Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Klarifikasi Pecel Lele: dari Spanduk yang sama sampai Tidak Ada Pecelnya
17 April 2021 13:10 WIB
Tulisan dari Afiqul Adib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pecel lele adalah makanan surga yang turun lewat perantara orang Lamongan. Setidaknya saya meyakini hal tersebut. Tentu saja keyakinan saya bukan tanpa alasan. Pecel lele memang makanan yang disukai hampir semua orang, jadi agak wajar jika menyebut kuliner satu ini sebagai makanan surga, meski dengan versi lite.
ADVERTISEMENT
Sebagai klan pecel lele, dengan sangat percaya diri saya akan mengatakan kalau nama pecel lele memang sudah cukup dikenal oleh semua orang Indonesia. Meski demikian ada saja hal-hal yang masih mengganjal di hati para penikmat pecel lele.
Selain bumbu rahasia, beberapa hal yang sering ditanyakan adalah kenapa spanduk pecel lele desainnya itu-itu saja? Atau kenapa namanya pecel lele tapi tidak ada pecelnya?
Mendapati pertanyaan tersebut, sebagai klan pecel lele sejati, ada semacam dorongan magis untuk menjawab pertanyaan ini, namun karena tidak memiliki tempat klarifikasi di podcast om Deddy, maka saya tuliskan klarifikasi di sini saja, semoga dapat dibaca oleh pecinta pecel lele yang berada di dunia dan akhirat.
Disclaimer dulu, sebelum menulis klarifikasi ini, tentu saja saya sudah melakukan tanya jawab pada beberapa orang yang menekuni bidang pecel lele serta orang-orang yang paham tentang sejarah seputar pecel lele.
ADVERTISEMENT
Baiklah, saya akan memulai membahas yang pertama, yaitu masalah spanduk. Kenapa spanduk pecel lele motifnya itu-itu saja? Sekilas spanduk pecel lele memang agak sama, namun jika diamati dengan saksama, ada beberapa perbedaan, jadi kalimat yang lebih tepat adalah spanduk tersebut mirip, bukan sama.
Secara komposisi, spanduk pecel lele memang selalu berwarna putih beserta gambar lele, ayam, bebek, dan jenis ikan lainnya. Ada dua alasan kenapa spanduk pecel lele tetap seperti itu, pertama faktor historis dan yang kedua adalah faktor praktis.
Penjual pecel lele sangat ingin melestarikan spanduk yang ikonik ini sebagai ciri khas kuliner Lamongan, mereka tetap teguh dengan sikapnya yang masih menggunakan spanduk yang dibuat secara kovensional. Bagi yang belum tahu, spanduk pecel lele dibuat dari kain dan dilukis dengan tangan secara manual, bukan menggunakan print digital yang sifatnya modern.
ADVERTISEMENT
Selain faktor historis, ada juga alasan yang sifatnya praktis. Spanduk yang terbuat dari kain dianggap lebih bertahan lama dibandingkan dengan hubungan kalian spanduk hasil print digital. Bahan kain itu terbukti sangat kuat sehingga bisa bertahan sekitar 3 tahun lebih lama dari spanduk modern. Spanduk kain juga sangat sesuai dengan aktivitas buka-tutup pecel lele, ya gimana, bahan plastik kalau sering-sering dilipat kan cepet rusak, beda dengan kain yang masih tetap baik-baik saja.
Tidak hanya bermanfaat dalam ketahanan, spanduk kain dengan background putih dan cat hijau, kuning akan sangat menyala ketika malam hari. Dan ketika terkena lampu dari motor atau mobil, spanduk kain tetap bisa dibaca dengan jelas, berbeda dengan spanduk plastik yang agak silau ketika terkena pantulan sinar kendaraan bermotor. Karena itu mereka tetap memakai spanduk kain yang memang sangat sesuai dengan manuver warung pecel lele.
ADVERTISEMENT
Baiklah, saya kira masalah pertama sudah clear yah! Oke, kita lanjut ke masalah kedua, kenapa namanya pecel lele tapi tidak ada pecelnya?
Sebenarnya ada dua versi jawaban, ada yang mengatakan pecel lele itu awalnya dari pecek lele. Pecek sendiri dalam bahasa Jawa diartikan sebagai geprek, penyet, dan sebagainya. Ini adalah jawaban yang berseliweran di internet, meski saya tidak terlalu setuju karena saja bahkan merasa asing dengan istilah “pecek” sendiri.
Saya lebih setuju kalau pecel itu sebenarnya bukan bumbu makanan, tetapi kata kerja (sebagaimana yang diungkap salah satu informan saya). Jadi cara membaca kata pecel adalah huruf “e” kedua dibaca seperti saat membaca kata elok. Pecel sendiri berarti memecahkan atau memukul. Penggunaan pecel ini seperti kalimat “tak pecel ndasmu”. Jadi pecel di sini adalah kata kerja ya, bukan bumbu suatu makanan.
ADVERTISEMENT
Lantas apa hubungannya dengan pecel lele? Baiklah, jadi salah satu cara untuk membunuh lele adalah dengan cara dipecel/dipukul. Nah, biasanya orang Lamongan menggunakan cara tersebut untuk membunuh lele, karena itu namanya pecel lele, atau kalau dijabarkan adalah lele yang dipecel/dipukul kepalanya.
Selain dua pertanyaan tadi, ada juga pertanyaan yang modelnya begini “kenapa orang Lamongan jualan lele, padahal kan tidak boleh makan lele?” Bagi yang belum tahu, memang ada sebuah mitos kalau orang Lamongan tidak boleh makan lele. Cerita ini sebenarnya ada beragam versi, saya akan mengambil versi dari cerita yang sering ayah saya ceritakan.
Secara singkat begini, suatu ketika ada peristiwa kejar-kejaran yang terjadi antara utusan dari Sunan Giri dengan Nyi Lurah. Ketika sudah terpojok, utusan tersebut menceburkan diri ke dalam kolam yang penuh dengan lele. Nyi Lurah dan rombongannya pun beranggapan kalau tidak mungkin ada orang yang bisa hidup dalam kolam yang berisi lele, karena hewan ini memiliki patil yang cukup tajam, akhirnya rombongan Nyi Lurah ini pun mencarinya di tempat lain dan utusan tersebut akhirnya selamat.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bahwa utusan Sunan Giri tersebut dikejar karena ketahuan mengambil pusaka yang sebenarnya adalah pusaka milik Sunan Giri yang tidak dikembalikan oleh Nyi Lurah, karenanya ia diutus untuk mengambilnya kembali dan karena Nyi Lurah tidak mau mengembalikan, maka ia berencana mengambilnya secara diam-diam, sialnya ia ketahuan dan dikejar oleh pasukan Nyi Lurah.
Nah, sebagai wujud terima kasih kepada lele, utusan Sunan Giri pun bersumpah bahwa anak turunnya tidak akan memakan lele. Kepercayaan ini masih dipegang sebagian orang Lamongan, khususnya di kecamatan Glagah, namun kebanyakan orang Lamongan menganggap hal tersebut sebagai mitos, yang membuat mereka tetap makan lele dengan lahap, termasuk saya sendiri, whehehe.
Baiklah, kiranya itu saja klarifikasi yang bisa saya sampaikan, kalau pengin lebih gamblang, tolong undang saya di podcast om Deddy, sekalian biar follower saya bertambah, chaakkzz.
ADVERTISEMENT