Konten dari Pengguna

Nasionalisme Sepak Bola dan Koin untuk Konglomerat Media

Afif Permana Aztamurri
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
20 Oktober 2024 17:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afif Permana Aztamurri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ahmed Al Kaf ‘habis’ dirundung warganet Indonesia di media sosial karena tindakannya yang dinilai berpihak pada Bahrain. Ini menunjukkan betapa masifnya keriuhan nasionalisme masyarakat pada perjuangan tim nasional sepak bola Indonesia dalam mengejar tiket bertanding di Piala Dunia 2026.
ADVERTISEMENT
Atas nama nasionalisme, menonton pertandingan sepak bola Indonesia melawan negara manapun merupakan hal yang sangat penting. Apa lagi belakangan ini, dengan bekal sejumlah pemain naturalisasi timnas Garuda tampil jauh lebih baik dan tidak lagi dipandang sebelah mata. Sehingga, rasanya rugi bila melewatkan kesemarakan tersebut.
Menonton pun beragam bentuknya. Ada yang bisa duduk di tribun lapangan untuk menonton secara langsung. Ada pula yan menyaksikan lewat siaran televisi atau bergabung dengan keramaian nobar di tempat-tempat tertentu.
Menonton pertandingan sepak bola langsung di stadion (sumber: unsplash.com)
Namun, ternyata tidak semudah itu untuk mengakses siaran langsung beraroma nasionalisme tersebut. Dukungan yang menggebu-gebu dari para pendukung tidak berbanding lurus dengan fasilitas yang ada, walaupun hanya dengan menonton lalu bersorak kencang. Bertajuk ‘Hak Siar’, pertandingan-pertandingan bernafaskan kebangsaan justru dikuasai oleh satu group televisi swasta di Indonesia, dan tidak bebas akses.
ADVERTISEMENT
Diketahui bahwa pertandingan Bahrain vs Indonesia dan China vs Indonesia disiarkan di RCTI secara terestrial, serta livestreaming di aplikasi RCTI+ dan Vision+. Mereka adalah media di bawah MNC Group, milik pengusaha dan politisi Hary Tanoesoedibjo.
Oleh karena itu, jangan harap bisa menonton pertandingan Indonesia di stasiun televisi lain, termasuk Televisi Republik Indonesia yang merupakan lembaga penyiaran publik. Semua orang yang ingin jadi saksi ketajaman timnas Indonesia di lapangan hijau, diarahkan pada lapak kelompok media besar tersebut.
Dalam kurun waktu pertandingan 2 x 45 menit, keterikatan pada media-media tersebut sepertinya tidak terasa menjadi masalah. Akan tetapi, dalam rentang waktu tersebut, nasionalisme secara deras memperkaya pundi-pundi sang konglomerat.
Pasalnya, siaran itu tidak bisa disaksikan di semua jenis saluran penyiaran. Terutama pada saluran televisi berbayar yang bukan milik MNC Group. Jika mengalami hal tersebut, salah satu solusinya adalah akses pada aplikasi RCTI+ dan situs web Vision+. Ketika banyak orang yang mengakses, maka big data akan berbicara dan para penonton terkomodifikasi.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya The Political Economy of Communication, Vincent Mosco menjabarkan komodifikasi sebagai aspek dari ekonomi politik, yang terjadi bila nilai guna pada suatu objek berubah menjadi hal yang bernilai jual. Dalam konteks tayangan pertandingan sepak bola Indonesia, kebutuhan menonton siaran bagi masyarakat Indonesia telah bertransformasi menjadi sebuah barang dagangan.
Pendekatan ekonomi politik komunikasi sendiri dikembangkan oleh Graham Murdock, yang berangkat dari teori ekonomi politik Marxis.
Dalam tulisan Daniel Chandler tentang teori media Marxis, disebutkan bahwa penelitian Murdock menempatkan kekuatan media dalam proses ekonomi dan struktur produksi media. Menurutnya, kepemilikan dan kontrol ekonomi dinilai sebagai faktor utama dalam menentukan siapa yang mengendalikan pesan-pesan media.
Secara sederhana, kajian ekonomi politik berkaitan dengan kapitalisasi media massa. Di sini, hak siar laga timnas Indonesia milik MNC Group adalah alat peraup keuntungan besar bagi sang pemilik media.
ADVERTISEMENT
Jumlah penonton, baik melalui siaran terestrial free to air RCTI maupun livestreaming pada aplikasi RCTI+ merupakan angka konsumen yang berhasil terjerat dalam pasar yang dikendalikan MNC Group.
Eileen R. Meehan and Paul J. Torre pada tulisannya berjudul Markets in Theory and Markets in Television mengatakan, dalam model pasar liberal penjual akan melakukan segala cara untuk menarik uang pembeli, sementara pembeli berjuang untuk mendapatkan barang dengan harga murah. Selanjutnya penjual akan memodifikasi jualannya sedemikian rupa agar tetap menjaga kesetiaan pembelinya.
Pada aplikasi RCTI+ dan situs web Vision+, angka yang terkalkulasikan dari jumlah pengakses dan penonton menjadi lebih jelas. Angka tersebut kemudian menjadi bentuk rating baru yang akan jadi bahan jualan pada pengiklan.
ADVERTISEMENT
Artinya, sebagai konsumen, penonton sebenarnya berandil besar dalam terus memperkaya para konglomerat. Yakni menjadi komoditas dagangan. Padahal, mereka berpikir sedang menjunjung tinggi nasionalisme. Kelompok media ini sungguh tampil senyap sebagai industri raksasa yang tahu cara memainkan pasarnya.
Nasionalisme dengan bendera merah putih (sumber: AI Freepik)
Semua terjadi seperti tanpa disadari oleh khalayak. Berita ulasan dari berbagai media massa pun menjadi suatu komodifikasi, yang ketika beredar di media sosial akan memantulkan dampak fear of missing out (FOMO). Termasuk yang terjadi pasca pertandingan Indonesia vs Bahrain.
Akun bola.net pada 11 Oktober 2024 menyampaikan, lebih dari 100 ribu komentar menghujani akun media sosial wasit Ahmed Al Kaf. Keseruan ini akan memicu pertambahan audiens MNC Group pada siaran laga timnas Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam gerakan postmodernisme, perlu ada evaluasi mengenai keberadaan penonton sepak bola timnas Indonesia dan tim lainnya yang seharusnya tidak dianggap hanya sebagai konsumen. Johan Setiawan (2018) mengatakan gerakan tersebut menolak paham modernisme, karena menganggap telah gagal dan bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat manusia.
Pasalnya, aktivitas menonton timnas Indonesia diinterpretasikan sebagai nasionalisme yang sangat membanggakan. Di sini, penonton sebenarnya sedang mengekspresikan jiwa patriotnya dalam menjunjung kehormatan bangsa.
Oleh karena itulah, perihal aturan hak siar siaran sepak bola yang menyangkut permainan timnas Indonesia meski segera diperbaiki. Tanpa menafikan keberlangsungan hidup para pekerja media terkait pendapatan perusahaan dari siaran sepak bola, semestinya aspek masyarakat sebagai konsumen juga perlu diperhatikan.
Berita Goriau.com tanggal 14 Juni 2024 berjudul Hak Siar Timnas Indonesia Meskipun Eksklusif Tetap Ada Limitasi memaparkan bahwa kontrak hak siar MNC Group untuk laga timnas Indonesia di tahun 2023 tercatat sebesar RP 65 miliar. Angka yang tidak begitu besar untuk anggaran pendidikan kebangsaan. Tersirat pula bahwa seharusnya tidak sulit mengatur penguasaan hak siar dengan lebih bijaksana.
ADVERTISEMENT
Di sini, penulis berharap pada pemegang tongkat amanah pemerintahan, agar bisa lebih baik menyikapi eksklusifitas dalam penyiaran sepak bola.
Bukan melarang, melainkan menimbang kemuliaan nilai nasionalisme yang mempersatukan suara dan semangat masyarakat Indonesia di manapun berada.