Konten dari Pengguna

Digugat ke MK, Presidential Threshold Buka Celah Politik Transaksional

Agdelia Meiva Azarine
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia
18 Desember 2022 16:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agdelia Meiva Azarine tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber ilustrasi: Dokumentasi penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber ilustrasi: Dokumentasi penulis
ADVERTISEMENT
Presidential Threshold
Pelaksanaan pemilu merupakan bentuk manifestasi dari negara yang mengakui prinsip kedaulatan rakyat. Pemilu sebagai sarana legitimasi kekuasaan sekaligus instrumen penting dalam berdemokrasi telah mengalami transformasi dari masa ke masa seiring dengan pergantian peraturan perundang-undangan. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi konstitusional, peraturan perundang-undangan terkait pemilu telah mengalami perubahan sejak tahun 2004. Hal ini didasari atas perubahan ketentuan ambang batas pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Adapun undang-undang yang mengatur terkait ketentuan besaran ambang batas pemilihan Presiden dan Wakil Presiden(presidential threshold) terdapat dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
ADVERTISEMENT
Nilai ambang batas yang semula hanya sebesar 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional, di undang-undang tersebut kian diperbesar menjadi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh setidaknya 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Eksistensi ketentuan ambang batas pencalonan presiden dinilai akan menghalangi dan membatasi pilihan alternatif rakyat untuk memiliki pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ideal. Kondisi inilah yang akhirnya menuai pro dan kontra mengenai wacana penghapusan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden nol persen yang menambah kompleksitas masalah politik di masyarakat.
Sejatinya pemilu diselenggarakan untuk mewujudkan cita-cita demokrasi yang menempatkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaannya pemilu telah terintervensi oleh praktik transaksi yang turut mengiringi ruang dinamika perhelatan politik sehingga semakin jauh dari hakikat demokrasi. Praktik transaksi politik atau lebih dikenal dengan istilah politik transaksional dianggap sebagai hal yang lumrah dalam kontestasi politik di Indonesia, padahal sejatinya hal tersebut merupakan bagian dari korupsi politik sehingga telah mencemari pelaksanaan pemilu yang demokratis.
ADVERTISEMENT
Politik transaksional identik dengan upaya mempersuasi orang lain dalam bentuk pemberian barang, uang, atau kebijakan tertentu sebagai objek imbalan materi. Politik transaksional yang akan dibahas di dalam artikel ini lebih dari sekadar pemberian uang dan barang melainkan lebih menekankan pada kebijakan sebagai keputusan otoritatif yang dikhawatirkan hanya berorientasi pada keuntungan pihak tertentu berdasarkan kesepakatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik. Setiap warga negara pada hakikatnya memiliki hak konstitusional untuk memilih (the right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri (the right to be candidate).
Sebagaimana yang telah diuraikan di muka bahwa Indonesia sejatinya adalah negara demokrasi konstitusional dimana konstitusi menjadi hal yang dasar dan fundamental dalam menyelenggarakan tata kehidupan bernegara. Konstitusi di Indonesia telah menjamin adanya kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam pemerintahan. Namun, perlu disadari bahwa aturan presidential threshold telah membatasi hak konstitusional warga Indonesia dan secara tidak langsung telah mengingkari makna demokrasi yang seharusnya memberikan kebebasan bagi setiap warga negara.
ADVERTISEMENT
Politik Transaksional
Pemilu setidaknya telah menjadi mekanisme yang merepresentasikan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat, tetapi untuk memahami tolak ukur kedaulatan rakyat itu sendiri tidak cukup dengan parameter sudah terlaksananya suatu pemilu. Pemilu pada hakikatnya hanyalah sarana dan sebuah sistem, ada yang jauh lebih penting dari itu, yakni mengenai konsistensi dari pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat di dalam pemilu. Sejauh mana peraturan perundang-undangan yang dibuat mengatur mengenai sistem tersebut, apakah semakin mempersempit ruang bagi rakyat untuk menentukan pilihannya ataukah semakin renggang sehingga tidak ada sekat atau batasan dalam memilih. Lantas, dimana korelasi antara regulasi presidential threshold dengan politik transaksional?
Adanya ambang batas presiden justru akan menciptakan pembatasan terhadap partai politik lainnya yang tidak mencapai angka ambang batas sehingga golden ticket pencalonan presiden dan wakil presiden hanya dipegang oleh partai yang memenuhi nilai ambang batas. Hal ini justru berpotensi memundurkan kesadaran para partisipan politik karena dianggap membuka kesempatan bagi partai dengan elektabilitas rendah untuk memperbesar peluangnya dengan menunggangi suatu partai yang memiliki elektabilitas tinggi demi kepentingan sepihak. Banyak partai yang kemudian beramai-ramai melakukan koalisi untuk meningkatkan elektabilitasnya dengan pencitraan politik semata.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, partai yang memiliki elektabilitas tinggi merasa terbantu dengan adanya bantuan dana yang masuk untuk menjalankan kegiatan yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya. Praktik yang seperti inilah yang kemudian disebut sebagai politik transaksional lantaran melanggengkan proses transaksi dalam berpolitik hanya untuk kepentingan kekuasaan dan bukan keberpihakan pada rakyat. Pejabat eksekutif yang nantinya mendapatkan bangku di pemerintahan cenderung akan membalas jasa kepada pihak pemberi dana. Praktik ini yang kemudian melahirkan politik balas budi yang dimanifestasikan melalui kebijakan untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu.
Dampak dari politik transaksional sudah pernah dirasakan oleh masyarakat terutama di sektor SDA karena sektor ini dinilai paling strategis. Bukan tidak mungkin eksploitasi sumber daya alam tidak mendatangkan keuntungan secara ekonomi mengingat sumber daya alam merupakan sektor vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Faktanya, di awal tahun 2021, masyarakat sempat dikagetkan dengan penerbitan SK 163.K/MB.04/DJB Tahun 2021 mengenai Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk PT Tambang Mas Sangihe yang dinilai tidak transparan dan melanggar UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil yang seharusnya menjadi kawasan hutan lindung dan tempat tinggal bagi hewan endemik.
ADVERTISEMENT
Penerbitan surat perizinan ini menjadi bukti konkret bahwa implementasi undang-undang tergantung dengan siapa yang memegang kekuasaan. Undang-undang yang sengaja dibuat untuk melindungi kepentingan dan hak masyarakat seketika menjadi luntur karena kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak yang berkuasa. Kebijakan yang dikeluarkan tak lagi berpihak pada rakyat, melainkan hanya untuk kepentingan pihak tertentu saja.