Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Viral Pawang Hujan di Mandalika, Memalukan atau Membanggakan?
20 Maret 2022 18:21 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Afgiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan masuk ke Sirkuit Mandalika dengan bertelanjang kaki sambil membawa wadah dari kuningan di tangan kirinya serta tongkat di tangan kanannya. Ia mencoba menghentikan hujan secara mistis. Aksi pawang hujan ini disaksikan dunia internasional mulai dari pembalap MotoGP, panitia, penonton di lapangan hingga masyarakat dunia melalui siaran langsung televisi maupun web. Selain siaran langsung, aksi ini pun viral di media sosial dan pemberitaan media digital.
ADVERTISEMENT
Hujan deras mengguyur sirkuit hingga panitia memutuskan penundaan pertandingan. Ini bukan hal yang memalukan tentunya karena sebagai fenomena alam, hujan sulit untuk dicegah bahkan oleh teknologi paling modern saat ini. Namun sosok perempuan penangkal hujan dengan cara mistis jadi sorotan.
Pawang Hujan
ADVERTISEMENT
Namanya pun menjadi viral ketika akun resmi @MotoGP di twitter mengunggah aksinya di twitter. “The Master…#IndonesianGP. Keeping the rain away! #MotoGP” tulis akun itu disertai cuplikan video aksi pawang hujan ini di tengah sirkuit.
Apa komentar netizen Indonesia? Kata “Memalukan” sempat bertengger di trending twitter diikuti kata “Pawang” sebagai tanggapan aksi pawang hujan ini. Perlukah aksi ini dicerca? Benarkah memalukan?
Sebelum buru-buru mencerca, tentunya ada beberapa sudut pandang yang bisa kita angkat. Pertama soal keragaman budaya Indonesia. Aksi mistis di tengah sirkuit jelang pertandingan MotoGP secara eksplisit hampir dapat dipastikan belum pernah terjadinya sebelumnya. Aksi pawang hujan di tengah sirkuit MotoGP menjadi warna tersendiri buat Indonesia sebagai penyelenggara. Masyarakat internasional memperoleh suguhan menarik dengan adanya aksi ini hingga akun resmi MotoGP pun menyebarkannya di media sosial.
ADVERTISEMENT
Lalu kita juga bisa lihat dari sudut pandang toleransi beragama. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, ritual pawang hujan yang dilakukan Mbak Rara tentunya tidak tercantum dalam ajaran Islam. Namun perempuan berkeyakinan kejawen ini diberikan kesempatan untuk memberikan usaha terbaiknya melancarkan satu perhelatan besar yang sudah ditunggu-tunggu hingga 25 tahun lamanya. Hal ini jadi wajah Indonesia yang ramah ke mata dunia. Keyakinan minoritas diakomodir bahkan dirayakan.
Namun memang perlu kita telaah lebih jauh percakapan yang terjadi dalam kata kunci “Memalukan” yang trending ini. Walaupun dibalut dalam pesan yang tampak kecewa bagaimana Indonesia menegasikan modernitas, ada upaya politisasi dari posting-posting bertema kritik ini. Seperti cuitan dari "RajaRimba" dengan akun @bintangku206 yang menyebut “Ini tahun 2022 atau tahun 1950? Ini kelakuan jaman baheula dipertontonkan ke dunia internasional ini sangat memalukan dan menjijikkan jadi bahan tertawaan dunia luar.”
Tampak dari cuitan ini seharusnya bangsa kita sudah meninggalkan hal-hal bersifat mistis karena bisa jadi tertawaan masyarakat internasional. Sayangnya kritikan ini tidak didukung dengan fakta-fakta lebih lanjut. Jika dilihat lebih dalam, akun ini ternyata memposting hal-hal negatif yang terkait dengan rezim yang berkuasa seperti bebasnya penembak anggota FPI serta pernikahan beda agama seorang staf khusus Presiden, Ayu Kartika Dewi.
ADVERTISEMENT
Satu lagi postingan kritik pawang hujan di MotoGP Mandalika datang dari pengguna "Suka suka" dengan akun @andisnispuadi. Pengguna ini mengunggah satu meme foto aksi Mba Rara di sirkuit Mandalika sambil menambahkan caption. “Langit, bisakah kau turunkan harga minyak goreng?” Ini juga menunjukkan bagaimana terjadi politisasi aksi pawang di ajang MotoGP Mandalika . Harga minyak goreng yang melambung selama awal tahun 2022 telah menjadi bahan kritik kepada pemerintah.
Di luar bagaimana aksi pawang hujan ini dipolitisir, tentunya kita harus melihatnya secara menyeluruh. Alasan modernitas memang bisa jadi landasan kenapa hal-hal mistis dipertahankan. Namun, selama aksi tersebut tidak menegaskan berbagai hal yang patutnya dilakukan, rasanya sah-sah saja. Akan memalukan jika misalnya, penyelenggara sirkuit Mandalika tidak siap akan kondisi hujan sehingga hanya mengandalkan pawang hujan agar fenomena alam tersebut tidak terjadi.
ADVERTISEMENT
Kenyataannya, seperti yang berlaku di belahan dunia lainnya, perhelatan tetap terjadi. Para pembalap pun sudah memahami perlunya keahlian menangani “wet track” atau trek basah dalam pertandingan. Seperti disampaikan Fabio Quartararo pembalap asal Prancis yang menempati posisi kedua MotoGP Mandalika 2022, “Saya tahu potensi saya di balapan basah. Ini poin yang sangat penting dan saya sangat senang.” Ini menunjukkan bagaimana Quartararo mengukur potensinya dalam trek yang diguyur hujan.
Jadi, jika kita bicara modernitas, tanpa pawang hujan pun, sirkuit Mandalika sudah dipersiapkan untuk dijajal ketika diguyur hujan. Ada aspek-aspek teknis yang sudah dipersiapkan tanpa perlu mengandalkan pawang hujan . Ketika pawang hujan masuk sirkuit, hal ini bisa kita lihat sebagai warna unik tradisi keberagaman di Indonesia tanpa harus merasa malu kepada dunia internasional.
ADVERTISEMENT