Gagal Enggak Apa-Apa, Sebab Kita Hanyalah Manusia

Afiqul Adib
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tinggal di Lamongan.
Konten dari Pengguna
3 April 2023 14:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afiqul Adib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kalah itu berharga. Foto: fran_kie/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kalah itu berharga. Foto: fran_kie/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada satu kutipan menarik yang saya lupa siapa pengarangnya, kurang lebih begini, “Terlukalah saja, kemudian berusaha sembuh. Itu lebih baik daripada selalu lari dan sembunyi dari apa-apa yang menyakitkan bagimu”.
ADVERTISEMENT
Saya suka kalimat itu. Kenapa? Sebab sangat pas untuk dijadikan pepiling pada kehidupan yang penuh kefanaan ini. Setidaknya bagi saya. Iya, bagi anak muda yang mulai masuk usia dewasa, yang tiap malam overthinking, yang sering merasa takut akan banyak hal.
Oh, iya, jika diamati, di tahun ini, orang-orang mulai malas membuat resolusi. Kebanyakan hanya ingin menjalani hidup dengan mengalir begitu saja. Tanpa rencana. Tanpa beban. Tanpa takut gagal mencapai target-target yang diidamkan.
Iya, sekilas, memang ada perbedaan dari tahun-tahun sebelumnya. Kalau tak salah ingat, dulu, tiap tahun kita akan melihat banyak resolusi yang “dipamerkan” ke media sosial. Entah dalam rangka reminder, atau sekadar konten duniawi saja. Tapi sekarang beda. Orang-orang seperti insecure untuk menunjukkan resolusinya. Bahkan tidak sedikit yang menghindari membuat resolusi.
ADVERTISEMENT
Saya menduga kebanyakan merasa kalau membuat resolusi adalah kesia-siaan. Sebab tak pernah tercapai juga. Di akhir tahun, resolusi tersebut hanya sebatas kalimat motivasi saja yang hanya memiliki gairah sehari sejak dituliskan saja.
Teman-teman saya yang dulu rajin menulis resolusi pun, tahun ini mulai alpa. Entah kenapa, yang jelas memang sudah agak jarang yang tetap menulis dan memamerkan resolusinya di media sosial.
Saya paham kalau gagal memang menyakitkan. Mungkin terkesan jahat, tapi saya merasa berhenti menulis resolusi sebab gagal mewujudkan kok terkesan agak rancu. Sebab, jika yang ditakuti adalah gagal mencapai resolusi, harusnya solusi yang diambil bukan menghapus resolusi, melainkan menyusun ulang strategi.
Saya teringat kalimat yang dilontarkan Pandji Pragiwaksono. Ia mengatakan, kurang lebih begini, “mimpi itu harus detail, jika tidak, ia hanya akan jadi angan-angan”. Detail yang dimaksud adalah disertakan cara mencapainya, bukan sekadar menentukan tujuan saja.
ADVERTISEMENT
Dugaan saya, banyak yang membuat resolusi tanpa detail cara mencapainya. Tanpa disertakan hal-hal jangka pendek apa yang harus dicapai agar resolusi itu bisa terwujud. Ini dugaan saya lho.
Sebab, di akhir tahun kemarin, ada semacam konten yang mungkin masuk kategori humor, akan tetapi poin yang disampaikan cukup mewakili banyak orang yang ingin dikatakan berhasil.
Konten yang saya maksud adalah sebuah video yang merevisi resolusi yang dibuat, sehingga resolusinya seakan tercapai. Misal resolusinya turun 10 kg. Nah, akhirnya dicoret menjadi 1 kg saja, biar apa? Tentu biar resolusinya terlihat tercapai. Biar dianggap berhasil mencapai resolusi.
Bagi saya, menunjukkan resolusi itu tidak masalah. Kalau resolusinya gagal pun, ya nggak masalah juga. Memangnya sejak kapan kita harus selalu berhasil? Kalau mau mengingat, berapa kali kita gagal dan tetap baik-baik saja? Iya, hidup akan tetap begini-begini saja. Berhasil atau gagal, hidup akan sama begini-begini saja.
ADVERTISEMENT
***
Hidup di usia dewasa memang bukan hal yang mudah. Ada begitu banyak ekspektasi dan segala macam ambisi yang seakan-akan harus kita kejar dalam kehidupan yang fana ini. Sehingga hidup terasa lebih memberatkan.
Fenomena tersebut sedikit banyak memberi gambaran kalau manusia dewasa saat ini semakin takut gagal, dan butuh banyak validasi kalau dirinya sudah mencapai sesuatu. Iya, dianggap gagal adalah hal yang amat menyakitkan.
Tapi, meminjam kalimatnya Pandji Pragiwaksono, "Ketika hidup terasa berat, yang perlu kita lakukan hanyalah bertahan. Iya, bertahan saja. Sampai ketika melihat ke belakang, masalah berat tersebut sudah kita lewati berbulan-bulan."
Fase-fase menyebalkan dalam hidup memang akan selalu ada. Yah, dinikmati saja. Sebab, dalam sebuah perjalanan, jika kita tidak menikmatinya, kita hanya akan mendapat lelahnya saja bukan?
ADVERTISEMENT
Namun, terlepas dari itu semua, mengakui emosi yang sedang dialami adalah pondasi utama untuk mengurai sebuah masalah. Begitulah yang saya ingat dari ucapan psikolog profesional yang pernah saya jumpai dalam sebuah sesi konsultasi.
Fyi, saya dulu berkesempatan melakukan konseling dengan psikolog. Dan peristiwa itu cukup membantu saya mengurai apa yang sebenarnya saya alami. Apa yang saya takutkan. Dan apa yang ingin saya lakukan. Iya, kita seringkali tidak memahami diri sendiri, sebab denial terhadap sesuatu yang datang. Padahal mengakui yang sedang terjadi adalah langkah awal memahami diri sendiri.
Termasuk mengakui kalau kita gagal, tidak mencapai target, tidak berhasil mewujudkan resolusi. Iya, tidak apa-apa. Diterima saja, jangan dilawan. Diakui saja sekuat-kuatnya, sehormat-hormatnya.
ADVERTISEMENT
Dan sebagaimana paragraf pertama di atas, saya juga setuju jika terluka itu tidak apa-apa. Melakukan hal bodoh juga wajar. Yah diterima saja. Sebab kita hanyalah manusia.