Bunga Merah Khmer: Jejak Darah dalam Rezim Pol Pot

Afifa Maharani Pambayun
Mahasiswi Aktif Pendidikan Sejarah di Universitas Jember
Konten dari Pengguna
8 April 2024 14:59 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afifa Maharani Pambayun tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Angkor Wat | Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Angkor Wat | Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jika berbicara mengenai Kamboja, hal pertama yang terlintas dalam pikiran kita adalah Angkor Wat, sebuah kompleks candi kuno yang dibangun pada masa Angkorian di abad ke-9 hingga abad ke-15 sebagai tanda betapa megah dan kayanyanya perjalanan sejarah Kamboja.
ADVERTISEMENT
Namun, pada beberapa periode selanjutnya, Kamboja dihadapkan dengan peristiwa tragis yang meninggalkan jejak penderitaan hingga saat ini, yaitu era rezim Khmer Rouge atau Khmer Merah dibawah pimpinan Pol Pot.
Sejarah bermula pada periode awal pasca Perang Dunia II, dimana muncul gerakan koalisi anti-Prancis dan anti-kolonial, Khmer Issarak yang didukung oleh Pemerintah Thailand dan Viet Minh, namun pada perjalanannya gerakan ini mengalami perpecahan, beberapa anggota mereka yang berpendidikan: Pol Pot, Son Sen, Ieng Sary, dan Ieng Thirith menjadi pimpinan Partai Komunis Kompuchea, atau yang sering dikenal dengan “Khmer Rouge” atau Khmer Merah.
Setelah Kamboja merdeka di tahun 1953, Raja Sihanouk menyerahkan kekuasaannya agar ia dapat menjadi kepala negara. Pada masa ini dikenal sebagai masa harmoni, dimana ia memperluas pendidikan di Kamboja dan memodernisasi ibu kota Phnom Penh. Namun, pada masa ini pula terjadi korupsi besar-besaran dan terjadi kesenjangan sosial serta ekonomi. Kota berkembang menjadi wilayah kosmopolitan dan menawarkan pendidikan dan kesempatan bagi penduduknya sedangkan pedesaan tetap dihuni oleh petani yang hidupnya relatif tak berubah.
ADVERTISEMENT
Saat perang Vietnam, Sihanouk mengambil langkah netral, ia tak memihak Vietnam maupun AS, namun beberapa pihak menduga bahwa ia berada di pihak Vietnam, ditandai dengan dibangunnya pangkalan Vietnam di Kamboja yang menyebabkan didukungnya pergantian kepemimpinan oleh AS. Sihanouk kemudian digantikan oleh Lon Nol, perdana mentrinya.
Khmer Merah kemudian melakukan pemberontakan di wilayah desa dan mengambil kekuasaan dari tangan Lon Nol. Operasi Freedom Deal diluncurkan oleh AS, dengan menjatuhkan sekitar 500.000 ton bahan peledak di Kamboja pada tahun 1969 hingga 1973. Pengeboman ini menimbulkan ketakutan dan amarah pada masyarakat Kamboja, sehingga sebagian dari mereka mencari perlindungan di wilayah Phnom Penh dan sebagian yang lain bergabung dengan Khmer Merah melakukan perlawanan. Sinahouk yang dalam pengasingannya di Tiongkok telah bergabung dengan Khmer Merah, kemudian menyerukan ajakannya dalam siaran radio pada masyarakat Kamboja untuk juga bergabung dengan Khmer Merah. Mengingat pengaruh dan daya tariknya yang luas, banyak orang dari pedesaan mengikuti seruannya dan membuat Khmer Merah mencapai puncak kekuasaannya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1973, Khmer Merah telah menguasai sebagian besar wilayah pedesaan dan memerintah masyarakat desa untuk melakukan swasembada pertandian dan hidup dalam kebersamaan, mereka juga mengeksekusi orang-orang yang tertuduh sebagi pengkhianat. Disamping itu, kehidupan di kota semakin memburuk, hal ini disebabkan oleh membengkaknya populasi kota dan diblokirnya jalur pasokan beras ke kota oleh Khmer Merah, selain itu pasukan AS mengakhiri pengeboman mereka sehingga membuat pemerintah Lon Nol berjuang sendiri. Tahun 1975, rezim Lon Nol runtuh dan membuat tentara Khmer Merah beralih menuju Phnom Penh.
Pada awalnya, masyarakat di Phnom Penh lega karena sudah tidak ada lagi peperangan, namun perasaan itu tak berlangsung lama, Tentara Khmer Merah kemudian memerintahkan penduduk kota untuk bergegas ke desa, dengan alasan Amerika akan menjatuhkan bom setelah mereka mengambil alih ibu kota. Para penduduk tak diberi waktu untuk mengemasi barang-barangnya, mereka diperimtah pergi dengan ditodong senjata. Tidak ada pengecualian, muda, tua, lemah, kuat, anak kecil, perempuan, bahkan pasien rumah sakitpun turut dipaksa bergerak ke desa dengan resiko tertembak. Akibatnya, banyak orang lemah meninggal di perjalanan dan membengkak karena panas. Sesampainya di desa, baik penduduk kota maupun desa dipaksa untuk bekerja di kamp pertanian dan membangun bendungan dan tanggul. Selain itu terdapat gagasan “tahun nol” dimana Khmer Merah berupaya untuk menghapuskan sisa-sisa rezim sebelumnya dan membangun tatanan masyarakat baru dengan cara dilakukannya perampasan mobil, radio, buku, perhiasan, pakaian, dan apapun yang menandakan kelas, kekayaan, dan individualitas.
ADVERTISEMENT
Selain itu, mereka juga membasmi ide-ide yang bertentangan dengan hal-hal yang mereka anggap bertentangan dengan revolusi merka, ini termasuk agama, pendidikan dan pengetaguan. Mereka menutup sekolah, menghancurkan kuil dan perpustakaan. Pemimpin pemerintahan terdahulu juga tak luput dari eksekusi tentara Khmer Merah, selain itu mereka juga menargetkan orang-orang kaya, terpelajar, dan beragama. Banyak dari penduduk kota yang kemudian menyembunyikan pendidikan dan menghindari perilaku yang berhubungan dengan kelas atas.
Tahun 1976, seorang kader dari Khmer Merah menulis di buku catatannya, ia berpendapat bahwa tujuan revolusi adalah menciptakan demokrasi nasional dan menyediakan sawah bagi rakyat, serta penghapusan feodalisme, kapitalisme, dan imperialisme. Tiga program tersebut menuntut setiap orang untuk waspada terhadap musuh revolusi. Akibatnya, Khmer Merah memperkerjakan mata-mata untuk menumpas semua musuh revolusi. ketika “musuh” revolusi diadili, mereka diminta untuk menyebutkan orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Tahun 1977 adalah tahun puncak ketidakpercayaan, jajaran kader Khmer Merahpun banyak yang disingkirkan, keluarga mereka banyak dikirim ke penjara dan dibunuh. Penjara yang paling populer adalah S-21 yang disulap menjadi penjara. Kaing Guak Eav, atau Duch adalah seorang algojo yang bertugas untuk mengeksekusi. Tahanan difoto kemudian disiksa agar mereka mengakui sesuatu yang algojo minta. Dari sekitar 15.000 tahanan, hanya tersisa 7 yang selamat. Tahanan yang mati kemudian dibawa truk untuk menuju “ladang pembantaian”. Kuburan massal di negara ini diperkirakan mencapai total 20.000.
ADVERTISEMENT
Era rezim Pol Pot benar-benar era terkejam sepanjang sejarah Kamboja. Para penduduk bertahan hidup hanya dengan satu sendok bubur encer tiap harinya, dan dipaksa untuk bekerja hampir sepanjang waktu. Merkea juga terpisah dari keluarga, dan diperlakukan lebih buruk dari hewan ternak. Hukuman atas kesalahan-kesalahan kecil tak luput dari eksekusi, seperti mengambil kelapa dari pohon atau memiarkan ternak makan di ladang yang salah. Selain itu, kelompok minoritas Muslim Champa dan etnis Vietnam pun tak luput menjadi sasaran penganiayaan, yang berakibat lebih dari dua juta manusia tewas.
Pada tahun 1977 terjadi konflik antar Khmer Merah dan Vietnam, dan pada bulanDesember 1978 Vietnam berhasil menumpas kekuasaan Khmer Merah dan mengganti kekuasaan Kampuchea Demokratik menjadi Republik Rakyat Kampuchea. Para pengikut Khmer Merah melarikan diri ke pedalaman Thailand, dan setahun selanjutnya Pol Pot dan Ieng Sary diadili namun tidak ada hukuman yang dijatuhkan. Upaya rekonsiliasi terus diperjuangkan, hingga pada bulan Maret 2010 Duch dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Selain itu, upaya rekonsiliasi juga dilakukan oleh kuil-kuil Buddha dengan memberi konsekuensi karma pada anggota tingkat bawah Khmer Merah dan harus membantu menyembuhkan orang sakit dengan pengobatan tradisional. Namun, tidak semua pelaku diampuni, beberapa tetap dijauhi. Namun, terdapat sejumlah masyarakat yang kembali hidup normal dalam masyarakat melalui toleransi. Hal ini hanya satu diantara beberapa upaya penyembuhan dan keadilan yang menjadi bagian dari budaya Khmer.
Sumber:
udom Deth, S. (2009). The Rise and Fall of Democratic Kampuchea. Education About Asia, 26-30.
Zucker, E. M. (2006). The Rise and Fall of the Khmer Rouge Regime. Asia Pacific Foundation of Canada
Gruspier, K., & Pollanen, M. S. (2017). Forensic Legacy of the Khmer Rouge: The Cambodian Genocide. Academic Forensic Pathology, 7(3), 415–433.
ADVERTISEMENT