news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Siaran TV Aman dari Pornografi, Media Sosial dan Platform OTT Siapa yang Awasi?

Afgiansyah
Praktisi dan Akademisi Komunikasi Media Digital dan Penyiaran. Co-Founder Proxymedia.id // Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Universitas Indonesia, dan Universitas Paramadina.
Konten dari Pengguna
2 Juni 2022 14:11 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afgiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menghindari tayangan pornografi. Sumber: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menghindari tayangan pornografi. Sumber: Pribadi
ADVERTISEMENT
Siaran TV di Indonesia sudah pasti aman dari konten pornografi. Di tengah kritik tayangan tidak bermutu atau musik dangdut melulu, media penyiaran harus memenuhi standar kelas satu agar terhindar dari larangan yang tercantum di UU. Satu-satunya ancaman terbesar bagi pemirsa TV hanya satu, tuntutan komersial industri TV membuat khalayak jadi komoditas. Tapi bagaimana dengan media sosial dan platform OTT?
ADVERTISEMENT
Mungkin perlu kita paparkan dulu apa saja yang dimaksud media sosial di sini. Jika teringat dengan Facebook, Instagram, Twitter, dan Tiktok, maka betul, inilah media sosial yang kita bicarakan. Bagaimana dengan platform OTT? Walaupun definisinya cukup luas, namun bisa disepakati situs dan aplikasi dengan tayangan video panjang masuk pada definisi ini. Kita bisa menyebut Netflix, Disney+, WeTV, dan Viu dalam kategori ini. Tidak lupa menyebut VIDIO, platform OTT karya Indonesia yang lengkap dengan layanan livestreaming TV, film dan serial lokal maupun internasional, hingga konten video dari pengguna. Bagaimana dengan Youtube? Media sosial atau OTT platform? Supaya tidak sulit, mari kita sebut saja platform dalam kawanan Google ini masuk dalam kedua kategori.
ADVERTISEMENT
Nah, kalau bicara konten pornografi, maka di semua platform media sosial kita bisa temukan konten pornografi. Ya, jangan sangka Youtube yang jadi andalan kita menghibur anak-anak supaya tidak rewel bersih dari pornografi. Setidaknya konsep pornografi dari sudut pandang masyarakat Indonesia. Sebelum kita membahas lebih jauh, soal cara pandang pornografi ini perlu kita ulas sedikit.
Bagi masyarakat Indonesia, nudisme, terbukanya bagian tubuh vital orang dewasa baik dalam konteks seni tanpa motivasi erotisme akan dianggap sebagai pornografi. Walaupun karya-karya seni kuno nusantara dari masa kerajaan Hindu ditemukan unsur nudisme bahkan erotisme, bagi masyarakat Indonesia masa kini nudisme yang tampil di media publik akan dianggap pornografi.
Media televisi tentunya benar-benar aman dari pornografi. Jangankan konten bertema hubungan seksual secara eksplisit, erotisme, hingga nudisme, perempuan dengan pakaian terbuka saja hingga tampak bagian dada atau paha akan disensor oleh televisi di Indonesia. Namun pastinya batasan ini tidak diadopsi oleh Youtube. Dan boleh dibilang Youtube salah satu platform media sosial dengan sistem paling baik dalam penanganan pornografi dan konten tidak senonoh.
ADVERTISEMENT
Buat membahas lebih jauh tentang pornografi di media sosial dan platform OTT, perlu diketahui ada usaha serius dari pemerintah untuk memberantas pornografi di internet. Kominfo punya tim khusus untuk memelototi situs-situs pornografi dan memblokirnya. Usaha ini didukung oleh operator internet sehingga semua situs yang dikenali menyajikan pornografi akan diblokir secara otomatis. Di sini kita bicara soal pornografi eksplisit, konten erotisme, hingga hubungan seksual. Pemblokiran ini belum termasuk konten pornografi di media sosial dan platform OTT.

Bagaimana Media Sosial Kontrol Pornografi

Media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, Twitter, dan Youtube sebenarnya memiliki kebijakan untuk melarang pornografi. Seperti dipaparkan sebelumnya, Youtube bisa dibilang punya sistem terbaik mengatasi pornografi. Namun tentunya itu belum cukup. Kenapa? Semua platform berlandaskan pada “community guideline” atau panduan kepada komunitas pengguna untuk menindak pornografi. Mereka membuat peraturan dan ketika ada pelanggaran peraturan, penyelenggara media sosial mengandalkan laporan yang disampaikan oleh pengguna mengenai pelanggaran yang terjadi. Masalahnya di sini, konten yang sudah dinyatakan terlarang oleh penyelenggara platform media sosial, masih bisa lolos untuk tersirkulasi.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, Youtube melarang konten pornografi. Karena Youtube membuka kesempatan bagi siapa saja mengunggah konten ke platform itu, maka bisa saja pengguna tetap mengunggah konten pornografi walupun terlarang. Ini tidak bisa dicegah oleh Youtube sampai ada pengguna lain yang melaporkan bahwa konten tersebut melanggar aturan Youtube. Untuk ini disediakan fitur otomatis untuk melapor. Namun sayangnya belum ada fitur otomatis yang mendeteksi bahwa konten yang diunggah mengandung unsur pornografi. Ini membuat konten pornografi masih bisa eksis di Youtube. Hal yang sama juga terjadi di platform lain seperti Instagram, Facebook, dan TikTok yang melarang konten nudisme dan pornografi. Namun semua konten asusila itu masih bisa tersirkulasi sebelum ada laporan.
ADVERTISEMENT
Kelemahan sistem otomatis dari penyelenggara media sosial seperti Youtube, Facebook, Instagram, dan TikTok baru satu hal. Kita belum bicara mengenai batasan pornografi yang dilarang oleh penyelenggara media sosial yang semuanya berasal dari luar negeri. Ada perbedaan pandangan mengenai apa yang disebut unsur pornografi.
Jika kita bicara televisi yang menyensor tayangan perempuan dewasa berpakaian terbuka, ini dilandasi oleh nilai-nilai masyarakat Indonesia. Penyelenggara TV harus patuh pada pedoman yang diatur oleh negara. Dalam hal ini penyiaran TV dan Radio di Indonesia wajib menaati Pedoman Perilaku Siaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang disusun oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pedoman ini dibuat sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku bagi masyarakat Indonesia. Secara reguler, KPI juga mengawasi apakah penyelenggara siaran TV melanggar pedoman ini. Pelanggaran akan diberikan teguran hingga dikenai sanksi.
ADVERTISEMENT
Penyelenggara televisi tentunya akan menghindari pelanggaran ini. Berbeda dengan media sosial, konten yang tayang di televisi melalui saringan penyelenggara siaran. Oleh karena itu stasiun televisi bisa menjaga agar tayangannya aman sesuai pedoman. Dan tentunya ketika menyangkut pornografi pasti akan dihindari sesuai dengan definisi masyarakat Indonesia. Definisi pornografi ini berbeda dengan kebijakan media sosial yang berasal dari luar negeri.
Instagram sebagai contoh, masih membolehkan konten nudisme dalam konteks artistik. Konsep yang sama juga dianut oleh Youtube. Karya seni dengan konsep nudisme tidak dilarang. Padahal, bagi masyarakat Indonesia ini termasuk dalam kategori pornografi. Belum lagi platform lain seperti Twitter. Konten erotis bahkan bermuatan seksual masih bisa beredar. Twitter hanya menambahkan fitur pemberitahuan bahwa konten mengandung unsur pornografi. Pengguna masih tetap bisa mengaksesnya jika menyatakan sudah dewasa dan setuju untuk terpapar dengan konten tersebut. Bagaimana Twitter bisa tahu pengguna tersebut bukan anak-anak? Tidak bisa tentunya.
ADVERTISEMENT
Selain media sosial, ada lagi platform OTT. Di sini pengaturan konten dikelola oleh penyelenggara. Seperti stasiun televisi, mereka bisa menentukan konten apa saja yang akan ditampilkan. Namun platform OTT asing punya nilai yang berbeda. Netflix misalnya. Mereka menyajikan konten pornografi dalam sederet film dan serial yang ditayangkan di sana. Memang, tidak semua platform OTT menayangkan pornografi. Disney+, Viu, dan WeTV absen dari pornografi. Apalagi VIDIO yang asli dari Indonesia, menayangkan pornografi tentunya akan melanggar hukum. Namun jika Netflix bisa menayangkan pornografi, bukan tidak mungkin ada platform OTT lain sejalan dengan Netflix.
Lalu, mengenai pornografi di media sosial dan platform OTT, siapa yang bisa mengawasi? Atau mungkin pertanyaannya, perlukah diawasi seperti yang terjadi pada lembaga penyiaran stasiun radio dan televisi?
ADVERTISEMENT