Konten dari Pengguna

Pertemuan dengan Noor Huda dan Paradigma Baru Desekuritisasi Terorisme

Agaton Kenshanahan
Jurnalis Liputan Khusus kumparan
30 Juni 2019 11:45 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agaton Kenshanahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Noor Huda Ismail (kiri) dan saya di kantor kumparan, Jl Jati Murni no.1A, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Foto: Faisal Rahman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Noor Huda Ismail (kiri) dan saya di kantor kumparan, Jl Jati Murni no.1A, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Foto: Faisal Rahman/kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir 2015 lalu, saya sempat menulis sebuah artikel berjudul 'Melawan Terorisme dengan Cinta' di sebuah media massa nasional. Tulisan itu merupakan buah kontemplasi usai mengetahui adanya sekelompok teroris yang menyerang Paris, dan menyebabkan islamofobia di Inggris setelahnya.
ADVERTISEMENT
Tesis yang mengemuka dalam tulisan tersebut sederhana, bahwa membunuh teroris dengan cara-cara militeristik tak akan menyelesaikan masalah. Menaruh kebencian terhadap para pelaku terorisme juga hanya akan membuat terorisme semakin tumbuh subur.
Pendekatan yang saya kemukakan memang agak berbeda dari apa yang ada di buku-buku teks dan praktik penanganan terorisme di sejumlah negara di dunia. Namun, sejujurnya saya masih belum mengetahui bagaimana mempraktikkan buah pikiran sendiri yang kala itu masih mengkaji terorisme di studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Padjadjaran.
Setidaknya, ketidaktahuan itu terus menghantui hingga saya bertemu sosok Noor Huda Ismail kala bertandang ke kumparan. Ia adalah pakar terorisme, eks santri Ngruki, jebolan HI Monash University, sekaligus aktivis deradikalisasi teroris di Yayasan Prasasti Perdamaian.
ADVERTISEMENT
Obrolan dengan pria yang akrab disapa Huda itu melengkapi hasil pencarian saya tentang bagaimana penanganan terorisme yang lebih humanis. Rupanya sejak tahun 2008, ia sudah menerapkan hal itu kepada para eks teroris hingga bisa dikembalikan lagi ke masyarakat. Ke mana saja saya selama ini?
Yang menarik, Huda tak pernah memandang terorisme timbul semata-mata karena ideologi atau agama. Ia justru melihat bahwa teroris itu adalah sebuah proses yang diajarkan dan disosialisasikan.
Dengan kata lain, permasalahan terorisme adalah masalah sosial. Ideologi, agama, kemiskinan, ketidakadilan, dan sebagainya adalah sejumlah faktor yang mendorong seseorang jatuh ke kelompok teroris, bukan penyebab utamanya.
Apa dampaknya kala melihat sudut pandang fenomena terorisme dari kacamata sosial? Tentu penanganannya akan berubah juga dari pendekatan keamanan menjadi pendekatan sosial.
ADVERTISEMENT
Pendekatan keamanan dengan cara militeristik memang sudah terbukti usang untuk mengatasi permasalahan terorisme. Kita bisa berkaca bagaimana AS menangani terorisme di Irak dan Afghanistan menggunakan moncong bedil nyatanya tak efektif.
Menurut data Global Terrorism Index 2018, tindak terorisme kini justru bertambah ketimbang sebelum AS memijakkan kaki di kedua negara tersebut. Irak yang pada tahun 2003 berada di ranking 2 negara terdampak terorisme, tahun 2018 jadi ranking 1. Begitu pula Afghanistan, yang tadinya ranking 6 pada tahun 2001, setelah diinvasi jadi ranking 2.

Mengapa bisa terjadi?

Pendekatan keamanan melihat terorisme dengan menghitung seorang teroris dari tubuh fisik yang bersifat materi semata. Asumsinya, apabila ada 1.000 teroris di dunia, membunuh 1 teroris akan mengurangi seorang teroris di dunia ini dan menyisakan 999 lagi. Akan tetapi, hitungan sosial tak sesederhana kuantifikasi fisik semata.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi seorang teroris yang dibunuh itu punya anak, keluarga, hingga lingkungan sosial yang kemudian menaruh dendam. Dan kebetulan, lingkaran sosial sang teroris itu sepakat akan pemikirannya soal terorisme, hanya belum mampu untuk mengaktualisasikannya. Akibatnya, membunuh satu teroris justru akan membangunkan potensi tindak terorisme yang lebih besar.
Pakar Terorisme dan Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail. Foto: Faisal Rahman/kumparan
Menjadi sebuah masalah, ketika kita melihat sudut pandang terorisme dari kacamata keamanan semata. Sehingga, moncong bedil lebih banyak bicara tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang lebih besar.
Dalam studi keamanan, tradisi pemikiran dari Copenhagen School berpandangan memungkinkannya melakukan 'desekuritisasi' pada sebuah isu. Ini adalah proses di mana publik dan para elite menghasilkan diskursus untuk mengubah paradigma suatu isu dari yang tadinya dianggap sebagai isu keamanan menjadi isu biasa (normal politics).
ADVERTISEMENT
Ke depan, kita mungkin perlu mempertimbangkan 'desekuritisasi' pada isu terorisme ini. Bukan untuk membuatnya menjadi isu yang biasa-biasa saja, tetapi setidaknya mengubah pola pikir kita bahwa terorisme perlu lebih ditangani secara sosial, sehingga bisa menghentikan laju timbulnya tindak terorisme yang lebih besar.