank bisa dikemas menjadi suguhan yang aman. Jenis konten ini tidak selalu mencerminkan hal negatif. Semua bergantung kepada cara mengemasnya. Di sini para kreator amatir perlu belajar dari tayangan di televisi.
ADVERTISEMENT
“Candid Camera” bukan satu-satunya tayangan televisi dengan konsep menjahili. Dari masa ke masa, ada banyak tayangan berbentuk ide kreatif seperti konten prank di seluruh dunia. Di televisi konten menjahili orang ini tidak dikenal dengan istilah “prank”. Jenis tayangan ini masuk ke dalam ragam “reality show”.
Dalam sejarah TV di Indonesia, salah satu reality show dengan konsep “prank” cukup sukses di masa lalu adalah program berjudul “Spontan” yang tayang di SCTV sejak tahun 1996 hingga 2003. Tayangan prank yang dibungkus dalam bentuk komedi ini bertahan hingga 12 tahun.
Kenapa konten prank di TV bisa sukses dan terhindar dari kesan negatif? Ini kembali ke para pekerja profesional. Tayangan di televisi tidak hanya dikerjakan oleh satu orang. Produser memiliki satu tim spesialis mulai dari penulis naskah, penata kamera, penata audio, editor, penata anggaran, dan sederet profesional lainnya di balik satu produksi program TV. Belum lagi tim produser ini dibuat bergantian dalam menangani satu program. Umumnya untuk menangani satu program di stasiun TV ditugaskan setidaknya 2 tim produser sehingga bisa bergantian. Dari sini tercipta sistematika kerja profesional dalam pembuatan program TV.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain kelangsungan sebuah konten di TV tidak bergantung kepada satu orang saja. Sudah dibentuk sistematika kerja pada setiap program yang ditayangkan. Jika ada satu atau sebagian yang berhalangan, maka pengerjaan produksi konten tayangan bisa ditangani oleh tim lainnya. Inilah yang menjadi pembeda dengan kreator konten amatir di media sosial.
Para kreator video yang dikenal sebagai youtuber atau vlogger mungkin bisa menghasilkan tayangan audio visual yang ditonton banyak orang di media online. Namun tidak semua kreator konten ini profesional. Belum lagi sistem kerja penggarapan konten yang bergantung kepada satu atau dua orang saja. Akhirnya, bukan saja isi konten tidak dapat dipertanggungjawabkan, namun keberlangsungan konten belum tentu bisa dipertahankan.
ADVERTISEMENT
Jika ada yang menyebut beredarnya konten prank sebagai kecenderungan negatif, tentunya perlu dilihat lagi bagaimana cara konten itu dikemas. Seperti konten prank di televisi yang sudah ada sejak lama, pengemasan yang baik bisa mengantarkan tayangan jenis ini menjadi sajian menghibur tanpa merugikan pihak mana pun.