Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Mengurai Ketegangan di Laut China Selatan Melalui Diplomasi
3 November 2024 20:23 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Afif Khairi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Laut China Selatan terletak di kawasan Pasifik Barat, dengan sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh negara-negara Asia Tenggara. Dengan luas sekitar 3,5 juta kilometer persegi, dianggap sebagai laut yang "setengah tertutup" karena dikelilingi oleh daratan di hampir seluruh sisinya. Di bagian barat hingga selatan, berbatasan dengan Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia bagian barat, sedangkan di bagian timur berbatasan dengan Filipina. Di sebelah selatan, perbatasannya melibatkan Indonesia dan Malaysia bagian timur. Di luar negara-negara Asia Tenggara, hanya ada dua negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, yaitu Republik Rakyat China (RRC) dan Taiwan di bagian utara. Terdapat empat kepulauan utama di Laut China Selatan, Paracel, Spratly, Pratas, dan Macclesfield. Dari keempatnya, Paracel dan Spratly dua kepulauan yang paling sering menjadi sumber sengketa, dengan konflik terbesar berpusat di Kepulauan Spratly. Hal ini disebabkan oleh klaim yang diajukan oleh enam negara, yaitu RRC, Taiwan, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia (Amer, 2002).
ADVERTISEMENT
Sengketa di Laut Cina Selatan bermula ketika China mengklaim sekitar 95% wilayah laut serta pulau-pulau kecil di kawasan tersebut sebagai bagian dari teritorialnya. Ketegangan semakin memuncak ketika China memperkuat kekuatan militernya melalui pembangunan infrastruktur seluas 1.300 hektare, yang bertujuan untuk memperkuat pertahanan di kawasan tersebut (Cobus, 2019). Klaim China ini didasarkan pada argumen sejarah yang mereka ajukan, di mana mereka menolak aturan hukum internasional yang diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Sejak diadopsi pada tahun 1982, sekitar 100 negara telah meratifikasi UNCLOS, yang mengatur batas maritim negara-negara berdasarkan garis pantai mereka, termasuk perbatasan Indonesia dengan Laut China Selatan (BBC Indonesia, 2023). Beberapa insiden bersenjata telah terjadi di Laut China Selatan, seperti konflik antara China dan Vietnam di Johnson South Reef pada tahun 1988, pendudukan China di Mischief Reef pada tahun 1995, serta baku tembak antara kapal perang Cina dan Filipina di dekat Pulau Campones pada tahun 1996. Insiden-insiden ini mengindikasikan bahwa perselisihan di Laut China Selatan dapat dengan mudah berubah menjadi konflik terbuka kapan saja.
ADVERTISEMENT
Laut China Selatan merupakan wilayah perairan yang sangat strategis dengan kandungan sumber daya alam. Dengan luas sekitar 3,5 juta kilometer persegi, wilayah ini menjadi jalur sepertiga perlintasan laut dunia. Sumber daya alam hayati seperti terumbu karang dan spesies ikan yang beragam, serta sumber daya alam non-hayati seperti minyak dan gas alam, menjadikan Laut China Selatan sebagai area yang sangat bernilai. Estimasi cadangan minyak dan gas alam di wilayah ini mencapai 2,5 miliar barel dan 190 triliun kaki kubik, menjadikannya salah satu kawasan dengan potensi hidrokarbon yang signifikan. Sumber daya alam ini tidak hanya penting untuk pertumbuhan ekonomi negara-negara yang mengklaim wilayah ini, tetapi juga memiliki dampak besar pada kemandirian energi dan pengaruh politik di kawasan tersebut. Pengelolaan sumber daya alam yang efisien dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan, serta memberikan kontribusi signifikan terhadap perdagangan internasional. Namun, kekayaan sumber daya ini juga menjadi pusat ketegangan geopolitik, dengan banyak negara yang berlomba-lomba untuk mengklaim hak atas wilayah ini.
ADVERTISEMENT
Ketegangan di Laut Cina Selatan telah menjadi salah satu isu geopolitik paling rumit di kawasan Asia. Berbagai negara, seperti Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam, mengklaim wilayah perairan yang kaya akan sumber daya alam tersebut. Ketegangan ini tidak hanya melibatkan negara-negara yang berbatasan langsung dengan kawasan, tetapi juga kekuatan global seperti Amerika Serikat, yang secara aktif mendukung kebebasan navigasi di wilayah ini. Di tengah persaingan yang semakin memanas, pertanyaan yang muncul adalah, apakah penyelesaian ketegangan ini lebih baik dilakukan melalui diplomasi atau berujung pada konfrontasi.
Diplomasi merupakan pendekatan yang berfokus pada negosiasi, dialog, dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Dalam konteks ini, diplomasi menjadi pilihan yang lebih rasional, mengingat dampak destruktif yang mungkin timbul dari konfrontasi militer. ASEAN, sebagai organisasi regional, telah lama memainkan peran penting dalam memediasi sengketa melalui forum-forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan kerja sama lainnya. ASEAN mengedepankan konsep "ASEAN Way", yang menekankan pada konsultasi, konsensus, dan pendekatan non-intervensi. Pendekatan ini telah terbukti efektif dalam menjaga stabilitas regional, meskipun tidak sepenuhnya mengatasi akar konflik di Laut China Selatan. Tetapi, diplomasi ini bukan tanpa hambatan. Tiongkok, sebagai negara dengan klaim terbesar seringkali melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip diplomasi, seperti membangun pulau buatan dan menempatkan instalasi militer di perairan yang disengketakan.
ADVERTISEMENT
Meskipun ada upaya diplomatik, seperti Code of Conduct (CoC) yang tengah dirundingkan antara ASEAN dan Tiongkok, hasilnya masih nihil. Tantangannya adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara mempertahankan integritas wilayah dan memastikan stabilitas regional tanpa menyinggung kekuatan besar Tiongkok.
Diplomasi juga didukung oleh mekanisme internasional, seperti Pengadilan Arbitrase Internasional yang pada 2016 memutuskan bahwa klaim Tiongkok atas sebagian besar Laut Cina Selatan berdasarkan "Nine-Dash Line" tidak sah. Namun, keputusan ini tidak diakui oleh Tiongkok, sehingga menciptakan dilema besar bagi negara-negara yang ingin menyelesaikan sengketa melalui jalur hukum.
Di sisi lain, konfrontasi militer seringkali menjadi opsi yang dipertimbangkan dalam situasi di mana diplomasi gagal mencapai hasil yang memuaskan. Tindakan provokatif di Laut China Selatan, seperti patroli militer, pengiriman kapal perang, dan pembangunan pangkalan militer oleh beberapa pihak, telah meningkatkan risiko konflik bersenjata. Dalam konteks ini, Amerika Serikat sering kali terlibat dengan melakukan operasi kebebasan navigasi (Freedom of Navigation Operations/FONOPs) untuk menantang klaim teritorial Tiongkok yang dianggap berlebihan. Hal ini memperkeruh situasi dan meningkatkan kemungkinan konfrontasi. Bukan hanya bagi negara-negara yang terlibat langsung, tetapi juga bagi stabilitas global, mengingat Laut China Selatan adalah salah satu jalur perdagangan laut tersibuk di dunia. Konflik militer akan mengganggu arus barang, memicu ketidakstabilan ekonomi, dan dapat memunculkan konflik lebih luas antara kekuatan global seperti AS dan Tiongkok. Potensi eskalasi yang tidak terkendali dapat mengarah pada bencana yang tidak hanya merusak kawasan, tetapi juga menciptakan dampak negatif bagi perdamaian dunia.
ADVERTISEMENT
Meskipun konfrontasi tampaknya semakin dekat dengan meningkatnya aktivitas militer di Laut China Selatan, diplomasi tetap menjadi jalan yang paling realistis untuk mencapai penyelesaian yang berkelanjutan. Upaya-upaya seperti dialog bilateral, negosiasi multilateral, serta pendekatan hukum internasional harus terus didorong. ASEAN, dengan pendekatan ASEAN Way, memainkan peran penting dalam menciptakan ruang dialog di mana negara-negara dapat berkomunikasi tanpa harus mengorbankan integritas wilayah mereka.
Namun, diplomasi juga harus disertai dengan penguatan mekanisme keamanan regional. ASEAN perlu bersatu dalam menghadapi kekuatan besar seperti Tiongkok, sekaligus menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat untuk menyeimbangkan dinamika kekuasaan di kawasan. Tiongkok juga harus lebih terbuka terhadap dialog dan menghormati hukum internasional agar penyelesaian damai dapat tercapai.
ADVERTISEMENT