Jurnal yang Ujug-ujug Berbayar: Sebuah 'Penipuan' yang Menyebalkan

Afiqul Adib
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tinggal di Lamongan.
Konten dari Pengguna
31 Mei 2023 7:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afiqul Adib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Jess Bailey on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Jess Bailey on Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apa-apa yang gratis, memang selalu butuh perjuangan. Iya, apa pun itu, termasuk jurnal. Sebagai pencari gratisan, saya terbiasa dengan proses tersebut. Iya, proses meraba-raba jurnal, cari yang sesuai, satu persatu. Kemudian edit sesuai template, dan submit dengan riang gembira.
ADVERTISEMENT
Fyi aja, saya bukan golongan akademisi atau dosen yang punya kewajiban harus publish jurnal tiap semester. Saya hanya suka menulis, itu saja. Karena itu ada kepuasan ketika tulisan saya akhirnya publish. Di mana saja, termasuk di sebuah jurnal. Meski demikian, saya selalu mengutuk salah satu peristiwa menyebalkan ketika submit jurnal, yakni ujug-ujug berbayar.
Saya sebenarnya tidak ada masalah dengan jurnal berbayar. Sama sekali tidak ada masalah. Sebab, jurnal itu memang pasti ada biaya oprasionalnya. Dan tidak semua pengelola siap dengan itu. Masalahnya, saya sering menemukan jurnal yang di webnya jelas-jelas tertulis gratis, tapi pas lolos, eh kita disuruh bayar. Edyan.
Ilustrasi bayar. Foto: CrizzyStudio/Shutterstock
“Iya, pak, maaf, belum kami ubah," jawaban template mereka pas ditanya kenapa bisa jadi bayar padahal di web gratis. Jawaban yang blasss ora mashokkk akal. Sebab, sampai setahun lagi pun tulisan “gratis” tersebut tidak pernah diubah sama sekali.
ADVERTISEMENT
Maksud saya begini, apa sih susahnya jujur di awal? Ngomong saja terus terang yakan? Sebab saya percaya, setiap jurnal akan menemukan kontributornya.
Sebagai pencari jurnal yang gratis, saya sering mengalaminya. Bukan 2-3 kali. Berkali-kali. Bahkan jari saya akan kurang jika disuruh menghitungnya. Korban dari ketidakjujuran pengelola jurnal ini tidak hanya saya. Banyak teman saya yang juga mengalaminya.
Satu hal yang paling jadi masalah adalah waktu. Nunggu notif jurnal ini bisa dibilang lama. Paling cepat sebulan, dua bulan. Ada yang 6 bulan, bahkan setahun.
Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter Stock
Bayangkan saja setelah nunggu lama, eh ada notif disuruh bayar. Kan edyan. Bagi saya, ini sudah masuk penipuan. Tentu ada banyak kerugiannya. Ngedit sesuai template itu melelahkan. Sebab format tiap jurnal berbeda-beda. Baik dari font, kutipan, sampai tata letak. Kan lebih baik diobrolkan di awal. Kalau memang bayar, tulis saja berbayar.
ADVERTISEMENT
Kadang, malah jurnal berbayar yang dicari kalau sedang kepepet harus publish. Sebab, biasanya lebih mudah seleksinya. Biasanya lho, nggak semua ya Bestie. Fyi aja, jurnal itu ada yang gratis, berbayar, dan dibayar. Iya, tidak salah kok, ada memang yang dibayar, tapi tentu saja seleksinya cukup ketat.
Sekadar saran bagi kontributor, kalau memang kekurangan SDM, nggak perlu mengubah jurnal gratis menjadi ujug-ujug berbayar. Cukup cari saja relawan jurnal untuk membantu mengelola secara gratis.
Iya, relawan jurnal cukup banyak. Mereka cuma butuh sertifikat saja sebagai bahan portofolio atau untuk memenuhi tridarma perguruan tinggi. Sebuah simbiosis yang positif seharusnya. Itu lebih baik ketimbang melakukan hal yang secara akal tidak bisa dianggap benar.
Ilustrasi buku. Foto: Shutter Stock
Oh iya, satu lagi, apa yang kalian pikirkan saat membuat alasan, “Iya, pak, maaf, belum kami ubah," apakah kalian benar-benar punya pemikiran kalau alasan demikian akan membuat kami percaya? Bahkan langsung mengiyakan pembayaran?
ADVERTISEMENT
Tolong, kalau memang ada perubahan, bisa kasih kami alasan yang memang logis. Misal, jurnal telah upgrade dari Sinta 4 ke Sinta 2, jadi perlu penyesuaian ulang. Nah, alasan demikian Pak, Buk. Bukan alasan lupa belum diubah. Sebab kalau demikian, kenapa sampai sekarang belum juga diubah? Nggak mungkin kan lupa caranya? Eh, mungkin nggak sih, xixixi.
Sekali lagi saya memohon pada pengelola jurnal, lebih baik jujur di awal saja. Sebab, yang demikian itu sangat merugikan. Apalagi ini ranah akademik lho.
Dan kalau kita setuju yang beginian masuk tindakan penipuan, pertanyaan saya satu, memangnya ilmu pengetahuan macam apa yang mengajarkan penipuan guys-guys ku???