Konten dari Pengguna

Alasan Banyak Orang Membela Melki: Pengkultusan Aktivis & Budaya Seksis

Afi Ahmad Ridho
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional - FISIP UI
1 Februari 2024 16:25 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afi Ahmad Ridho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Selasa, 30 Januari 2024, Melki melalui akun Twitter/X pribadinya membagikan poster dari akun @forumanomali yang berisi ajakan untuk menolak politik dinasti dan pelanggaran konstitusi. Begini isi cuitannya:
ADVERTISEMENT
Padahal sehari sebelumnya, Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia telah menetapkan sanksi skorsing selama satu semester atas tindak kekerasan seksual (KS) yang dia lakukan. Seorang Ketua BEM non-aktif dari kampus tersohor yang terbukti melakukan KS rupanya masih punya nyali untuk tampil di depan publik seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Sebuah anomali, bukan?
SK Rektor UI (Nomor Pokok Mahasiswa disamarkan)
Tidak hanya itu, selama masa penyidikan hingga penerbitan surat keputusan rektor, ternyata masih banyak masyarakat yang membela Melki. Menurut mereka, kasus Melki adalah rekayasa rezim untuk membungkam orang-orang kritis yang mengganggu telinga penguasa. Memang, kondisi demokrasi Indonesia belakangan ini sangat mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Benturan konflik kepentingan yang menghiasi konstelasi politik hingga pelanggaran etik yang tak segan-segan dipertontonkan kepada publik kian mengikis kepercayaan kita terhadap lembaga negara. Tapi jangan sampai, sikap skeptis ini menghilangkan objektivitas serta empati kita dalam menyikapi perkara yang dilakukan Melki, mengingat, kasus KS berada dalam domain yang sangat sensitif dan rentan akan relasi kuasa yang dapat menyudutkan korban.
Dalam artikel ini, penulis akan mengulas bagaimana perpaduan sikap skeptis terhadap demokrasi dan budaya seksis yang terinternalisasi dalam masyarakat membuat kita cenderung abai dalam berempati dan gagal mengutamakan perspektif korban dalam kasus KS Melki.

Melki dan Bobroknya Demokrasi

Setelah menduduki tahta orang nomor satu di BEM UI pada Januari 2023, nama Melki Sedek Huang langsung mencuat setelah BEM UI mempublikasi propaganda kehancuran gedung DPR dan kemunculan sosok tikus berkepala Puan Maharani (Ketua DPR RI). Sontak, meme ini menimbulkan kontroversi yang merebak hingga ke kalangan elite politik. Sebagian berpendapat bahwa propaganda tersebut adalah wujud dari kebebasan berekspresi, sebagian lain mengatakan tindakan tersebut “tidak beretika” dan melenceng dari substansi kritik.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah podcast bersama Sultan Rivandi, Melki menjelaskan bahwa meme tersebut menggambarkan kemarahan rakyat terhadap DPR atas pengesahan Perpu Cipta Kerja; Melki juga menyatakan bahwa akan ada konsolidasi besar-besaran dari mahasiswa dan aliansi buruh untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap Perppu Cipta Kerja.
Meme Puan menjadi landasan pacu bagi Melki menjadi figur yang dikenal dalam skala nasional. Ditambah, dengan kemampuan orasi yang mengesankan, Melki berhasil tampil gemilang menyuarakan keluhan-keluhan masyarakat, baik di lapangan aksi maupun di panggung diskusi demokrasi.
Tahun 2023 menjadi tahun yang subur bagi tumbuhnya kebijakan pemerintah yang menuai kontroversi. Mulai dari isu UU ITE yang membatasi kebebasan berekspresi, hingga Putusan MK yang membuka jalan bagi politik dinasti.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu kelompok penekan (pressure group) dari masyarakat sipil, mahasiswa aktif melancarkan kritik terhadap segala kebijakan pemerintah. Kritik muncul dalam berbagai spektrum, mulai dari yang substantif, analitis, disertai dengan gerakan massa terorganisir, hingga yang sekadar bualan, sindiran, dan gerakan anarkis.
Sistem demokrasi yang diharapkan dapat menghasilkan keseimbangan (check and balance) agar kepentingan rakyat dapat diperjuangkan di tataran pemangku kebijakan nyatanya mengalami kebobrokan. Menurut Fabio Wolkenstein, kebobrokan demokrasi dimulai saat oposisi mulai melemah sehingga rezim yang berkuasa dapat menjalankan kebijakan tanpa kontrol oposisi yang mumpuni.
Dalam kajian lain, William Wiker mengungkap bahwa lemahnya oposisi disebabkan oleh partai-partai politik yang rela berkoalisi demi mendapatkan jatah kursi di pemerintahan (office-seeking). Sebab menjadi bagian dari penguasa membuat partai politik dapat menyerap sumber daya negara yang berasal dari APBN, sedangkan saat menjadi oposisi pemerintah di luar sistem, partai politik tidak bisa mendapat insentif tersebut.
ADVERTISEMENT
Ini adalah salah satu alasan yang membuat sebagian besar kursi DPR diisi oleh partai koalisi penguasa sehingga aspirasi rakyat menjadi kurang terwakili. Kabar buruknya, dua skema buruk tersebut telah terjadi di Indonesia.
Saat DPR tidak lagi mewakili kesedihan rakyat, sebagian masyarakat menitipkan harapan kepada mahasiswa untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka di tengah negara yang kehilangan marwah demokrasinya. Inilah yang membuat figur petinggi BEM di kampus-kampus mendapat panggung dan disorot oleh publik sebagai tempat menitip harapan, dan salah satu dari figur tersebut adalah Melki Sedek Huang.
Tak ayal, Melki kemudian dipandang sebagai sosok pembela rakyat dan musuh pemerintah. Melki seolah dikultuskan dalam dinamika demokrasi. Maka tak heran, saat Melki divonis sebagai pelaku KS, banyak orang yang membela dengan dalih bahwa, mungkin saja yang dialami Melki adalah upaya pembungkaman yang dilakukan penguasa, seperti yang terjadi pada Rocky Gerung, Haris Azhar, dan Fatia Maulidiyanti.
ADVERTISEMENT

Budaya Seksis yang Terus Lestari

Budaya seksis melekat kuat dalam kehidupan kita. Kecenderungan untuk menyudutkan salah satu gender dan menganggap jika gender lain lebih superior dan lebih layak terhadap posisi tinggi, nyatanya masih menjadi norma sosial yang dianut sebagian besar masyarakat. Pada dasarnya, Seksisme dapat terjadi pada siapa pun. Namun berdasarkan fakta di lapangan, seksisme pada perempuan lebih banyak terjadi.
Budaya ini terus dilestarikan secara turun-temurun, dalam gender schema theory disebutkan bahwa, normal sosial yang dianut masyarakat cenderung menuntut anak-anak untuk mengerjakan sesuatu dan melarang mereka melakukan hal yang lain atas dasar diferensiasi gender. Misalnya, anak laki-laki diberikan mainan robot atau mobil-mobilan, sedangkan anak perempuan diberikan mainan boneka atau peralatan masak.
ADVERTISEMENT
Gender schema kemudian berkembang secara eksponensial melingkupi berbagai aspek dalam kehidupan dan membentuk budaya seksis yang pekat. Perempuan ditempatkan sebagai “warga kelas dua” (second class citizen) yang disudutkan melalui berbagai bentuk diskriminasi yang dianggap lumrah, di antaranya pembagian tugas rumah tangga yang tidak adil, pertanyaan tentang kehamilan dan keluarga, objektifikasi perempuan, serta pola iklan dan media yang semakin menginternalisasi budaya seksis dalam masyarakat.

Memahami Relasi Kuasa dan Perspektif Korban dalam Kasus KS

Kekerasan seksual menjadi salah satu implikasi dari budaya seksis. KS dapat dimaknai sebagai tindakan seksual yang dilakukan terhadap seseorang tanpa persetujuan (consent). Dalam kasus ini, ‘Perspektif korban’ sangat penting untuk dipahami karena memberikan pemahaman tentang pengalaman dan dampak psikologis yang dialami korban. Setiap korban dapat merespons kekerasan seksual dengan cara yang berbeda, tetapi beberapa aspek umum dari perspektif korban antara lain:
ADVERTISEMENT
Kasus KS biasanya melibatkan penggunaan kekerasan, paksaan, atau ancaman untuk memaksa seseorang melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan atau untuk merampas hak-hak seksualnya. Ini adalah bentuk dari relasi kuasa yang membuat pelaku memiliki determinasi atas korban.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus Melki–yang notabene memiliki status sosial tinggi di kalangan aktivis, pemahaman akan perspektif korban sama sekali tidak tercermin dalam kegiatannya selama masa penyidikan. Melki aktif mengisi berbagai acara dan melakukan konsolidasi bersama figur Ketua BEM lainnya, seperti dalam unggahan akun instagramnya bersama Gielbran (Kabem UGM) dan Naufal (Kabem Paramadina) pada 22 Desember lalu.
Melki menjalani hari-harinya seolah “tidak terjadi apa-apa”, sehingga vonis yang dijatuhkan kepadanya seolah datang tiba-tiba tanpa penyidikan intens dari Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Padahal, setelah laporan korban diproses Satgas PPKS UI, Melki langsung dinonaktifkan sebagai Ketua BEM dalam rangka menghormati proses penyidikan. Sayangnya, setelah dinonaktifkan sebagai Ketua BEM, Melki malah giat mengikuti aktivitas di luar BEM dan dengan bangga membawa gelar “Kabem non-aktifnya” di beberapa forum.
ADVERTISEMENT
Bayangkan jika anda berada di posisi korban, saat anda dilecehkan oleh orang yang memiliki posisi strategis dan mengalami trauma, merasa bersalah dan malu, serta khawatir akan keamanan diri bila sewaktu-waktu pelaku menggunakan kuasanya untuk menekan anda; sang pelaku malah melenggang bebas di forum-forum publik dan menyuarakan penolakan terhadap politik dinasti dan pelanggaran konstitusi.
Aktivitas Melki menyiratkan resistensi terhadap tuduhan tindak KS sebelum vonis dijatuhkan. Hal ini dapat membuat korban semakin tertekan secara psikis, belum lagi, rangkaian pembelaan terhadap Melki yang telah divonis bersalah. Fenomena ini menggambarkan ketiadaan empati terhadap korban kekerasan seksual, sebab budaya Seksis yang telah dinormalisasi dalam masyarakat tampaknya telah dimanfaatkan dengan baik oleh Melki untuk membangun pagar hidup, yakni barisan yang akan membelanya setelah divonis bersalah.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Dari kasus Melki, kita bisa tahu bahwa masih banyak orang yang belum memiliki pemahaman perspektif korban dalam kasus KS. Dalam kasus Melki, selain didorong oleh kecenderungan seksis masyarakat, ketiadaan empati terhadap korban juga didukung oleh skeptisisme terhadap demokrasi dan pengkultusan Melki sebagai aktivis pembela rakyat.