Konten dari Pengguna

Film Islami: Penerimaan dan Penolakan Masyarakat

Afwi Abdi
Saya Afwi Abdi. Saya bukan seorang penulis dan fotografer, tetapi saya mungkin jatuh cinta pada momen-momen kecil 100 kali sehari. Mereka membuat saya tersenyum, berhenti sejenak, dan menginspirasi saya untuk mengabadikan mereka.
25 April 2023 18:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afwi Abdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menonton film di rumah. Foto: Kemenparekraf
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menonton film di rumah. Foto: Kemenparekraf
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang film Islami, pada umumnya merupakan sebuah metode berdakwah dengan media baru, bukan dengan media konvensial seperti ceramah maupun kuliah subuh. Seorang novelis terkenal, Habiburrahman El Shirazy atau biasa disebut Kang Abik, sering kali mengutip kalimat pendek penuh makna dari salah seorang ulama besar asal Mesir, Syekh Muhammad Al-Ghazali, ambilah inisiatif untuk menyampaikan ide sebelum engkau dipaksa oleh sebuah ide. Film Islami merupakan salah satu contoh dari perwujuduan kalimat tersebut yang lambat laun menjadi budaya populer di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Film Islami atau bisa juga dikatakan film yang bernafaskan Islam lambat laun menjadi budaya populer yang cukup digemari oleh masyarakat muslim di Indonesia, khususnya masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Popularitas film Islami bukan terletak hanya karena kemampuannya mengajarkan tentang apa itu Islam, namun yang terpenting adalah kemampuannya memberikan kisah-kisah yang menjelaskan bahwasanya ajaran Islam bisa mengatasi persoalan-persoalan hidup di dunia.
Salah satu contoh yang melukiskan pemahaman di atas adalah film Televisi (FTV) Pintu Berkah yang tayang setiap pagi di Indosiar. Pepatah bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian sangat lekat dengan FTV ini, terlebih judul-judulnya pun kerap menggelembungkan pepatah tersebut seperti Petani Wortel yang Berhasil Mewujudkan Mimpinya Jadi Pedagang Sukses, Lika-Liku Anak Marbot yang Berjuang Mewujudkan Mimpinya Jadi Polisi, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Film yang menampilkan ujung cerita bahagia dunia akhirat dengan tokoh utama yang hidup susah namun baik hati bagai malaikat, cenderung diperlukan masyarakat muslim kelas menengah ke bawah. Selama ini mereka kurang lebih memiliki kedekatan dengan tokoh utama dalam film, terutama dalam hal status sosial dan ekonomi. Film Islami sejenis ini dirasa masih sejalan dengan masyarakat awam sehingga sangat mudah untuk diterima, sedangkan film Islami “jenis lain” yang dirasa tidak sejalan dengan masyarakat awam cenderung menerima penolakan bahkan tuduhan.
Masyarakat awam memang kerap menilai sesuatu sebelum Ia memahami sesuatu tersebut. Sebut saja pada film Dua Garis Biru (2019) yang penuh dengan ibrah akibat dari pergaulan bebas dan pernikahan dini, tetapi masyarakat awam memandang film tersebut sebagai film yang mengajarkan pergaulan bebas pada remaja. Hal tersebut sangat bertolak belakang antara yang disampaikan sebenarnya dalam film dengan yang di-gossip-kan.
ADVERTISEMENT
Film Islami “jenis lain” (selanjutnya akan ditulis tanpa tanda petik) mendapat perlakuan yang sama seperti yang dialami film Dua Garis Biru (2019). Tak sedikit kaum muslim termasuk para ulama mengkritik film Islami jenis lain yang dianggap sebagai cara mengkomersialkan ajaran agama untuk mendapatkan uang. Agama dan komersialisasi tidak demikian selalu berselisih, pop Islam adalah tentang dakwah-tainment, tidak jauh berbeda dengan para ulama yang mendapatkan uang dari hasil ceramah.
Adapun film tentang Islam yang dinilai tidak syariah adalah film yang memiliki adegan hubungan sesama jenis, terorisme pesantren, dan pluralisme berlebihan. Film tentang Islam yang mengangkat isu tersebut sudah tentu menuai kontroversi. Salah satu contoh film Islami yang memiliki adegan hubungan sesama jenis dan terorisme yaitu film 3 Doa 3 Cinta (2008), sedangkan contoh film dengan adegan pluralisme berlebihan yaitu film Tanda Tanya? (2011). Terkhusus film The Santri, film tersebut bahkan sudah menuai kontroversi saat masih berupa trailer pada tahun 2019 silam.
ADVERTISEMENT
Selain itu, film Islami jenis lain yang kerap menuai kontroversi adalah film yang bercerita tentang poligami, kekerasan dalam rumah tangga dan kesetaraan gender yang dikemas secara berlebihan. Salah satu contohnya adalah film Perempuan Berkalung Sorban (2009), film ini bercerita tentang perempuan yang meninginkan kebabasan. Tokoh utama film ini adalah Annisa (Revalina S. Temat) yang dibesarkan di lingkungan pondok pesantren konservatif. Annisa tidak merasakan kebebasan mulai dari dijodohkan dengan anak Kiai, kemudian terungkap bahwa anak Kiai tersebut bukanlah pria yang baik. Ia kerap mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga hingga suaminya menikah lagi dengan wanita lain.
Cerita seperti di atas merupakan isu yang sepatutnya diperhatikan, film Perempuan Berkalung Sorban (2009) mengajarkan kepada penonton tentang pentingnya kebebasan individu. Islam sangat jelas memberikan kebebasan individu pada setiap pemeluknya dengan tetap memiliki batasan tertentu, hal ini yang sejatinya ingin disampaikan dalam film Perempuan Berkalung Sorban (2009).
ADVERTISEMENT
Film Islami dengan formula cerita bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian cenderung mudah diterima di masyarakat dibandingkan dengan cerita yang mengangkat isu-isu di kehidupan masyarakat muslim. Walaupun para sineas tidak bermaksud melakukan penistaan agama, film yang mengangkat isu-isu agama akan selalu menuai kontroversi di masyarakat, agama apa pun itu, tidak hanya Islam.