Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Dinamika Kebijakan Limbah Nuklir Fukushima
6 Maret 2025 17:29 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Afif Khairi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Limbah nuklir saat ini menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan pencemaran lingkungan laut secara global. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS, 1982), sebagai instrumen hukum internasional di bidang kelautan, mengatur kewajiban negara-negara dalam melindungi lingkungan laut, meskipun tidak secara spesifik membahas limbah nuklir. Hukum lingkungan hadir untuk menangani persoalan lingkungan hidup yang semakin kompleks, dengan tujuan mengatur perilaku manusia terhadap alam agar tidak terjadi kerusakan, pencemaran, atau penurunan fungsi lingkungan. Zat radioaktif dapat memberikan dampak beragam pada manusia dan hewan, mulai dari efek ringan seperti pusing dan sakit kepala hingga penyakit serius seperti epilepsi, pingsan, atau kanker. Dalam tingkat kontaminasi yang tinggi, dampaknya bahkan dapat menyebabkan kematian. Efek negatif ini tidak hanya memengaruhi manusia dan hewan darat tetapi juga biota laut yang terpapar radiasi. Biota laut yang menelan zat radioaktif berisiko mengalami kerusakan fatal. Dilihat dari perkembangannya saat ini, hukum lingkungan memiliki sifat korektif untuk memperbaiki kesalahan akibat lemahnya pengendalian dampak modernisasi yang didorong oleh industrialisasi dan perdagangan. Contohnya adalah tindakan Jepang dalam membuang limbah nuklir di Fukushima, yang memicu protes dari negara-negara tetangga karena dampak buruknya. Pembuangan limbah tersebut telah mencemari Laut Pasifik, mengganggu aktivitas nelayan, serta merugikan sektor industri perikanan..
ADVERTISEMENT
Pada 11 Maret 2011, gempa bumi berkekuatan 8,9 skala Richter mengguncang wilayah pantai selatan Jepang, diikuti oleh tsunami besar. Gelombang tsunami tersebut mencapai ketinggian hingga 14 meter, melampaui dinding pelindung setinggi 7 meter yang melindungi instalasi reaktor di Fukushima. Kombinasi gempa dan tsunami setinggi 14 meter ini menyebabkan banjir besar yang mencapai kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima. Akibatnya, terjadi reaksi antara bahan bakar nuklir dan air yang menghasilkan gas hidrogen, memicu ledakan. Seluruh sistem di PLTN Fukushima pun secara otomatis mengalami kegagalan operasional. Hal ini menyebabkan PLTN Fukushima kehilangan sumber daya listrik total yang dibutuhkan untuk mengoperasikan sistem keselamatan, salah satunya adalah sistem pendinginan teras reaktor dan akibatnya jika mati terjadi kenaikan suhu yang sangat drastis. PLTN Fukushima masih menghasilkan limbah sebanyak 100 meter kubik setiap hari, yang berasal dari tangki air yang digunakan untuk mendinginkan inti reaktor. Jepang membutuhkan lahan yang saat ini digunakan oleh tangki-tangki tersebut untuk membangun infrastruktur baru yang diperlukan guna menampung limbah air, sehingga proses penonaktifan pembangkit listrik yang rusak dapat dilakukan dengan aman. Krisis kapasitas penyimpanan ini menjadi alasan utama di balik keputusan Jepang untuk membuang limbah air dari PLTN Fukushima Daiichi ke Samudra Pasifik, yang dimulai pada Agustus 2023. Dalam pelaksanaannya, Jepang menyatakan keyakinan bahwa kadar radioaktif dalam limbah tersebut telah memenuhi standar keamanan yang dapat diterima.
ADVERTISEMENT
Pembuangan limbah nuklir dari PLTN Fukushima Daiichi ke Samudra Pasifik oleh Jepang telah memicu perdebatan sengit di tingkat internasional, bukan hanya sekadar diskusi akademis, melainkan perdebatan yang menyentuh aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Keputusan kontroversial ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat Jepang yang khawatir akan keamanan pangan dan mata pencaharian mereka, komunitas nelayan yang takut akan dampak buruk terhadap hasil tangkapan dan reputasi produk perikanan mereka, aktivis antinuklir yang menyuarakan risiko jangka panjang terhadap ekosistem laut, serta negara-negara tetangga seperti China, Korea Selatan, dan bahkan Amerika Serikat yang mempertanyakan transparansi dan validitas jaminan keamanan yang diberikan oleh Jepang. Jepang mengklaim telah memperoleh izin dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk melaksanakan rencana tersebut, dengan berlandaskan pada studi dan analisis yang menunjukkan bahwa proses pembuangan memenuhi standar keselamatan internasional yang ketat. Meskipun demikian, langkah ini tetap menuai kecaman yang luas, baik dari dalam negeri termasuk penolakan kuat dari nelayan dan masyarakat umum maupun dari komunitas global yang khawatir akan dampak lingkungan dan ekonomi yang berpotensi merugikan, mengingat Samudra Pasifik merupakan sumber daya vital bagi banyak negara dan ekosistem laut yang rentan. Kekhawatiran utama meliputi potensi kontaminasi rantai makanan laut, dampak terhadap keanekaragaman hayati, serta kerusakan citra produk perikanan dari wilayah tersebut, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi perekonomian dan mata pencaharian jutaan orang
ADVERTISEMENT
Pada Agustus 2023, Tiongkok mengumumkan larangan impor makanan laut dari Jepang sebagai respons terhadap pembuangan air limbah nuklir Fukushima ke Samudra Pasifik. Kebijakan ini memberikan dampak signifikan terhadap industri perikanan Jepang, mengingat Tiongkok merupakan salah satu pasar ekspor utama bagi produk seafood Jepang. Menurut data Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang, ekspor makanan laut Jepang ke Tiongkok mencapai sekitar 600 juta dolar AS pada tahun 2022, dan larangan ini menyebabkan penurunan drastis dalam penjualan, memaksa Jepang mencari pasar alternatif seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Selain itu, Jepang mengalokasikan dana kompensasi sebesar 80 miliar yen (sekitar 550 juta dolar AS) untuk mendukung nelayan lokal yang terdampak kebijakan tersebut.
Ketegangan ini menyoroti pentingnya kerja sama regional dalam menghadapi tantangan lingkungan global, termasuk pengelolaan limbah nuklir. Dalam menghadapi kompleksitas ini, diperlukan pendekatan yang holistik dan berbasis ilmiah dalam mengelola limbah nuklir. Hal ini mencakup peningkatan transparansi dalam komunikasi antara pemerintah, ilmuwan, masyarakat sipil, serta peningkatan kerja sama internasional dalam pengembangan teknologi dan kebijakan untuk mengurangi risiko dan dampak limbah nuklir. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, kita dapat memastikan bahwa keputusan terkait energi nuklir tidak hanya memperhitungkan kepentingan ekonomi, tetapi juga kepentingan lingkungan dan kesehatan manusia secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT