Konten dari Pengguna

Project S dari TikTok: Dibekali AI, Ditakuti Gembosi Industri dalam Negeri

Afgiansyah
Praktisi dan Akademisi Komunikasi Media Digital dan Penyiaran. Co-Founder Proxymedia.id // Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Universitas Indonesia, dan Universitas Paramadina.
10 Juli 2023 17:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afgiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
TikTok Shop. Foto: Koshiro K/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
TikTok Shop. Foto: Koshiro K/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sukses dengan TikTok Shop yang gandeng penjual lokal, platform video TikTok berencana buka toko sendiri. Terungkap dalam tulisan reporter Financial Times, Cristina Criddle & Qianer Liu pada akhir Juni 2023 lalu, ByteDance induk perusahaan TikTok disebut merintis marketplace online yang isinya jualan punya mereka sendiri dan rekan pilihan dari brand ternama.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan itu, Project S jadi kode inisiatif terbaru ini. E-commerce ini hanya berisi “penjual-penjual pilihan” saja. Isinya tentunya bukan para penjual usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri. Lalu apa salahnya?
Project S, yang mulai mencuat pada bulan Juni 2023 lalu, telah memicu perhatian dunia. Ide konkret dari toko online ini pertama kali terlihat di Inggris dengan sebutan "Trendy Beat". Meskipun sekilas tampak serupa dengan TikTok Shop, platform e-commerce ini punya dinamika yang beda.
Dalam laporan dari Criddle & Liu, diungkapkan bahwa semua produk yang ditawarkan dikirim langsung dari China, dikelola oleh sebuah perusahaan yang berdomisili di Singapura, dan berada di bawah payung perusahaan induk TikTok, ByteDance, yang berpusat di Beijing.
TikTok Shop. Foto: Ascannio/Shutterstock
Model bisnis ini memang memiliki kesamaan dengan Amazon, yang membuat dan memasarkan rangkaian produk terlaris mereka secara eksklusif. Inilah yang membedakan Project S dari TikTok Shop. Di TikTok Shop, setiap individu atau usaha kecil bisa menjual produk mereka, sementara di Project S, penjualan produk dikendalikan dan dioptimasi oleh TikTok sendiri.
ADVERTISEMENT
TikTok dengan cerdik memanfaatkan artificial intelligence (AI) untuk memprediksi dan menawarkan produk yang disukai pengguna, berdasarkan data perilaku belanja mereka. AI bisa digunakan untuk mengenali produk-produk yang populer di video TikTok, untuk kemudian ditawarkan kepada pengguna.
AI juga bisa digunakan untuk menyesuaikan penawaran produk dengan minat dan perilaku belanja pengguna, serta untuk meningkatkan interaksi dan engagement dengan penjual dan influencer melalui live streaming.
Teknologi AI juga tentunya diterapkan dalam TikTok Shop. Inisiatif Project S dilandasi oleh data-data pembelian dari TikTok Shop lalu dioptimasi untuk membesarkan project ini. Semua data memang milik TikTok sesuai “consent” atau persetujuan para pengguna ketika menggunakan aplikasi ini. Di sini tampak belum ada yang salah.
ADVERTISEMENT
TikTok Shop. Foto: farzand01/Shuttersock
Namun, Project S memicu kekhawatiran terkait persaingan dengan industri lokal. Data-data penjualan dari TikTok Shop, bukan hanya digunakan untuk optimasi promosi dalam menjangkau lebih banyak pembeli. Informasi rinci tentang produk apa saja yang diminati pembeli dapat dijadikan landasan rencana produksi oleh toko milik TikTok sendiri.
Misalnya jika data di TikTok Shop menunjukkan produk kerudung persegi empat banyak diminati di Indonesia, maka toko milik TikTok akan memproduksi lebih banyak barang tersebut sehingga memiliki harga lebih murah bahkan kualitas lebih baik dibandingkan penjual lokal khususnya UMKM dalam negeri. Akibatnya industri kecil dalam negeri akan kalah saing dengan toko milik TikTok. 
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, pada awal Juli 2023 lalu mengungkapkan kekhawatiran terhadap dampak negatif Project S TikTok terhadap UMKM di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, strategi memproduksi barang di China berdasarkan data tren produk populer di Indonesia berpotensi merusak pasar produk UMKM. Barang-barang yang diproduksi di China biasanya memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan produk lokal, sehingga berpotensi merusak pangsa pasar produk UMKM.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Sebagai contoh, hanya 25 persen hijab di Indonesia yang diproduksi oleh UMKM lokal, sementara 75 persen sisanya dikuasai oleh produk impor, terutama dari China, berdasarkan studi World Economic Forum (WEF) pada 2021. Padahal, masyarakat Indonesia menghabiskan sekitar USD 6,9 miliar untuk membeli 1,02 miliar hijab setiap tahun.  
Ilustrasi TikTok. Foto: Shutterstock
Untuk mengantisipasi potensi ancaman ini, Menteri Teten mendesak revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE). Revisi ini diharapkan dapat melindungi UMKM dan konsumen dari praktik perdagangan yang tidak adil serta menjaga industri lokal tetap kompetitif. 
ADVERTISEMENT
TikTok Indonesia membantah klaim Kementerian Koperasi dan UKM mengenai Project S TikTok Shop yang dianggap berpotensi merugikan UMKM lokal. Mereka menegaskan bahwa inisiatif e-commerce tersebut tidak beroperasi di Indonesia.
Mengutip laporan dari Kompas.com pada 7 Juli 2023 lalu, TikTok Indonesia menegaskan tidak ada bisnis lintas batas yang berlangsung di TikTok Shop Indonesia, serta berkomitmen untuk memberdayakan penjual lokal dan UMKM di Indonesia, seperti yang ditunjukkan melalui inisiatif TikTok Jalin Nusantara.
Fenomena Project S TikTok Shop ini layaknya menjadi alarm bagi kita. Keberanian untuk berinovasi dan adaptasi terhadap teknologi baru sangat penting bagi pengusaha untuk bertahan dan berkembang. Namun tentunya pemerintah juga berperan penting dalam membuat dan menegakkan regulasi yang adil untuk melindungi industri dalam negeri dari dominasi atau monopoli perusahaan besar.
ADVERTISEMENT