Konten dari Pengguna

Lemahnya Nilai Tukar Rupiah, Berkah atau Musibah?

AFRISMA SILVIA AYU KARNING TIYA
Mahasiswi S1 Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Malang
28 September 2022 16:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AFRISMA SILVIA AYU KARNING TIYA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pergerakan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat periode September 2022 | foto : buatan sendiri.
zoom-in-whitePerbesar
Pergerakan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat periode September 2022 | foto : buatan sendiri.
ADVERTISEMENT
Lemahnya nilai tukar rupiah masih terus berlanjut meski berbagai macam upaya telah dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (JISDOR), nilai tukar rupiah sampai dengan (27/9) telah bertengger di level Rp15.150 per dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini melenceng dari asumsi rupiah di APBN-2022 pada level Rp 14.350 per dolar AS.
ADVERTISEMENT
Dengan posisi ini maka nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sekitar 5,77% (ytd). Memang, pelemahan ini tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia seperti Malaysia (9,42%), Thailand (11,79%) dan Filipina (12,83%). Namun pelemahan ini tetap memberikan dampak bagi perekonomian Indonesia.
Pada lain sisi, fenomena pelemahan rupiah bisa menjadi berkah. Dengan adanya nilai tukar yang melemah, maka akan meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia menjadi lebih kompetitif. Dengan adanya hal tersebut maka akan dapat menaikan angka devisa untuk lebih menopang kinerja mata uang garuda.
Sedangkan di sisi lain, lemahnya nilai tukar rupiah mampu memberikan dampak perekonomian secara makro. Pertama, dampak utama atas pelemahan nilai tukar rupiah adalah mendorong naiknya harga barang dan jasa pada pasar domestik. Banyak sektor usaha terutama yang bergerak pada komponen konsumsi, kesehatan, otomotif yang notabene komponen tersebut memiliki kandungan impor cukup besar, tentunya akan mengalami kenaikan harga. Hingga pada akhirnya fenomena inflasi yang selama ini dikendalikan oleh BI akan dengan mudah mencuat pada level tinggi.
ADVERTISEMENT
Kedua, akan memicu bertambahnya hutang negara kembali setelah terwujudnya implementasi pemerintah dalam menurunkannya. Sepanjang semester I/2022, beban pembayaran bunga utang pemerintah sebesar Rp 404,4 M dolar AS. Jumlah ini pada dasarnya telah menurun dari periode yang sama tahun 2021 sebesar Rp 423,8 M dolar AS. Namun adanya pelemahan nilai tukar ini mampu memicu naiknya kembali beban negara yang sebelumnya sudah menurun.
Ketiga, dengan terjadinya pelemahan nilai tukar ini akan menurunkan minat investor asing khususnya pada pasar portofolio. Turunnya minat dan kepercayaan investor ini akan memicu investor asing untuk melakukan pull out atau menarik kembali dananya dari sektor usaha di Indonesia. Yang notabene dana tersebut sangat dibutuhkan Negara Indonesia dalam memperbaiki infrastruktur perekonomian.
ADVERTISEMENT
Sepanjang semester 1/2020, aliran dana keluar (capital flow) investor asing dari pasar saham mencapai Rp 1,50 trilliun, yang akibatnya berimbas pada tertekannya IHSG.
Kondisi yang serupa juga terjadi pada pasar Surat Berharga Negara (SBN). Dana yang keluar dalam pasar ini telah mencapai 4,49 trilliun yang akhirnya berimbas pada tingginya imbal hasil (yield). Dengan adanya hal ini maka tentunya akan menambah biaya (cost) dari setiap SBN yang dilelang pemerintah untuk menutup kondisi defisit pada APBN.
Melihat permasalahan pelemahan rupiah ini, dapat disimpulkan bahwa kejadian ini dapat mengundang kebaikan maupun keburukan. Namun dalam hal ini kita lebih menyoroti berbagai dampak negatif yang kemungkinan dapat timbul. Karena jika kita berfokus pada dampak positif yang ditimbulkan maka dampak negatif yang semula pada level rendah akan memburuk pada tingkatan yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu perlu disadari bahwa peran pemerintah sangat penting untuk saat ini. Dengan tren nilai tukar rupiah yang terus melemah saat ini menunjukan bahwa upaya perubahan yang terjadi di perekonomian Indonesia masih perlu ditingkatkan.
Memang benar bahwa pelemahan nilai tukar rupiah saat ini disebabkan juga oleh faktor eksternal yaitu pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral Amerika Serikat (the fed).
Namun, kita juga harus berfikir realistis bahwa lambatnya Indonesia dalam melakukan transformasi ekonomi negara juga mendorong atas masalah eksternal yang terjadi tersebut.
Realitanya hingga saat ini Indonesia masih cukup bergantung pada kegiatan ekspor bahan baku. Juga implementasi yang kurang dalam mendorong sektor industri untuk meningkatkan daya saing ekspor.
Selain itu, Indonesia juga sangat bergantung pada bahan bakar fosil (BBM). Seharusnya dengan kekayaan alamnya, Indonesia sangat mampu memanfaatkan sumber energinya. Karena saat ini sudah banyak negara yang upgrade dari sumber energi fosil ke sumber energi baru dan terbarukan untuk memperkuat bauran energi mereka.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, Indonesia lambat dalam meningkatkan kualitas iklim investasinya untuk menarik devisa jangka panjang yang berkelanjutan. Mata uang asing seperti ini dibutuhkan untuk memperkuat fondasi rupiah. Bukan aliran investasi jangka pendek (hot money) yang spekulatif dan banyak dipengaruhi sentimen.
Oleh karena itulah kondisi perekonomian yang mampu transformasi dari sebelumnya, mampu menekan dampak dari pelemahan nilai rupiah yang saat ini terjadi.