Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Mural: Suara Dinding Jalanan Yang Terperangkap Stigma
17 Januari 2025 12:16 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Afifah Rismayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dinding-dinding kota tak pernah lepas dari goresan karya para seni jalanan. Mereka menggoreskan alat lukis mereka di atas dinding kota dengan karya-karya berupa grafiti hingga mural. Lukisan dinding kerap dianggap sebagai coret-coretan semata bahkan vandalisme oleh sebagian orang. Namun tidak bagi Digie Sigit, seorang seniman asal Yogyakarta ini menganggap mural sebagai sebuah seni yang menjadi medium untuk menyalurkan pemikiran dan gagasan masyarakat di ruang publik.
ADVERTISEMENT
“Mural itu lukisan dinding. Tembok (atau dinding) dalam ruang publik itu ruang efektif untuk membagikan gagasan karena ia tidak dibatasi birokrasi.” ujar Sigit, yang kerap dikenal sebagai seniman visual dengan teknik stensilnya. Sigit menggunakan konsep realisme sosial sebagai caranya bercerita melalui mural. Ia menangkap realitas-realitas sosial yang dilihatnya untuk kemudian diceritakan kembali dalam bentuk seni visual.
Sebagai seorang seniman visual grafis, Sigit dengan teknik stensilnya cenderung menggunakan warna-warna monokrom, seperti putih, abu-abu, dan hitam dalam setiap karyanya. Menurutnya ruang publik saat ini masih terbilang kacau dan kumuh sehingga warna-warna monokrom digunakan agar tidak menambah kekacauan visual ruang publik. Ia juga mengungkapkan merasa senang dan juga seru bisa berkarya di ruang publik karena berkat karya-karyanya itu ruang publik tak lagi menjadi gembel dan kumuh.
ADVERTISEMENT
Tantangan Seorang Seniman Mural
Jalannya sebagai seorang seniman mural tidaklah mudah. Sigit mengungkapkan bahwa dirinya pernah mendapatkan ancaman hingga ditangkap oleh satpol PP saat sedang membagikan karyanya di ruang publik. Pengalamannya saat ditangkap satpol PP itu ia jadikan sebagai kesempatan untuk berdiskusi dengan mereka. “Dengan satpol PP aku bisa berdiskusi bahwa mereka (pemerintah) perlu berintropeksi dan mengakui bahwa telah terjadi pembiaran (pada fasilitas di ruang publik). Ya ini objektivitas saja, dari (brosur) sedot WC, calo dan joki skripsi, event, sampai rentenir yang menawarkan dana cepat. Nah mereka semua itu mencantumkan nomor teleponnya, tapi apakah pernah negara menelepon mereka dan bertanya kenapa kalian mengotori properti negara? Nyatanya engga,” ceritanya dengan sedikit menggebu.
Pengalaman itu ia anggap sebagai sebuah tantangan tersendiri dalam proses berkaryanya. Tantangan besar lain yang ia hadapi yakni stigma negatif masyarakat terhadap mural dan seni jalanan yang dianggap sebagai vandalisme. Meski begitu, ia mampu memakluminya karena menurut Sigit stigma itu hadir karena informasi, edukasi, serta pengalaman akan seni yang kurang dirasakan oleh masyarakat. Oleh karenanya ia beranggapan bahwa perlu adanya edukasi serta pengalaman seni yang nyata agar masyarakat bisa lebih jauh mengenal seni visual grafis seperti mural. Ia merasa bahwa seni masih dipandang sebagai sesuatu yang eksklusif oleh masyarakat saat ini.
ADVERTISEMENT
“Seni menjadi eksklusif itu karena masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan kesenian. Maka kemudian mereka tidak memiliki pengalaman estetik terhadap seni sehingga mereka menjadi kagok. Oleh karena itu aku ingin mengurangi eksklusivitas kesenian dengan cara membawa karyaku di tengah-tengah mereka agar semakin banyak yang bisa memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan seni. Misalnya dengan pameran ini dan juga workshop seni,” jelasnya sembari menunjukkan hasil karyanya. Sigit sendiri baru saja menyelesaikan pameran tunggalnya yang ketiga di Kebun Buku, Yogyakarta.
Memperkenalkan Mural Melalui Pameran Tunggal
Pada pamerannya kali ini ia mengangkat tema “Teruslah Merdeka”. Tema ini ia ambil sebagai tajuk pameran yang mana memiliki arti sebuah harapan bagi kita sebagai manusia agar memiliki dan merawat mental merdeka dalam diri kita. Mental merdeka di sini ia artikan sebagai perasaan dan sikap percaya diri dalam melakukan suatu hal serta perasaan bebas dari berbagai macam belenggu keterikatan dengan orang lain dan hal-hal buruk. Ia berharap para pengunjungnya mampu memahami dengan baik tema pamerannya ini.
ADVERTISEMENT
Di dalam setiap karyanya selalu tersisipkan pesan dan harapan yang ingin Sigit sampaikan kepada publik. Sigit berharap pesan dan harapan itu mampu sampai kepada mereka. Pun jika tidak, baginya yang terpenting adalah ia telah membagikan spirit dan value yang ia punya kepada publik. “Itu haknya publik. Walaupun aku memasang karya di ruang publik, tetapi aku tidak ingin mengkooptasi ruang publik. Begitu aku tinggalkan karyaku di ruang publik, ya itu sudah dengan segala kerelaan dan kesadaran penuh bahwa ruang publik itu cair. Jadi mau ada yang nutup karyaku kemudian, ya nggak apa-apa,” ujarnya dengan santai.
Karya seni visual jalanan seperti mural sejatinya memiliki arti tersendiri bagi senimannya. Bahkan tak sekadar arti, seniman juga turut menyisipkan harapan dan doanya melalui karya-karya tersebut. Jadi, jika Anda melihat karya-karya seni visual di jalanan, Anda dapat melihatnya dari sudut pandang berbeda untuk mendapatkan makna lain dari karya tersebut.
ADVERTISEMENT