Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Masa Depan Iklan di Televisi
20 Juni 2022 21:29 WIB
Tulisan dari Afgiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masa depan iklan di televisi pada saat ini dapat dibilang mengkhawatirkan. Bisa kita lihat dari penurunan belanja iklan media televisi dalam beberapa tahun terakhir. Membandingkan data rilis dari Nielsen Media Research antara tahun 2019 dengan 2021, belanja iklan TV di Indonesia turun sekitar 8 persen dari penguasaan pangsa pasar 85% menjadi 78,2%. Sementara belanja iklan digital pada periode yang sama meningkat hingga 127 persen dari 7% menjadi 15,9% penguasaan pangsa pasar. Melihat kecenderungan ini, apakah lama-kelamaan televisi bakal ditinggalkan oleh pengiklan? Bagaimana strategi industri televisi supaya bisa bertahan?
ADVERTISEMENT
Mari kita lihat dulu bagaimana kejayaan iklan televisi pada masa lalu. Pada tahun 1970-an, iklan televisi di Indonesia tayang dalam satu program “Mana Suka Siaran Niaga”. Masa itu hanya TVRI satu-satunya siaran televisi di Indonesia. Pemirsa tidak punya banyak pilihan alternatif media sehingga siaran iklan pun ditonton secara khusus. Lalu sejak awal tahun 1980-an, siaran iklan di televisi bahkan dihentikan oleh pemerintah karena dianggap membawa dampak buruk pada pembangunan.
Masyarakat Indonesia mulai terpapar kembali iklan televisi pada dekade 1990-an ketika TV swasta mulai boleh bersiaran. Banyaknya iklan bahkan mengganggu kenyamanan menonton TV namun masyarakat tidak punya pilihan apalagi tayangan yang disajikan memang menarik buat disaksikan.
Lalu, maraknya media online khususnya platform video online pada dekade 2010-an dengan bentuk-bentuk kreatif penayangan iklan menawarkan kenyamanan menonton buat pemirsa. Berbeda dengan iklan televisi, dalam tayangan media online iklan bisa ditutup atau dilewati. Ini jadi ancaman bagi industri televisi. Terbukti pada awal dekade 2020, pandemi Covid-19 memicu percepatan pertumbuhan belanja iklan media online di Indonesia hingga mengalami kenaikan lebih dari dua kali lipat sementara belanja iklan televisi mengalami penurunan.
ADVERTISEMENT
Menghadapi tantangan belanja iklan yang semakin menurun, bagaimana industri televisi bisa bertahan? Ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan. Sebelumnya perlu kita perhatikan dulu apa saja yang jadi keunggulan iklan media online dibandingkan media televisi.
Pertama soal target khalayak. Media online bisa mendistribusikan iklan kepada pengguna secara lebih spesifik dibandingkan media televisi. Dikenal istilah “targeted ads” di mana media digital mampu memaparkan iklan kepada kelompok pengguna tertentu baik berdasarkan demografis (usia, gender, pekerjaan, dsb), geografis atau lokasi tempat tinggal, hingga psikografis seperti pilihan hobi dan gaya hidup. Kedua adanya sistem automatis dalam pemesanan dan penempatan iklan. Ini disebut dengan “programmatic ads”, melalui sistem ini pengiklan dapat mengatur sendiri pemesanan sesuai dengan target yang dituju seperti berapa banyak orang dan profil khalayak tujuan lalu penempatan iklan akan terjadi secara automatis oleh sistem untuk mencapai target yang telah ditentukan.
ADVERTISEMENT
Sekarang kita coba lihat bagaimana industri televisi bisa mencoba bersaing untuk mengatasi persoalan pertama mengenai kemampuan media digital untuk melakukan “targeted ads”. Di sini Saya coba ambil studi kasus dari layanan periklanan yang disediakan Whispermedia, salah satu anak perusahaan grup Emtek yang juga menaungi stasiun televisi SCTV dan Indosiar. Mengutip dari website dan kanal Youtube Whispermedia, mereka menawarkan sistem “geo” untuk penayangan iklan televisi yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ini mirip dengan iklan di Youtube. Jika menonton satu konten yang sama dari akun berbeda, bisa jadi iklannya pun berbeda. Di televisi pembedaan dimungkinkan berdasarkan area siaran. Misalnya, pada saat ditayangkan program sinetron lalu masuk kepada tayangan iklan, maka penonton di Bandung bisa disuguhkan iklan yang berbeda dengan penonton di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Sistem “geo” yang kemungkinan besar berasal dari konsep ragam iklan untuk geografi atau lokasi berbeda memungkinkan pengiklan untuk melakukan apa yang disebut “targeted ads” secara lebih spesifik khususnya untuk siaran nasional. Jika sebelumnya target beriklan di televisi nasional dilakukan berdasarkan profil pemirsa satu program, maka sistem ini bisa lebih spesifik menyasar khalayak di daerah tertentu. Memang jika dibandingkan dengan iklan media online penargetan area geografis masih cukup luas karena saat ini pancaran siaran televisi dibagi berdasarkan provinsi. Sementara iklan digital bisa lebih spesifik hingga ke level kota, bahkan dengan teknik tertentu bisa diatur hingga area lebih kecil seperti cakupan beberapa kilometer dari pusat bisnis pengiklan. Namun adanya kemampuan penargetan lebih sempit dari iklan televisi bisa menjadi satu alternatif untuk bersaing dengan iklan media online mengingat sifat media televisi dengan paparan secara luas pada saat bersamaan.
ADVERTISEMENT
Lalu, jika Youtube memaparkan iklan dalam bentuk terpisah dari konten, sistem “geo” bisa diterapkan untuk iklan dalam tayangan atau dikenal dengan istilah “in-content advertising” (ICA). Artinya, melalui layanan perusahaan seinduknya, SCTV dan Indosiar dapat mengiklankan produk yang berbeda dalam satu tayangan tanpa menunggu jeda iklan. Misalnya, dalam satu tayangan sinetron pada adegan di jalanan kita bisa melihat adanya papan reklame satu produk tertentu yang terpampang. Iklan atau pesan sponsor bisa dimasukkan ke papan reklame itu tadi. Inilah yang disebut ICA. Dalam istilah televisi konvensional konsep ini dikenal dengan istilah “built-in” di mana iklan sponsor ditampilkan dalam tayangan. Lalu, bagaimana bisa menayangkan iklan yang berbeda di setiap kota dalam tayangan yang sama?
ADVERTISEMENT
Untuk menerapkan ICA atau “built-in” pada isi tayangan televisi bisa dilakukan dengan teknik efek visual. Ini disebut dengan istilah “digital brand integration” atau DBI. Kalau kita kembali ke contoh tayangan sinetron dengan papan reklame pada adegan jalanan yang diisi oleh iklan sponsor menggunakan teknologi DBI, ini berarti tidak ada iklan sponsor di lokasi aslinya. Bahkan bisa jadi tidak ada papan reklame sama sekali di jalanan tempat adegan berlangsung. Papan reklame ditambahkan melalui efek visual pada proses editing. Melalui teknologi ini maka dimungkinkan untuk menayangkan iklan berbeda di masing-masing daerah dalam tayangan yang sama pada saat acara disiarkan.
Jika SCTV dan Indosiar melalui perusahaan seinduknya sudah menawarkan layanan “in-content advertising” dengan sistem “geo” sehingga memungkinkan penargetan bagi iklan di dalam konten tayangan, maka ini mungkin bisa jadi alternatif “targeted ads” bagi industri televisi. Selanjutnya Saya mau coba paparkan alternatif untuk “programmatic ads” di mana pemesanan iklan dilakukan secara mandiri oleh pengiklan lalu ditayangkan secara automatis oleh sistem untuk mencapai target yang ditentukan.
ADVERTISEMENT
Melalui sistem penyiaran televisi digital, pada dasarnya sistem “programmatic ads” bisa diterapkan. Ini bukan konsep latah karena melihat embel-embel digital. Perbedaan paling mendasar dari konsep siaran TV digital terestrial dengan media digital di internet adalah soal interaktif. Pada media online, penyelenggara bisa mengetahui persis berapa banyak kunjungan yang datang ke situs yang dikelolanya. Sementara untuk penyiaran TV digital, kita tetap tidak bisa mengetahui berapa banyak orang menonton kecuali dengan riset menggunakan sampling seperti sistem TV Audience Measurement (TAM) yang dilakukan oleh Nielsen Media Research. Namun konsep dasar streaming media digital sebelum siaran TV dipancarkan melalui antena pemancar secara teknis bisa mengadopsi sistem “programmatic ads”.
Untuk menerapkan sistem “programmatic ads” pada siaran televisi digital Saya coba ajukan konsep “Programmatic On-Air TV Advertising” (POTAS). Pada sistematika ini, penyelenggara siaran TV perlu menyediakan “ads server” untuk menampung iklan yang akan ditayangkan. Adanya kolaborasi antar stasiun TV di Indonesia akan lebih baik sehingga hanya ada satu “ads server” untuk semua siaran TV. Lalu tentunya perlu ada program atau aplikasi komputer untuk pemesanan dan penempatan iklan secara automatis seperti fitur “google ads” atau “facebook ads”. Selanjutnya, untuk penempatan iklan, dilakukan penyisipan melalui stream siaran di level penyelenggara multipleksing (mux). Ini memungkinkan sistem POTAS secara konsorsium antar stasiun TV. Teknologi semacam ini sudah dilakukan pada platform OTT video online. Google misalnya menyediakan layanan “dynamic ads insertion” pada tayangan live streaming sehingga bisa disisipi iklan programmatic. Untuk mengetahui performa iklan, maka sistem ini perlu dihubungkan dengan hasil riset misalnya lewat integrasi kepada perangkat lunak hasil riset TAM keluaran Nielsen.
ADVERTISEMENT
Sistem POTAS sebagai solusi alternatif “programmatic ads” pada siaran televisi digital memang belum terbukti bisa diimplementasikan. Agar sistem ini berhasil, diperlukan penyesuaian signifikan pada sistem penempatan iklan televisi yang sudah berjalan selama puluhan tahun. Belum lagi kemauan antar lembaga untuk berkolaborasi mengembangkan sistem ini. Kemudian di level teknis masih perlu dipastikan bagaimana sistem ini bisa dijalankan dengan aman. Namun setidaknya konsep ini bisa dikembangkan sesuai dengan perkembangan industri televisi saat ini dalam menghadapi tantangan media online.
Untuk menghadapi tantangan media online, industri televisi harus terus berinovasi untuk menentukan keberadaan siaran iklan di masa mendatang. “Targeted ads” pada iklan di dalam tayangan (ICA) dengan bentuk DBI sehingga pemirsa bisa menonton iklan berbeda berdasarkan geografi seperti ditawarkan SCTV dan Indosiar menjadi contoh bagi stasiun TV lainnya. Begitu juga dengan sistem POTAS yang Saya tawarkan bisa dieksplorasi lebih jauh sebagai alternatif dari sistem “programmatic ads” agar televisi bisa mempertahankan eksistensinya pada industri periklanan.
ADVERTISEMENT