Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Birokrasi Pemerintah dan Fenomena Kelompok Dominan
20 Desember 2024 23:17 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Afi Erdika Tito Primadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dinamika birokrasi di Indonesia tak selamanya merujuk pada permasalahan sistemik, melainkan juga permasalahan praktikal. Eksklusivitas pimpinan terhadap pengambilan keputusan, minimnya transparansi informasi, ketidakpastian jenjang karir, buruknya pola komunikasi, dan krisis kepercayaan, sering kali menjadi polemik yang menggerus profesionalitas pegawai dalam bekerja.
ADVERTISEMENT
Birokrasi pemerintah sebagai basis utama pelayanan negara kepada rakyat, tentu membutuhkan pengelolaan manajemen organisasi yang inklusif dan profesional. Tidak hanya berkualitas secara pendidikan dan pengalaman, tetapi juga mampu menjunjung tinggi nilai etika, moral, dan kemanusiaan di dalam menjalankan roda organisasi.
Sejatinya, birokrasi pemerintah bukanlah tempat singgah sesaat untuk menampung “ambisi” dan “ego-sektoral” individu, melainkan rumah bersama yang menyediakan ruang berdialog, berfikir, dan berinteraksi, bagi setiap orang maupun kelompok, demi terciptanya gagasan organisasi yang inovatif dan solutif.
Dominasi kekuasaan individu dan kelompok tertentu, membawa pengaruh buruk bagi keberlangsungan ekosistem birokrasi pemerintah. Selain itu, Budaya birokrasi selama ini identik strukturalis - hierarkis, menciptakan hegemoni kekuasaan bagi kalangan prioritas melalui pendekatan intervensif, maupun tindakan intimidatif terhadap individu lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kepemimpinan organisasi menurut sudut pandang penulis, “seorang pemimpin perlu menekankan rasionalitas (akal), dan kebijaksanaan intuisi (perasaan) dalam bertindak”. Hal itu dimaksudkan, supaya menghilangkan keraguan dan ketidakpastian yang mempengaruhi kualitas pengambilan keputusan.
Kepemimpinan birokrasi yang humanis, komunikatif, dan transparan, akan melahirkan kinerja institusi negara yang lebih produktif, kolaboratif dan efisien. Akan tetapi, masa depan birokrasi pemerintah saat ini semakin terancam dengan meluasnya wabah supremasi struktural para elit.
Terlebih lagi, penyalahgunaan wewenang dikalangan para birokrat sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan. Penyebab utamanya adalah, sentralistik kekuasan menjadi berkepanjangan seiring dengan terbentuknya budaya birokrasi yang oportunis dan hipokrit.
Mirisnya, kekuasaan birokrasi yang tersentralistik, menyebabkan munculnya kelas sosial diantara para pimpinan dan pegawai. Kelas sosial yang berkembang di internal birokrasi pemerintah, terbagi menjadi dua kelompok.
ADVERTISEMENT
Pertama, kelas sosial dari kelompok “Adi-Kuasa”, yang memiliki kedekatan emosional dan kultural dengan lingkaran kekuasaan birokrasi. Kedua, kelas sosial dari kelompok “Adi-Hina”, representasi golongan pinggiran yang terbelenggu ide dan gagasannya, terdegradasi moral dan mentalitasnya, serta terbatasi akses informasi, kesempatan karir dan ruang komunikasinya.
Lahirnya hegemoni kekuasaan dan strata sosial tersebut, berimplikasi terhadap diskriminasi kemanusiaan dikalangan pegawai, subjektivitas penilaian kinerja, tidak terlaksananya meritokrasi, akses informasi untuk kalangan tertentu, serta inkonsistensi kebijakan internal, berpotensi membentuk lingkungan kerja birokrasi yang tidak kondusif.
Jika permasalahan itu terus - menerus dibiarkan, dapat mengakibatkan patologi birokrasi yang menghambat terwujudnya good governance di Indonesia. Kedepan, segala macam polemik birokrasi membutuhkan langkah konkret dan solusi strategis untuk mengatasinya.
ADVERTISEMENT
Pertama, reformulasi kebijakan internal birokrasi berbasis "de-regulasi". Penyusunan regulasi yang dilaksanakan dengan mengedepankan perubahan positif, pendekatan humanis dan penilaian afirmatif.
Regulasi yang tercipta bukan berdasarkan kesepakatan kolektif melainkan superioritas personal dan kelompok tertentu, menyebabkan pelaksanaannya tidak selaras dengan kebutuhan internal birokrasi.
Dalam menyusun kerangka kebijakan internal, sebelum diaktualisasikan sebagai standardisasi - prosedural berjalannya roda organisasi. Alangkah baiknya, referensi yang digunakan berbasis kondisi faktual dan objektif, mencakup kesiapan sumber daya di lingkungan masing - masing institusi negara.
Kedua, membentuk budaya organisasi sebagai instrumen yang mendasari pengambilan keputusan dalam setiap aktivitas internal maupun eksternal birokrasi.
Menurut Achmad (2007: 131), budaya organisasi merupakan keyakinan dan nilai bersama yang memberikan makna bagi anggota sebuah intuisi, serta menjadikan keyakinan dan nilai sebagai pedoman berperilaku di dalam berorganisasi.
ADVERTISEMENT
Selain sebagai wadah untuk aspirasi dan eksekusi kebijakan, organisasi seharusnya berperan luas sebagai “fungsi proteksi” (perlindungan) dan “fungsi afeksi” (kasih sayang) bagi segenap civitas yang ada di dalamnya. Untuk itu, budaya organisasi sangat diperlukan guna mereduksi dinamika konflik internal tersebut.
Budaya organisasi juga berperan sebagai identitas kelembagaan, dan parameter birokrasi untuk merumuskan perencanaan kegiatan. Budaya organisasi ikut menentukan, menetapkan, dan mengevaluasi arah kebijakan dan skema kegiatan pemerintah, supaya tidak terjadi disorientasi kelembagaan.
Ketiga, optimalisasi penerapan sistem merit (meritokrasi). Meritokrasi merupakan instrumen penting untuk menghapus hegemoni individu dan golongan tertentu.
Michael Dunlop Young (1958), pertama kali mengenalkan meritokrasi dalam bukunya yang berjudul “The Rise of the Meritocracy”, sebagai konsep merit yang mengutamakan kompetensi dan kinerja untuk mencapai posisi atau jabatan tertentu.
ADVERTISEMENT
Pendayagunaan sistem merit membuka peluang bagi setiap kalangan pegawai, terutama golongan terpinggirkan untuk menempati jabatan tertentu sesuai dengan kompetensi bidang, pengalaman kerja, dan kualitas kinerjanya.
Harapannya, dengan adanya meritokrasi yang terintegrasi dengan budaya organisasi, dapat meningkatkan kualitas kinerja dan daya saing pegawai, sehingga mampu menciptakan lingkungan kerja yang harmonis berlandaskan prinsip keadilan, moralitas, dan kesetaraan.