Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Retorika Politik: Membangun Opini Publik atau Alat Manipulasi?
5 Mei 2025 13:49 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Afriza Nur 'Aini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah dunia politik yang kian rumit, retorika tidak hanya berfungsi sebagai media komunikasi biasa, melainkan kini juga menjadi senjata yang strategis untuk membentuk opini, mengarahkan kebijakan, hingga mengubah struktur sosial. Aristoteles mendefinisikan retorika sebagai "seni mengidentifikasi dan menggunakan cara terbaik untuk persuasi yang etis". Kutipan tersebut menjelaskan bahwa retorika adalah seni persuasi yang mengutamakan kejujuran dan kepentingan bersama. Ia mendefinisikannya sebagai kemampuan untuk menemukan cara terbaik dalam meyakinkan orang lain secara etis. Maka dari itu, retorika yang baik tidak hanya efektif dalam memengaruhi pendengar, tetapi juga bertanggung jawab secara etis. Namun, kenyataannya dalam realitas politik, retorika justru terkadang menjadi sebuah konflik antara aspirasi masyarakat dan kepentingan penguasa.
ADVERTISEMENT
Saat ini, retorika politik tidak hanya tentang berpidato di atas panggung. Pada era digitalisasi seperti sekarang ini, setiap unggahan konten di media sosial seperti Twitter atau X, Instagram, maupun video konten di TikTok kini turut berperan aktif dalam menyebarkan pesan-pesan politik dengan cepat. Menariknya, pesan-pesan tersebut sering dikemas dengan sengaja untuk memancing reaksi emosional (pathos) secara cepat, bukan untuk mendorong pemikiran logis (logos).
Faktanya, masih ada masalah kompleks seperti kebijakan ekonomi atau hubungan internasional memiliki jargon-jargon andalan yang mudah diingat namun kerap berbeda dalam penerapannya. Contohnya seperti "Lawan oligarki", "Bela rakyat kecil", atau "Pertahankan kedaulatan."
Fenomena yang lebih memprihatinkan adalah munculnya politik post-truth dimana fakta objektif mengalahkan daya tarik emosional suatu pesan. Dalam keadaan seperti ini, retorika bukan lagi sebagai media penyampai kebenaran objektif, tetapi untuk menciptakan versi kebenaran yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Tantangan mendasar yang muncul adalah apakah retorika politik masih mampu berperan sebagai alat demokrasi yang sehat. Kuncinya terletak pada keseimbangan antara tiga pilar retorika: ethos (kredibilitas), pathos (emosi), dan logos (logika). Jika ketiganya berjalan dengan seimbang, retorika akan menjadi sarana edukasi politik yang cukup efektif. Namun ketika pathos mendominasi dan mengesampingkan logos, retorika pun dapat berubah menjadi alat untuk memanipulasi.
Dengan begitu, publik dituntut untuk lebih cerdas dan bijak dalam menyaring setiap narasi politik yang diterima. Di tengah derasnya arus informasi saat ini, keterampilan membedakan antara retorika yang mencerdaskan dengan yang manipulatif merupakan keterampilan yang wajib dimiliki oleh publik.
Retorika politik pada hakikatnya memiliki dua sisi, memiliki potensi ganda yang bergantung pada penggunaannya. Maka dari itu, kita perlu membangun budaya politik yang sehat dimana retorika digunakan secara transparan dan bertanggung jawab, didasarkan pada fakta dan logika, bukan sekadar emosi dan janji-janji kosong. Dengan begitu, retorika bisa tetap menjadi bagian dari demokrasi yang sehat, alat untuk memajukan bangsa, bukan senjata yang justru merusak tatanan sosial.
ADVERTISEMENT