Pengalaman Menjadi Penumpang Travel: Dari Ugal-ugalan Sampai Lolos Razia Polisi

Afiqul Adib
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tinggal di Lamongan.
Konten dari Pengguna
17 Maret 2021 12:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afiqul Adib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kondisi di dalam bus travel.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kondisi di dalam bus travel.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang yang sudah lama merantau ke luar kota, saya sudah mencoba beberapa kali moda transportasi darat, seperti bus, kereta, mobil, sampai motor. Dari beberapa moda transportasi tersebut, saya lebih nyaman naik motor karena tidak terikat dengan jam pemberangkatan. Iya, ketika naik motor bebas berangkat kapan saja dan mampir ke mana saja.
ADVERTISEMENT
Namun sebagai anak terakhir, wajar saja semua anggota keluarga menjadi khawatir ketika saya hendak merantau ke luar kota. Itu sebabnya kemarin ketika hendak ke Jogja untuk balik ke tanah rantau, saya disuruh menggunakan kereta atau travel mobil saja. Karena harga test rapid antigen yang lebih mahal dari harga tiket kereta, maka saya mencoba mencari travel mobil saja.
Jauh-jauh hari saya mencari travel yang murah dan dekat dengan desa agar bisa dijemput di depan rumah. Akhirnya saya nemu yang sesuai dengan kriteria. Ketika saya tanya ternyata travel tersebut berangkat pada malam hari. Tanpa pikir panjang saya pun pesan, oke deal.
Karena naik travel yang berangkat malam hari, saya membayangkan akan tidur pulas dan bangun ketika sampai kosan. Sialnya, saya tidak tahu kalau mobil yang dipakai untuk travel ini adalah Pregio. Yah, jenis mobil berderet 4 yang tidak memiliki fasilitas berupa AC.
ADVERTISEMENT
Padahal saya sudah membayangkan akan naik mobil semacam xenia atau avanza. Bukan apa-apa sih, ini kan perjalanan malam, kalau tidak ada AC berarti kaca mobil harus dibuka dong, sedangkan tubuh lemah saya ini rentan sekali dengan angin malam, bisa-bisa masuk angin.
Namun, karena sudah telanjur dijemput di depan rumah, yaudah saya naik saja, urusan masuk angin mah belakangan, toh saya sudah pakai jaket dan menggunakan penutup kepala. Oke, dalam hati saya yakin bisa melewati ini semua.
Keyakinan saya tercabik-cabik ketika pak sopir mulai tancap gas. Saya baru ingat kalau moda transportasi yang berangkat pada malam hari pasti memiliki kecepatan di atas rata-rata. Karena duduk di bangku paling belakang, imajinasi naik roller coaster pun tidak bisa terhindarkan.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali saya terpanting ke samping bahkan ke atas, iya beberapa kali tubuh saya terbang sesaat meninggalkan kursi ketika mobil melewati jalan yang kurang bersahabat. Kondisi jalan yang cukup sepi memang sangat memotivasi pak sopir untuk tancap gas.
Keseruan naik travel tidak berhenti di situ, ketika masih setengah perjalanan, saya kembali dikejutkan dengan kehadiran polisi yang menjaga perbatasan. Hah, pak polisi iki ngopo bengi-bengi jek kerjo?
Saya sudah membayangkan akan mengambil jalan memutar untuk menghindari polisi, namun ternyata kami lolos dari razia dan dipersilakan melanjutkan perjalanan dengan ucapan hati-hati di jalan oleh polisi.
Sebenarnya sangat kurang masuk akal kami bisa lolos dengan sangat mudah, ya, bagaimana, ketika polisi bertanya kami ini rombongan yang hendak ke mana, pak sopir kami dengan cukup bijak menjawab bahwa kami adalah rombongan pondok yang mau ke Solo. Wedyan, saya pun mbatin, ngapusi polisi iki mbok yo kiro-kiro.
ADVERTISEMENT
Tanpa ditanya seputar masalah agama, secara kasat mata saja, pakaian kami ini blas nggak ada santri-santrinya. La wong dalam satu mobil ini ada cowok dan cewek, kan nggak mungkin yah rombongan pondok ada dua gender yang duduk bareng. Tidak hanya itu, kami bahkan nggak ada yang memakai pakaian ala santri seperti kopyah, baju putih atau koko.
Namun dugaan saya salah, respons polisi ketika mendengar jawaban dari pak sopir adalah: “Oh pondok, yowis ati-ati” (oh, pondok, yaudah hati-hati). Entah ini adalah keberuntungan atau privilege sebagai mayoritas, kami tidak peduli, pak sopir pun kembali tancap gas dengan penuh motivasi.
Pukul dua dini hari, saya pun sampai kos dengan kondisi tubuh yang utuh tanpa kekurangan apa pun. Saya pun mendapatkan pelajaran kalau menduga-duga memang bukan hal yang layak dilakukan. Seperti ucapan anak indie, “biarkan semesta bekerja”. Ckhhaakkh.
ADVERTISEMENT