Patologi Keamanan Prancis

Agaton Kenshanahan
Jurnalis Liputan Khusus kumparan
Konten dari Pengguna
1 November 2020 10:57 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agaton Kenshanahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Polisi berjaga lokasi penembakan pendeta Ortodoks di Lyon, Prancis. Foto: Cecile Mantovani/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Polisi berjaga lokasi penembakan pendeta Ortodoks di Lyon, Prancis. Foto: Cecile Mantovani/Reuters
ADVERTISEMENT
Prancis sedang dihadapkan pada ancaman keamanan tingkat tinggi. Teror merebak setelah Presiden Emmanuel Macron mengumumkan pernyataan kontroversial tentang Islam.
ADVERTISEMENT
Macron menyebut Islam dalam krisis di seluruh dunia. Ia juga mengaitkannya langsung dengan terorisme yang melanda negara itu sejak tahun 2012.
Merasa jengah dengan hal tersebut, Macron lalu menjadikan Islam sebagai target revolusi. Ia menggagas konsep pencerahan Islam (Islam des lumières) yang dianggap lebih cocok dengan kehidupan sekular Prancis.
Ide dasarnya, Macron akan memutus pengaruh asing terhadap unsur-unsur keislaman di Prancis hingga memfabrikasi undang-undang yang akan membatasi gerak komunitas muslim di negara tersebut.
Tujuan upaya tersebut tak lain adalah memerangi apa yang Macron sebut sebagai 'separatisme Islam'. Alasannya untuk mempertahankan nilai-nilai sekularisme Prancis hingga melibas model Islam yang dianggap punya hukum melebihi hukum negara sehingga menyebabkan counter-society.

Transformasi Isu Sosial ke Keamanan

Upaya Macron membingkai Islam sebagai ancaman terhadap nilai-nilai sekular Prancis ialah percobaan menyeret isu sosial-kultural menjadi isu keamanan. Asumsinya, ancaman terorisme yang sempat merebak itu bisa berakhir jika Islamnya jadi target pembenahan.
ADVERTISEMENT
Dalam studi keamanan upaya Macron itu dikenal sebagai sekuritisasi. Ia mentransformasi isu apa pun menjadi isu keamanan dengan cara meyakinkan publik untuk mengambil langkah ekstra terhadap isu tersebut.
Jika itu berhasil, akan muncul political emergency yang bisa menjadi justifikasi berbagai tindakan dilakukan dengan mengesampingkan nilai-nilai pada situasi normal.
Salah satu problema yang bisa timbul dari upaya sekuritisasi Macron ini adalah kegagalan menentukan aktor yang jadi ancaman dan menunjukkan di mana letak ancaman itu berada.
Mengatakan bahwa separatisme islam adalah isu yang mesti diperangi memang mudah. Namun menunjukkan subjek siapa yang mesti diperangi dan di mana perang itu dihelat membutuhkan upaya ekstra.
Pertama, mencari siapa aktor yang mesti diperangi. Terbukti Prancis kesulitan mendefinisikan hal ini. Alih-alih mengatakan aktor tertentu, ia justru menyebut Islam yang bermasalah. Ini jelas bukan aktor, melainkan sebuah identitas keagamaan.
ADVERTISEMENT
Jika masalah pertama tidak bisa didefinisikan, maka masalah kedua akan muncul yakni lokasi ancaman yang akan diperangi menjadi kabur. Kita ketahui, orang yang menganut Islam tidak hanya di Prancis. Jika ia menyebut Islam bermasalah, maka dia justru memperlebar lokus masalah ke seantero dunia di mana Islam berada.
Apalagi Macron sempat mengaitkan Islam dan terorisme. Dengan ini, seolah ia menyampaikan di mana ada Islam maka ada potensi terorisme terjadi. Ini juga akan membuat komunitas muslim Prancis makin tereksklusi karena masyarakat umum akan menaruh kecurigaan yang sama dengan apa yang disebut pemerintah.
Kalau aktor yang disasar dan lokasi sumber masalah tidak dapat didefinisikan dengan jelas, Prancis justru akan kesulitan mengatasi isu keamanan yang dikonstruksi sendiri.
ADVERTISEMENT
Tindakan Macron di Prancis ini ibarat dokter ingin mengatasi suatu penyakit pasien, tapi tidak mencari apa saja penyebab yang membuat pasien itu sakit dan menentukan lokasi tubuh mana yang mesti diobati.
Prancis kini sebatas hanya bisa mengatakan bahwa negaranya sedang sakit dan harus diobati saja. Ia gagal mencari patologi keamanan yang menyebabkan timbulnya ancaman di negaranya.

Resistensi Dunia Islam

Efek domino kesalahan diagnosis dari sebuah penyakit adalah memberi obat yang salah lalu berujung kepada kontraindikasi. Begitulah yang kira-kira terjadi di Prancis saat ini.
Alih-alih menyembuhkan ancaman terorisme di negaranya, upaya untuk meredakan penyakit tersebut dengan menuding islam bermasalah dan mengobatinya dengan pencerahan Islam versi Prancis justru membuat dunia Islam geram.
ADVERTISEMENT
Kecaman hingga boikot produk Prancis dari negara lain merupakan efek samping yang tidak diharapkan. Malahan, Prancis mengatasi masalah dengan menimbulkan masalah baru yang lebih besar.
Dalam rilisnya, Kementerian Luar Negeri Prancis jadi repot untuk "menegaskan kembali dan menjelaskan kepada mitra mengenai posisi Prancis, terutama tentang kebebasan fundamental dan penolakan kebencian, mendesak otoritas negara terkait untuk melepaskan diri dari seruan untuk memboikot dan serangan apa pun."
Kalau Prancis ingin betul mengatasi penyakit terorisme di negaranya sekaligus menghilangkan mispersepsi dari dunia islam, sekali lagi, negara itu harus jelas menentukan siapa aktor yang akan ditangani dan di mana ia akan memerangi ancaman tersebut.
Apabila Prancis terus melakukan pendekatan keamanan seperti yang dilakukan sekarang ini, niscaya masalah keamanan justru akan makin pelik dan menimbulkan masalah baru.
ADVERTISEMENT