Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kandungan Soft Power dalam Drama Korea Tontonan Saya
23 Maret 2020 15:55 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Agaton Kenshanahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Demikian kata Angga Septiawan Putra, jurnalis Sepak Bola kumparan cum pengamat film di @wolecine. Celetukan itu keluar saat kami sedang mencari makan malam di tengah imbauan work from home karena maraknya penularan virus corona.
ADVERTISEMENT
Cowok yang pernah jadi rekan saya di pers mahasiswa kampus tersebut memang rajin menonton dan mengulas film kekinian. Makanya, agak aneh jika tiba-tiba ada komentar bingung soal sebuah film.
Memang, menonton film menjadi momen hiburan tersendiri saat work from home. Apalagi film serial drama Korea yang belakangan saya suka. Meskipun agak malu mengakuinya.
Kenapa? Karena dulu, saat SMA, saya kerap skeptis kalau ada teman yang sedang membicarakan cerita serial Korea terbaru. Makin gerah kalau ada cewek-cewek yang mengidolakan oppa atau para cogan (cowok ganteng) dan membincangkannya di kelas.
"Iyuwh, apa bagusnya?" pikir saya kala itu.
Namun, kini saya kena batunya. Sejak dua bulan lalu, saya jadi rajin menonton sejumlah drama dari negeri gingseng itu. Bermula menonton 1 episode Live Up to Your Name (2017) hingga sekarang sudah habis 9 judul serial:
ADVERTISEMENT
Saya pun jadi bertanya hal yang serupa layaknya Angga: Apa yang bikin drama Korea yang saya tonton menarik?
Sejumlah pakar film mungkin akan menjawab dari sisi sinematografi, unsur intrinsik-ekstrinsik, plot-setting, dan hal-hal terkait yang tak saya paham. Namun, saya pribadi akan mengamini sejumlah pakar Hubungan Internasional yang menyebut film drama Korea ini merupakan bagian dari soft power Korea Selatan.
Dikemukakan oleh Joseph Nye sekitar 3 dekade silam, soft power merupakan kemampuan suatu pihak untuk mendapatkan sesuatu sesuai yang pihak lain inginkan (ability to get others to want what you want). Dalam level negara, instrumen yang digunakan adalah daya tarik kultural ketimbang koersi atau kekerasan.
ADVERTISEMENT
Kalau hard power bentuknya bisa berupa kekuatan militer atau ekonomi, maka soft power dapat mewujud dalam pendidikan, literatur, hingga kultur pop: musik, film, komik, dll, hingga nilai-nilai spesifik bangsa di suatu negara.
Meski demikian, kultur pop yang berdiri sendiri tak bisa langsung disebut sebagai soft power. Negara harus hadir mengelolanya dan Korea Selatan melakukan hal tersebut lewat Korean Culture and Information Service (KOCIS).
Lebih lanjut, Alexander Vuving (2009) menjewantahkan secara spesifik bagaimana soft power bekerja. Ia setidaknya harus mengandung nilai (soft power currency) yang bisa bikin orang tertarik menikmatinya, yakni beauty, brilliance, benignity (3B).
Dari ketiga nilai tersebut, kita bisa membedah kenapa drama Korea yang saya tonton menarik. Berikut detailnya:
ADVERTISEMENT
Beauty
Nilai beauty dalam drama Korea bukan semata-mata soal cantik atau ganteng para pemerannya (walaupun saya akui demikian). Akan tetapi lebih kepada bagaimana drama-drama tersebut mempromosikan cita-cita, nilai, visi, dan idealisme.
Berbagai idealisme yang digambarkan dalam drama Korea bisa ditafsirkan berbeda oleh para penontonnya. Paling mudah, kita bisa melihat adanya pesan bahwa ideal cantik atau tampan seseorang dilihat dari wajah putih dan bersih hingga kulit muka yang glowing sebagaimana ditampilkan para pemeran tokoh drama.
Padahal kalau dilihat secara statistik, beberapa drama Korea yang saya tonton ini, para pemerannya tak lagi berumur muda. Dibandingkan dengan Maudi Ayunda yang main Habibi Ainun 3 (2019) pada usia 25 tahun, sebagian besar drama Korea tontonan saya dibintangi aktor di atas 30 tahun. Walau demikian, justru di situ letak beauty K-Drama yang coba dijadikan nilai soft power.
ADVERTISEMENT
Pengalaman unik datang ketika saya menonton Hospital Ship (2017). Serial itu bercerita romansa dua dokter wajib militer di sebuah rumah sakit kapal yang berkeliling memeriksa warga di pulau terpencil Korea.
Saya sempat mengira Ha Ji-Won, pemeran tokoh Dokter Song di drama tersebut, baru berusia 28-29 tahunan. Namun, setelah iseng mencari di Mbah Google, ia ternyata aktris kelahiran 1978, hanya 5-6 tahun lebih muda dari emak saya.
"Oh, sh*t!" pikir saya kala baru mengetahui fakta mencengangkan tersebut. Dari situ saya bisa membaca pesan tersirat bahwa kecantikan atau ketampanan di Korea itu tak lekang oleh umur.
Tujuan dari adanya nilai beauty ini jelas: memberi inspirasi kepada aktor (bangsa atau negara) lain untuk memiliki nilai/standar serupa. Jadi, apakah Anda sudah terinspirasi untuk memiliki wajah cerah dan glowing layaknya artis Korea?
ADVERTISEMENT
Brilliance
Kecantikan dan ketampanan artis Korea memang tak lekang oleh usia. Namun, hal itu tentu bukan terjadi dengan sendirinya. Ia memerlukan kiat dan upaya. Di sinilah nilai brilliance (kecemerlangan) bermain peran.
Keberhasilan Korea (Selatan) menggambarkan ketampanan dan kecantikan para pemeran drama membuat bangsa lain terinspirasi memilikinya. Kiat, upaya, atau teknologi di balik itu semua adalah kecemerlangan yang jadi currency soft power-nya.
Kiat, upaya, atau teknologi mencapai kecemerlangan tersebut ditunjukan secara tersurat, misalnya dalam adegan-adegan pemeran menggunakan kosmetik atau skin-care untuk wajah.
Dalam serial Crash Landing on You (2020), misalnya, kita bisa melihat tokoh Yoon Se-ri bersikukuh minta dibelikan berbagai kosmetik perawatan kecantikan saat terjebak di Korea Utara. Di episode 2, ada adegan Se-ri mengaplikasikan skin-care di wajah dan lehernya.
ADVERTISEMENT
Jenama skin-care yang dipakai Se-ri yakni Ma:nyo Bifida Complex Ampoule yang diklaim dapat mengurangi penuaan kulit. Ternyata, produk tersebut memang ada dan menjadi salah satu yang populer di Korea. Berdasarkan pada lebih dari 2.000 ulasan di aplikasi kecantikan Korea Hwahae, produk itu mendapatkan rating 4,18 dari 5.
Adegan-adegan yang menunjukkan sebab-akibat artis Korea tampak cantik dan tampan di layar kaca memang kelihatannya sepele. Namun, hal itu tampak berkorelasi dengan hasil pendapatan yang dihasilkan dari segmen skin-care di Korsel.
Menyadur data Statista, pendapatan segmen skin-care di Korsel naik terus tiap tahunnya sejak 2012. Hingga 2020 kini, pendapatan dari skin-care Korea berada di peringkat 5 besar dunia yakni 7.102 juta dolar AS.
ADVERTISEMENT
Bayangkan apabila 269,6 juta penduduk Indonesia semua terbius oleh kecemerlangan produk skin care Korea setelah nonton K-Drama? Negara tersebut tentu bisa tambah kaya, ya.
Benignity
Benignity atau nilai keramahan/kebaikan berkaitan dengan hubungan suatu negara dengan negara lainnya yang jadi klien (objek) soft power. Kalau memang rakyat negara klien menyukai pop kultur drama Korea, hal itu diharapkan membuat negaranya akan bersikap ramah dengan pemerintahan Korea.
Bayangkan misalnya saat ini di Indonesia ada jutaan penggemar drama Korea Crash Landing on You. Di saat yang sama, tiba-tiba terjadi ketegangan antara pemerintah Indonesia dan Korea Selatan. Skenarionya, Kominfo memblokir seluruh drama Korea di semua layanan film streaming.
Apa yang terjadi selanjutnya? Kemungkinan ada protes dari para penggemar drama Korea. Hastag #KembalikanDramaKorea bisa jadi trending berhari-hari. Pemerintah RI didesak kembali melakukan normalisasi hubungan dengan Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, nilai benignity dalam soft power punya kemampuan untuk membuat rakyat Indonesia bahkan memihak Korea Selatan ketika terjadi krisis.
Popularitas drama atau pop kultur Korea di Indonesia secara umum memang cukup tinggi. Kalau tak percaya cek saja trending Twitter saat ini.
***