'Pak Lurah' dan Semiotika Pidato Presiden Jokowi: Makna di Balik Simbol 

Afgiansyah
Praktisi dan Akademisi Komunikasi Media Digital dan Penyiaran. Co-Founder Proxymedia.id // Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Universitas Indonesia, dan Universitas Paramadina.
Konten dari Pengguna
17 Agustus 2023 10:35 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afgiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2023 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2023 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Presiden Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2023. Dalam pidato tersebut, ia mengatakan, "Saya bukan lurah. Saya adalah Presiden Republik Indonesia".
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini menjadi viral dan memicu berbagai reaksi dari publik. Ada yang mendukung, ada yang mengejek, ada yang mengkritik, dan ada yang mempertanyakan makna sebenarnya dari kata "lurah" dalam konteks pidato tersebut.
Untuk memahami makna di balik kata "lurah", kita perlu menggunakan lensa semiotika. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda dan makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Tanda-tanda dapat berupa kata-kata, gambar, suara, gerakan, atau simbol-simbol lainnya. Makna-makna dapat bervariasi tergantung pada konteks, budaya, dan interpretasi masing-masing individu atau kelompok.
Kita akan mencoba menerapkan beberapa teori semiotika dari para ahli untuk menganalisis makna di balik kata "lurah" dalam pidato Presiden Jokowi. Teori-teori yang akan kita gunakan antara lain dari Roland Barthes dan Umberto Eco.
ADVERTISEMENT

"Pak Lurah" dari Perspektif Semiotika Roland Barthes

Presiden Jokowi pada Upacara HUT ke-78 RI di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/8/2023). Foto: Youtube/Sekretariat Presiden
Seorang tokoh semiotika terkemuka dari Prancis, Roland Barthes, mengemukakan bagaimana tanda-tanda, seperti kata-kata atau gambar, menyampaikan makna dalam bahasa, dengan menggabungkan analisis denotasi dan konotasi, serta mitos dan ideologi yang terkandung dalam tanda-tanda tersebut.
Dalam kasus "Pak Lurah", denotasinya adalah sebutan untuk kepala desa atau kelurahan di Indonesia. Ini adalah makna lokal yang umum digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menyapa atau memanggil pemimpin mereka di tingkat terendah.
Namun, dalam konteks pidato Presiden Jokowi, kata "lurah" telah bertransformasi menjadi konotasinya. Konotasinya adalah sebutan untuk pemimpin tertinggi Indonesia, yaitu Presiden Republik Indonesia.
Dengan kata lain, kata "lurah" telah menjadi mitos yang mengacu pada identitas dan otoritas Presiden Jokowi sebagai pemimpin nasional. Mitos ini mencerminkan dinamika sosial politik di Indonesia, di mana Presiden Jokowi dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyat dan berasal dari latar belakang sederhana.
ADVERTISEMENT
Maka tidak heran jika banyak orang yang menyebutnya sebagai "Pak Lurah", baik sebagai bentuk penghormatan maupun keakraban. Selain itu ada mitos lain yang bisa juga dikaitkan dinamika pencalonan presiden RI pada pemilu 2024. Presiden Jokowi dianggap sebagai sosok yang memiliki pengaruh dalam menentukan pasangan presiden dan wakil presiden pada pemilu mendatang.
Namun, mitos ini juga memiliki implikasi ideologis yang dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap Presiden Jokowi. Ideologi adalah sistem keyakinan atau nilai-nilai yang mendasari tindakan atau pemikiran seseorang atau kelompok. Ideologi dapat bersifat positif atau negatif, sesuai dengan realitas atau tidak, dan dapat berubah seiring dengan waktu atau tidak.
Ideologi dalam mitos "Pak Lurah" bisa dilihat positif jika publik melihat Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang peduli dan responsif. Namun, persepsi negatif muncul jika ia dianggap lemah atau tidak kompeten.
ADVERTISEMENT
Kesesuaian ideologi dengan realitas tergantung pada kinerja Presiden Jokowi dalam menjalankan tugasnya. Jika ia gagal memenuhi harapan, ideologi tersebut mungkin tidak sesuai dengan kenyataan.
Di sisi lain, dalam konteks mitos pengaruh Presiden Jokowi terkait penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu mendatang, bisa dilihat positif jika Ia dianggap sebagai sosok sukses penyelenggaraan negara. Namun di sisi lain bisa jadi persepsi negatif jika Ia dianggap tidak netral sebagai seorang kepala negara dalam menyikapi pemilihan presiden tahun 2024.
Sejalan dengan waktu, persepsi ini bisa berubah tergantung kinerja dan sikap Presiden, atau tetap jika tidak ada perubahan signifikan.

Klarifikasi Presiden dari Pandangan Semiotika Umberto Eco

Ilustrasi kunci jadi pemimpin. Foto: Shutterstock
Umberto Eco adalah seorang tokoh semiotika terkenal yang berasal dari Italia. Ia berpendapat bahwa setiap tanda dapat memiliki makna ganda atau ambiguitas. Ambiguitas dapat timbul karena adanya perbedaan antara maksud pengirim pesan dengan pemahaman penerima pesan.
ADVERTISEMENT
Ketika Presiden Jokowi mengatakan, "Saya bukan lurah. Saya adalah Presiden Republik Indonesia", ia sebenarnya sedang berusaha mengatasi ambiguitas yang mungkin timbul dari penggunaan kata "lurah".
Ia mencoba mengklarifikasi bahwa ia bukan hanya seorang lurah biasa, tetapi juga seorang presiden yang memiliki tanggung jawab besar terhadap negara dan rakyat. Ia juga mencoba mengingatkan bahwa ia memiliki otoritas dan wewenang sebagai pemimpin tertinggi Indonesia.
Di sisi lain, Ia juga ingin mengklarifikasi bahwa dirinya tidak ada campur tangan dalam penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024.
Dengan demikian, Presiden Jokowi sedang melakukan proses enkode dan dekode. Enkode adalah proses menyusun pesan dengan menggunakan tanda-tanda tertentu.
Dekode adalah proses memahami pesan dengan menginterpretasikan tanda-tanda tersebut. Presiden Jokowi, melalui pernyataannya, mencoba menghilangkan keraguan dan mendefinisikan ulang makna "Pak Lurah" dalam konteks pemimpin nasional.
ADVERTISEMENT
Namun, proses enkode dan dekode ini tidak selalu berhasil atau sempurna. Ada kemungkinan bahwa publik tidak memahami maksud Presiden Jokowi dengan benar atau tidak setuju dengan pernyataannya.
Ada juga kemungkinan bahwa publik memiliki interpretasi yang berbeda-beda terhadap pernyataan Presiden Jokowi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti niat, konteks, budaya, dan kreativitas.
Dalam hal ini, niat adalah tujuan atau motivasi di balik pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan. Konteks adalah situasi atau kondisi di mana pesan disampaikan atau diterima oleh penerima pesan.
Budaya adalah kumpulan nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu. Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan atau menemukan makna baru dari tanda-tanda yang ada.
ADVERTISEMENT
Misalnya, niat Presiden Jokowi mungkin adalah untuk menegaskan identitas dan otoritasnya sebagai presiden, tetapi konteks pidato kenegaraannya mungkin membuat publik merasa bahwa ia sedang membela diri atau menantang lawan politiknya.
Budaya publik Indonesia mungkin menghargai posisi Presiden Jokowi sebagai kepala negara yang bersifat netral dengan pernyataan bahwa dirinya bukan "Pak Lurah", tetapi kreativitas publik Indonesia mungkin juga membuat mereka melancarkan sarkasme dari pernyataannya sebagai bukan "Pak Lurah".

Kompleksitas Makna "Pak Lurah"

Dari analisis semiotika yang telah kita lakukan, dapat kita simpulkan bahwa istilah "Pak Lurah" dalam pidato Presiden Jokowi memiliki makna yang kompleks dan berlapis. Istilah ini bukan hanya sebutan lokal untuk kepala desa atau kelurahan, tetapi juga simbol untuk identitas dan otoritas Presiden Jokowi sebagai pemimpin nasional. Istilah ini juga menjadi mitos yang mengacu pada dinamika sosial politik di Indonesia, di mana Presiden Jokowi dianggap memiliki pengaruh dalam menentukan dinamila pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT
Istilah tersebut dapat menimbulkan ketidakjelasan dan perselisihan. Lewat pernyataannya, Presiden Jokowi berusaha menegaskan bahwa dirinya pemimpin nasional yang bersikap netral. Dia juga ingin menegaskan otoritasnya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia. Meski demikian, masyarakat mungkin memiliki beragam pandangan terhadap ucapannya. Beberapa mendukung, sementara yang lain merendahkannya, mengkritik, atau mempertanyakan arti sejati "lurah" dalam pidato itu.
Melalui kacamata semiotika dari Barthes dan Eco memungkinkan kita untuk memahami bagaimana simbol-simbol tersebut mendapatkan maknanya. Sebagai pemimpin bangsa, setiap kata dan tindakan Presiden Jokowi tentunya akan selalu menjadi sorotan dan memiliki berbagai interpretasi. Analisis semiotika dapat kita jadikan sebagai alat untuk memahami lebih dalam tentang dinamika sosial budaya dan politik yang terus bergerak dan berubah di Indonesia.
ADVERTISEMENT