Konten dari Pengguna

Memahami Fase Jatuh Cinta, agar Mencintai Tidak Menyakiti Diri Sendiri

Afiqul Adib
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tinggal di Lamongan.
8 Februari 2022 19:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afiqul Adib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Instagram @aduib07
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Instagram @aduib07
ADVERTISEMENT
Mencintai adalah aktivitas yang hampir pasti pernah dilakukan oleh penduduk bumi dan sekitarnya. Kegiatan ini kadang membuat kita bahagia secara tiba-tiba, tapi kadang juga bisa berubah menjadi perasaan sedih yang sangat parah.
ADVERTISEMENT
Yah, urusan mencintai bagaikan dua sisi koin yang bersebelahan. Satu sisi berisi kebahagiaan, sisi yang lain penuh penderitaan.
Jika membincang hal-hal yang berhubungan dengan mencintai, kita perlu memahami kalau cinta dan jatuh cinta adalah dua hal yang berbeda. Jatuh cinta itu sebuah fase, atau jatuh cinta adalah bagian dari cinta. Sedangkan cinta itu bukan fase. Kita bisa saja cinta pada seseorang sampai kapan pun meski kadang ia nampak menyebalkan, tapi kita tidak bisa untuk jatuh cinta setiap saat.
Yaps, falling in love atau jatuh cinta itu tidak terjadi selamanya. Mencintai seseorang bukan berarti jatuh cinta secara terus-menerus ke orang tersebut.
Nah, jika dibahas agak serius, sebenarnya ketika jatuh cinta, hormon dopamin, serotonin, oksitosin, dan endorfin dalam otak kita meningkat secara drastis. Sehingga memunculkan perasaan bahagia yang cukup nikmat.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, karena hormon tadi terlalu banyak, maka otak yang mengatur bagian emosi mengkudeta si otak intelektual yang biasa digunakan untuk berpikir secara rasional. Karena lebih cenderung berpikir dengan perasaan bukan dengan logika, akhirnya tidak jarang ketika sedang jatuh cinta malah melakukan hal-hal di luar kewajaran yang berujung pada menyakiti diri sendiri. Yah, namanya juga cinta buta.
Beberapa hal yang dirasakan ketika memasuki fase jatuh cinta adalah kita akan selalu merasa gundah, cemas, rindu berlebihan, pengin ketemu terus, pengin melakukan panggilan tiap malam, sampai kalau chat WhatsApp nggak dibalas sebentar saja, kita langsung overthinking.
Tak jarang hal ini juga menyebabkan kita berlebihan dalam mengambil sikap. Terlalu berlebihan, terlalu khawatir, terlalu mengekang, yang malah membuat pasangan kita merasa tak nyaman, kemudian malah mbatin, “kamu kenapa, sih?”
ADVERTISEMENT
Sadar dan kontrol adalah hal yang paling penting ketika berada dalam fase ini. Kita tak pernah tahu kejutan apa yang disiapkan oleh semesta. Bisa saja ketika sedang cinta-cintanya, pasangan kita malah pergi begitu saja.
Sadar dan kontrol adalah kunci. Sadar bahwa ketika jatuh cinta, hormon serotonim naik drastis, dan ketika ndilalah ditinggalkan, hormon tersebut turun secara drastis, yang mengakibatkan kita merasa depresi.
Parahnya lagi, ketika ditinggalkan dan kita masih berada dalam fase jatuh cinta, otak yang memegang kendali masih saja otak bagian tengah yang cenderung memakai perasaan. Sehingga seringkali membuat kita berpikir bahwa satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan kita dari depresi adalah menjalin hubungan dengan seseorang yang pergi meninggalkan bekas luka.
ADVERTISEMENT
Ini akan berbahaya jika kita memaksa melakukannya sampai meninggalkan kewajiban dan tanggung jawab. Sekali lagi, sadar dan kontrol adalah kunci.
Selain itu, karena jatuh cinta adalah fase, tak lama kita akan keluar dari zona tersebut. Dan jika kita terlalu berlebihan ketika sedang di fase jatuh cinta, bisa saja kita akan kaget ketika keluar dari fase tersebut.
“Kenapa aku hampa?”
“Kenapa aku jadi bosen sama dia?”
“Kenapa perasaanku jadi biasa saja?”
Pada umumnya fase jatuh cinta adalah 18 bulan. Setelah itu, kita akan masuk fase transisi yang membuat kinerja otak kembali pada pengaturan pabrik, yang membuat kita dapat melihat aib dari pasangan kita dengan cukup jelas. Sudah bukan cinta buta lagi ini.
ADVERTISEMENT
Karena itu jangan kaget jika kebanyakan orang yang sampai di fase ini mengalami kebosanan, atau sampai berpikir untuk meninggalkan. Semua terjadi karena kita terlalu berlebihan dalam mencintai, dan ketika terjadi transisi akhirnya kaget dan tidak siap menerima perubahan.
Nah, Setelah masuk fase ini, kita tetap harus menerapkan sikap sadar dan kontrol. Sadar bahwa fase jatuh cinta sudah habis. Dan kontrol keinginan untuk langsung mengakhiri hubungan.
Di sini peran komitmen menjadi krusial untuk menjalin hubungan secara berkelanjutan. Jangan sampai ketika berada di fase ini, kita pergi begitu saja. Karena bisa saja di suatu masa, kita akan kembali merindukan saat-saat bersama dengan orang tersebut.
Satu lagi, ketika berada di fase ini dan kita malas memberi perhatian kepada pasangan, secara tidak langsung kita memberi kesempatan orang lain untuk hadir dan memberi perhatian kepada pasangan kita. Percayalah, saat itu terjadi, itu cukup menyakitkan
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, kita perlu memahami fase-fase dalam mencintai agar tak ada sesal di kemudian hari. Oh, iya, saran saja, hanya karena kamu mencintai seseorang, bukan berarti ia harus selalu bertanggung jawab sepenuhnya atas kebahagiaanmu. Goblok itu nggak masalah, tapi jangan keterlaluan juga, sih.