Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Penghapusan Presidential Threshold: Peluang Baru untuk Demokrasi Indonesia?
6 Januari 2025 11:57 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Afied Akhmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Presidential threshold atau ambang batas minimal pencalonan presiden dan wakil presiden adalah ketentuan yang mengatur agar pasangan calon presiden dan wakil presiden harus memenuhi persyaratan tertentu. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mensyaratkan bahwa pasangan calon harus memperoleh paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah secara nasional pada Pemilu Legislatif sebelumnya. Dengan adanya aturan ini, hanya partai politik atau gabungan partai politik besar yang memiliki dukungan signifikan yang dapat mencalonkan pasangan presiden.
ADVERTISEMENT
Namun, ketentuan ini sering kali dipandang sebagai penghalang bagi keragaman politik, karena hanya partai besar yang mampu memenuhi syarat tersebut. Partai kecil dan kandidat independen nyaris tidak memiliki kesempatan untuk bersaing. Akibatnya, pilihan pemilih menjadi terbatas, dan kompetisi politik menjadi kurang dinamis.
Sejarah Presidential Threshold
Ketentuan presidential threshold pertama kali diperkenalkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003, yang berlaku pada Pemilu 2004. Saat itu, ambang batas ditetapkan sebesar 15% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional. Namun, aturan ini kemudian direvisi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, yang menaikkan ambang batas menjadi 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Perubahan ini semakin memperketat persyaratan pencalonan, memperkuat dominasi partai besar, dan semakin menyulitkan partai kecil untuk mencalonkan pasangan presiden.
ADVERTISEMENT
Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK mencabut ketentuan ini karena dianggap membatasi hak konstitusional pemilih. Ketua MK, Suhartoyo, bersama delapan hakim lainnya, menegaskan bahwa aturan tersebut mengurangi keragaman pilihan pasangan calon presiden.
Mahkamah juga mencatat bahwa pemilihan umum untuk presiden selama ini cenderung hanya diikuti oleh dua pasangan calon. Hal ini dinilai tidak mencerminkan dinamika politik Indonesia yang beragam. Dengan menghapus ambang batas, peluang partai kecil dan calon independen untuk mencalonkan diri akan terbuka lebih lebar.
Upaya Mahasiswa Menggugat Presidential Threshold
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapuskan presidential threshold ini tidak lepas dari upaya empat mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang mengajukan permohonan uji materi. Keempat mahasiswa tersebut adalah Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, Rizki Maulana Syafei dan Tsalis Khorul Fatna. Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, dengan alasan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena dianggap melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat diterima.
ADVERTISEMENT
Meskipun ketentuan ini telah digugat sebanyak 32 kali sebelumnya, upaya mahasiswa ini berhasil mempengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi. Kebijakan tentang presidential threshold dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 dinilai semakin membatasi jumlah calon presiden yang dapat dicalonkan, yang pada akhirnya mengurangi variasi pilihan bagi pemilih. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi yang menekankan pentingnya keragaman serta kebebasan memilih. Sebagai dampaknya, gugatan demi gugatan dilayangkan oleh berbagai pihak untuk membatalkan ketentuan ini.
Dari 32 perkara yang diajukan terkait Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, 24 perkara berakhir dengan keputusan hakim yang menyatakan perkara tersebut tidak dapat diterima, 5 perkara ditolak, 2 perkara ditarik kembali, dan 1 perkara dikabulkan sebagian.
ADVERTISEMENT
Dampak pada Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)
Dalam konteks Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), penghapusan presidential threshold diharapkan memberikan dampak positif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai IDI Indonesia pada tahun 2023 tercatat 77,48 untuk aspek kebebasan, 83,74 untuk aspek kesetaraan, dan 76,46 untuk aspek kapasitas lembaga demokrasi.
Namun, skor hak-hak politik yang relatif rendah menjadi perhatian khusus. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya pilihan dalam proses politik, termasuk pemilihan presiden. Dengan menghapus presidential threshold, diharapkan dimensi hak-hak politik dapat meningkat secara signifikan, karena membuka peluang bagi calon independen dan partai kecil untuk berpartisipasi, sehingga menciptakan lebih banyak alternatif pilihan bagi pemilih.
Analisis Perolehan Suara dan Kursi Pemilu 2024
Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dari Pemilu Legislatif 2024, hanya partai-partai besar yang mampu memenuhi ketentuan presidential threshold. PDIP, misalnya, memperoleh suara terbanyak dengan 25.387.279 suara atau 16,72%, disusul Golkar dengan 23.208.654 suara (15,28%), dan Gerindra dengan 20.071.708 suara (13,22%). Partai lain seperti PKB, NasDem, PKS, Demokrat, dan PAN juga berhasil lolos dengan perolehan suara yang signifikan. Di sisi lain, partai-partai kecil seperti PPP dan PSI gagal memenuhi ambang batas dan tidak lolos ke DPR RI.
ADVERTISEMENT
Implikasi Penghapusan Presidential Threshold
Jika presidential threshold dihapuskan, lebih banyak partai kecil dan calon independen dapat berpartisipasi dalam pemilu presiden. Hal ini akan memberikan pemilih lebih banyak pilihan dan memperkaya keberagaman politik di Indonesia. Dominasi dua pasangan calon yang selama ini terjadi dapat diubah menjadi lebih kompetitif dengan keterlibatan lebih banyak kandidat dari berbagai spektrum politik.
Penghapusan ambang batas ini juga diharapkan menciptakan proses demokrasi yang lebih inklusif dan representatif. Dengan memberikan kesempatan kepada partai kecil dan kandidat independen, pemilu presiden mendatang dapat mencerminkan keinginan masyarakat secara lebih luas dan meningkatkan kepercayaan terhadap sistem politik yang ada.