Lelaki Muslim yang Menjaga Klenteng

Ucok Afif Alhariri
Tukang foto dan pekerja sosial. Dapat dihubungi di Twitter: @bung_ucok dan Instagram: @bung_ucok
Konten dari Pengguna
11 September 2017 22:56 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ucok Afif Alhariri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti lazimnya gang-gang di Jakarta, Gang Padang di Jatinegara ini bentuknya tak jauh berbeda. Memiliki lebar tak lebih dari satu mobil, berdinding semen kasar, dan rumah-rumah yang rapat tiada jarak. Dua bapak-bapak duduk di depan rumah. Bercerita, mengepulkan asap rokok, dan tersenyum ketika saya menyapa. Tak jauh dari mereka, di salah satu sudut gang, bangunan serba merah dan kuning nampak kontras di antara abu-abu tembok.
“Yayasan Bio Shia Jin Kong” tertulis rapi dengan cat warna kuning di bawah huruf-huruf Mandarin yang berwarna merah terang. Sesaat sebelum masuk lebih jauh, harum dupa telah menyambut hidung dengan tegas. Saya membuka alas kaki dan langsung duduk bergabung dengan teman-teman Ngopi Jakarta lainnya.
Ini pengalaman pertama saya masuk Klenteng. Jika biasanya saya hanya lewat sambil lalu, kini saya berada di dalamnya. Melihat langsung bagaimana dewa-dewa ditempatkan secara terhormat oleh para pengikutnya. Di Klenteng ini, dewa yang menjadi tuan rumah adalah dewa kesehatan.
ADVERTISEMENT
“Kakek moyang saya, Tung Djie Hoy, dulunya adalah seorang sinshe. Sehingga dewa di sini adalah dewa kesehatan. Orang-orang yang datang di sini pada umumnya berdoa untuk meminta kesehatan,” ujar Chandra Jaya atau biasa dikenal dengan nama Teddy selaku penjaga klenteng.
“Ilmu pengobatannya bagaimana, Bang? Masih turun-temurun?” tanya saya.
“Terakhir yang bisa itu bapak saya. Saya sudah tidak bisa. Tetapi tanaman-tanaman herbal saya masih punya,” jawab beliau.
Hal yang menarik dari Klenteng ini adalah sosok Teddy itu sendiri. Beliau adalah seorang Muslim.
“Dua hari sebelum bapak wafat, saya dipanggil. Bapak menyuruh saya untuk menggantikannya menjaga Klenteng. Saya sempat ragu karena sekarang saya Muslim. Tapi Bapak meyakinkan saya. Soal keyakinan itu punya masing-masing, ini amanat leluhur katanya.” Sembari menyesap segelas kopi dan sebatang rokok di tangan, ia bercerita.
ADVERTISEMENT
“Saya tetap menjalankan agama saya. Kalau ada pengunjung yang datang dan bertanya-tanya yah saya jawab. Misal dewa mana yang harus dipuja. Karena di sini ada beberapa altar, saya jelaskan tahapan doanya mana saja.”
Tiba-tiba pikiran saya menjadi liar. Membayangkan Bang Teddy melaksanakan shalat di tengah harum dupa yang akan membuatnya khusyuk. Kemudian leluhurnya menyaksikan sembari tersenyum melihat keindahan perbedaan keyakinan yang terjadi di rumah ibadah tersebut. Alunan puja-puji doa kepada dewa yang mengalun di tengah Klenteng berbaur jadi satu dengan hafalan-hafalan surah Al qur’an. Ah Tuhan menjadi Maha Asyik dengan segala pemaknaannya.
Mendengar cerita Bang Teddy, saya merefleksikan banyak hal. Sosok berbaju kaos kuning yang duduk di depan saya ini sangat sederhana dari segi penampilan. Tetapi memiliki jiwa yang luar biasa. Apalagi di tengah pekerjaan rumah Jakarta yang selalu garang dengan isu-isu agama, di sebuah sudut gang kecil di Jatinegara, pembelajaran itu hadir tanpa banyak kata-kata indah. Cukup dilakukan dengan tetap menghormati keyakinan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Salut.