Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerpen: Hanger
17 Desember 2023 15:33 WIB
Tulisan dari Ageng Rachmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dikala senja, aku berada di tepi pantai dengan pasir coklat bagai bubuk kopi kapal api yang lembut. Sepintas aku berpikir ngopi di pinggir pantai dengan suguhan lukisan cahaya merah ciptaan Sang Mahakuasa adalah sesuatu yang indah. Aku pun memesan segelas kopi hitam tanpa gula di warung terdekat.
ADVERTISEMENT
Kopi akhirnya datang, diantar oleh seorang pelayan cantik bak bidadari. Kesan pertama dikala jumpa wow sungguh mempesona, postur tubuh remaja, bibir cantik nan ceria. Aku sadar mata adalah jendela sukma yang mampu mengikat jiwa. Sontak hatiku lagi-lagi membatin “Andai kau seorang bidadari yang hidup di zaman Joko Tarub, dan aku Joko Tarubnya, pasti kan kuambil selendangmu”. Ketika kopi itu dihidangkan di hadapanku, aku tak lupa mengucap “Terima kasih mbak”, “Iya.. Sama-sama mas” balasnya dengan senyum.
Hatiku bertanya,
“Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pandangan pertama?” dan pertanyaan ini aku jawab-jawab sendiri dengan suara lirih;
“Tidak, ini adalah nafsu!”.
Seruput demi seruput kopi kunikmati. Senja yang mulai memerah, ombak bergulung, suara-suara berdebur, di bibir pantai gelombang menjadi hancur. Semua itu menghiasi pantai dengan irama yang tenang. Keindahan ini membuatku teringat dan ingin merenung menguak kembali cerita-cerita balada bersama Utma. Renungan pun dimulai.
ADVERTISEMENT
Utma dulunya merupakan seorang gadis sekelas waktu sekolah menengah atas dan sekarang satu universitas, namun beda fakultas. Utma mengambil Fakultas Ilmu Budaya jurusan Ilmu Sejarah, sedangkan aku di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan Pendidikan Sejarah yang sama-sama berkuliah di Universitas Jember. Meskipun berbeda fakultas, saling kontak di antara kita berdua tidaklah putus. Memang sedari SMA Utma telah dekat denganku. Namun hanya sekedar dekat layaknya seperti sahabat. Jelas ingat, kala kita berkenalan pertama aku langsung saja kagum, terpikat pada semua yang ada, ya senyum ya cahaya mata, ya pribadi ya tutur kata, semua nan indah, jelas aku amat bahagia, ya jadi ceria. Dari sinilah aku jatuh hati padanya.
Puluhan kali kita pergi bersama. Semua terasa indah di isi dengan gurauan belaka. Rahasia demi rahasia kita diskusikan bersama. Tatkala baru-baru ini ketika sudah menjadi mahasiswa aku baru berani membahas soal rasa bersamanya. Saat itu kita berdua janjian bertemu di Perpustakaan Universitas Jember untuk mencari buku-buku sejarah, aku pun bertanya;
ADVERTISEMENT
“Jika ada seseorang yang memberikan statement dan menginginkanmu menjadi pacarnya, gimana tanggapunmu Ma?” ujarku dengan percaya diri, karena ini hanya pertanyaan pancingan.
“Aku gak mau pacaran, jika pun ada seseorang yang menembakku seperti itu, aku langsung meninggalkannya, risih juga kalo memang ada” katanya sambil merasa aneh. “Aku gak akan pacaran sampai aku sendiri merasa mampu dan siap” tambahnya.
Dia mulai curiga kenapa aku tiba-tiba membahas soal perasaan, mengingat sebelumnya pertemanan di antara kita berdua sudah teramat dekat. Sejak itu, kerenggangan demi kerenggangan terjadi. Dia semakin hati-hati dari ucapan hingga senyumnya mulai terasa canggung. Dia mulai sadar dibalik semua kebersamaan kita berdua, nyatanya ada yang mabuk cinta kepadanya. Jelas ini adalah pertanyaan pancingan, pancingan mendatangkan malapetaka.
ADVERTISEMENT
Aku mulai menyesali pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan di waktu itu. Namun, tampaknya kerja sama masih ada di antara kita berdua. Cuma kerja sama macam apa itulah rahasia, karena dia enggan lagi mau bercerita, hanya berkata. Ada tugas yang tuntas dibantu oleh sesama.
Di tepi pantai aku tersenyum sendiri sambil menyeruput kopi hitam nan pahit, membayang kembali bahwa kisah kita layaknya sepasang merpati, dikala aku mendekat dia menjauh, dikala aku menjauh dia malah mendekat. Aku merenung kembali, membayangkan satu peristiwa dikala hatiku sudah lalah, digantung, diinvasi hingga membabi-buta. Apakah ini cobaan Sang Mahakuasa, hati terasa gundah, namun jiwa harus tetap tabah. Hanya saja karena cinta yang menjadi bingkainya. Semua dijalani dengan setia, karena itu arti cinta. Aku mendeklarasikan negara baru, negara Utma namanya, kan kuabdikan diriku untuknya, meskipun kedaulatanku masih bias di hadapannya.
ADVERTISEMENT
Satu ketika, ada tugas mata kuliah Pengenalan Lingkungan Persekolahan dan siang itu aku dengan tiga temanku lainnya Berlian, Awan dan Putra memiliki jadwal wawancara bersama guru pendidikan sejarah di SMA Negeri 3 Jember, pukul 11 tepatnya. 30 menit sebelum wawancara dimulai dan kami disuruh menunggu diruang bimbingan konseling terlebih dulu. Bunyi dering handphone tiba-tiba terdengar;
“Dreinkkkk... dreinkkkk...” suara dering handphone menguasai satu ruang.
“Hp siapa itu, hp mu Wan?” tanya Berlian.
“Bukan..” balas Awan.
Aku tiba-tiba mengeluarkan handphone dari saku, telfon pun langsung aku angkat. Namun tiba-tiba telfon berakhir. Belum sepatah kata pun terucap, telfon sudah dimatikan. Aku melihat notice pesan Whast App darinya bahwa dia sedang kehilangan Handphone milik uminya yang dia bawa ke kampus pagi hari tadi. Aku menyuruhnya untuk tetap tenang, dan menyusuri kembali ditempat-tempat yang pernah dia singgah. Dia baru menyadari handphone-nya hilang ketika setiba di rumah. Kemudian dia kembali lagi dari Bangsalsari ke kampus dengan perasaan bingung, gentar, sedih dan takut. Entah perasaan seperti apa yang benar-benar dirasakannya, aku pun tak tahu.
ADVERTISEMENT
Aku bercerita ke tiga temanku, “Hee gimana ini, hp temenku FIB ilang” ujarku dengan rasa bingung.
“Tenang dulu, dilacak aja pakai find my device” saran Putra.
Aku pun dengan antusias meminta email yang terhubung di handphonenya itu. Dan emailnya pun aku dapat. Di saat aku melacaknya ternyata handphone-nya tidak terdeteksi, sebab imeinya tidak terdaftar karena memang didapatnya dari benua Timur Tengah. Perasaan gelisah campur aduk bersamaan dengan rasa tegang dan takut dirasakan dia. Aku pun tak tahu mau berbuat apa, hanya bisa memberikan informasi di grup kampus bahwa jika ada yang menemukan Hp Samsung M30s, aku benar-benar minta tolong hubungi nomorku, itulah pesanku di grup Whats App.
Tiba-tiba terdengar lagi suara dering dari handphone-ku, dan telfon pun aku angkat,
ADVERTISEMENT
“Hallo.. gimana Ma..?” ujarku.
Terdengar suara rintih dan tersedu-seduh “Aku terlibat kecelakaan, ditabrak dari belakang, ini maba juga kena. Sepeda ku gak bisa distater sama sekali, duh gimana nih..” katanya dalam telfon.
“Sabar dulu Ma”, perasaanku mulai berkecambuk.
Sebenarnya aku benar-benar tak mengerti kejadian seperti apa yang dialaminya di jalan. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Belum sempat kumengatakan kalimat selanjutnya, telfon dimatikan. Di titik ini sebenarnya aku bingung mana yang harus aku dahulukan, apakah tanggung jawab tugas kuliah ataukah rasa setia abdi kepadanya. Embun-embun kepalaku seperti ada yang menyambar. Ketika segala sesuatu yang berhubungan dengan dia, kekuatan selalu datang tanpa tahu sumber penyebabnya.
Saling kontak pun lanjut di pesan Whats App.
ADVERTISEMENT
“Kamu sekarang dimana Ma?” kataku.
“Rambipuji dekat stasiun” balasnya di pesan Whats App. Entah nasib, entah takdir pertemukan kita berdua, rasa khawatir nan tulus, tak ada rekayasa, rasa tertarik layaknya anak manusia kala remaja, lalu tanpa pikir panjang kuputuskan saja menemuinya.
“Aku minta sharelock-nya, otw dah, jan kemana-mana dulu” ujarku.
“Aduh ada petugas lagi, aku takut... tapi aku gak termasuk yang salah sih, tapi sepedaku..” katanya dengan penuh bimbang.
Kemudian, laksana embun yang tersenyum purna, sambil renyah pintal ria gembira, aku meninggalkan ketiga temanku tanpa rasa bersalah. Yang jelas, yang aku paham raut wajah Berlian penuh rasa marah.
“Tunggu Ma, sabar-sabar ini masih di jalan” kataku dipesan Whats App.
“Jangan ngebut pokok, sapa tau sepedaku dibawa ke bengkel terus bisa” katanya seperti optimis. Namun pikiran dan hatinya sebenarnya gelisah hingga tak tahu kalimat seperti apa yang pantas menggambarkannya.
ADVERTISEMENT
Ketika aku sampai di sebuah bengkel di barat Stasiun Rambipuji sesuai dengan sharelock yang diberikan Utma. Aku melihatnya dengan raut wajah penuh rasa gundah, bukan karena hujan tiba, tapi karena masalah yang menimpanya.
“Bagaimana Ma?” kataku waktu menemuinya. Lalu dia menceritakan rangkaian kejadian sebisanya. Dengan terseduh-seduh dia berusaha menahan semampunya. Entah tak terbayang rasa seperti apa yang dirasakannya. Aku mulai membujuk “Ayo cari Hpmu dulu di kampus” kataku. Karena dibengkel dia ditemani oleh seorang petugas lalu lintas, aku bertanya kepadanya;
“Pak, semisal ini ditinggal dulu apakah bisa? Mau cari hpnya dulu di kampus, hpnya hilang” kataku.
“Iya, boleh. Nanti semisal selesai, tolong ambil di Kecamatan Rambi. Boleh minta nomornya?” ujar petugas kepada kita. Utma pun kemudian memberikan nomornya kepada petugas itu. Kemudian kita berdua bergegas menuju kampus.
ADVERTISEMENT
Disela-sela perjalanan aku mengajaknya membeli minum terlebih dahulu. Namun, karena masalah yang dihadapinya, dia berulang kali menolak. Tetap saja aku memaksa untuk membelikannya. Aku berhenti di Indomaret Alun-alun Jember. Aku mengambil dua botol Aqua dingin, kemudian kuberikan kepadanya;
“Ini minum dulu Ma, biar lebih tenang” kataku. Dia hanya membalasnya dengan gelengan kepala. “Yaudah aku taruh di tas dulu” balasku kepadanya. Dan kita berdua pun lanjut perjalanan.
Setibanya di kampus, belum juga turun dari motor, tiba-tiba ada sebuah pesan di grup Whats App kampus bahwa ada yang menemukan handphone-nya;
“Heee.... ketemu” katanya dengan penuh rasa lega.
“Ha.. Ketemu?. Syukurlah” balasku dengan penuh rasa syukur.
Dibalik semua itu, peran sahabatku Floren sangat membantu, dialah yang share pesan yang kubuat ke grup-grup mahasiswa baru. Tak luput aku berterima kasih kepadanya, dan meminta nomor mahasiswi yang tak sengaja menemukan handphone Utma. Kemudian aku langsung menghubungi mahasiswi itu dan mengajaknya bertemu jika kelasnya talah usai. Rasa sumringah, gembira dan lega menembus luasnya cakrawala. Dia pun akhirnya memutuskan untuk sholat terlebih dahulu di Masjid Universitas Jember karena memang waktu menunjukkan pukul 12.30.
ADVERTISEMENT
Seusai sholat, kita berdua merilekskan diri dengan menikmati air minum yang telah sebelumnya di beli. Tak lama dari itu, ada pesan Whats App dari petugas lalu lintas;
“Mbak ini motornya sudah bisa diambil” ujarnya.
“Terima kasih pak, sebelumnya habis berapa ya di bengkel tadi?” saut Utma.
“Tidak perlu, tidak usah dipikirin mbak” balas petugasnya. Sontak hal ini membuat Utma merasa tambah lega. Entah keberuntungan apa yang dia dapatnya di hari itu.
Ketika handphone sudah diambil dan tak lupa mengucap rasa terima kasih kepada mahasiswi yang telah menemukannya. Kita berdua bergegas ke Kecamatan Rambipuji untuk mengambil motornya. Sesampainya, Utma berbincang-bincang ringan dengan petugas dan seorang bapak-bapak seusia 50-an tahun dan aku hanya mendengarkannya. Tak begitu lama bapak tersebut yang tak kuketahui namanya memberikan sebuah pertanyaan yang tidak pernah kusangka-sangka;
ADVERTISEMENT
“Ini pacarnya?” tanya bapak tersebut kepada kita berdua. Sontak kita berdua menolak statement tersebut.
“Bukan pak, cuma teman” jawabku sambil tersenyum. Namun sebenarnya dalam hati kuberkata;
“Meskipun Sang Mahakuasa punya rencana berbeda dengan harapan berdua. Seperti kita semua percaya, inilah misterinya. Aku suka imajinasimu pak”.
Seruput demi seruput kopi kunikmati. Tak terasa usai habis sudah segelas kopi dari warung yang kubeli dari seorang pelayan cantik bak bidadari. Aku merenung kembali, entah perasaan gundah gelisah seperti apa ini yang kurasakan dikala telah usai merenungi kisah-kisah balada bersama Utma. Aku tak tahan akan senyumnya, tak tahan akan tawanya, tak tahan akan manisnya. Aku memutuskan memberanikan diri bertemu dengannya malam ini, lewat sebuah pesan singkat di Whats App, aku mengajaknya;
ADVERTISEMENT
“Oiii Maa.. nanti keluar yok” tanyaku. Namun pertanyaan ini baru dibalasnya dua hari sedari pertanyaan ini terkirim. Sudah biasa dengan sikapnya yang tak suka membalas pesan-pesan Whats App yang tidak penting.
“Keluar kemana?” tanyanya balik. Ketika itu kebetulan aku juga membuka Handphone dan langsung membalas pesannya.
“Terserah dah, ngopi juga boleh. Nuansa gass lahh” jawabku.
“Boleh, tar malem?”. Dan aku pun mengiyakannya.
Malam pun tiba. Sesampainya di Nuansa aku bergegas duduk menunggu kedatangannya. Tak berselang lama datang seorang nona jelita dialah Utma. Terang gilang gemintang tanda betapa suci hatinya, betapa terang isi hatinya, betapa benderang inti nurani. Adalah tak nalar logika dengan mata seindah kejora. Jika mata seindah kejora, maka nurani jiwa tentulah berbinar terang riang laksana sinar surya. Itulah yang dirasakan pria yang lama gundah gulana karena telah lama tak berjumpa pujaan tercinta.
ADVERTISEMENT
Entah kenyamanan apa yang kurasa. Diiringi live music akustik menjadi semarak mesra berbunga-bunga. Bersamanya terasa gembira, walau yang dipesan tetap sederhana, karena di mana dia ada, semua senang sejahtera. Suasana seperti ini membuatku ingin meluapkan rasa-rasa yang terpendam jauh di lubuk hati. Meskipun aku tahu dia tidak akan berpacaran dan aku juga tidak ingin berpacaran, sekiranya dia memberikan keyakinan bahwa aku sedang menunggumu dan sebaliknya kamu sedang menungguku, tidak seperti penjepit baju yang dipakai dikala butuh.
Di bawah tatapan mata cemerlang pindai lampu-lampu Nuansa, bicara jadi mudah jadinya, terlihat jelas bersedia untuk menjawab apa saja, sepertinya tak ada rahasia, dan aku pun akhirnya berani mengungkapkannya;
“Apakah kamu bersedia untuk menjadi orang yang sekiranya bisa menemani di kehidupanku nanti?” tanyaku seraya menatapnya penuh dengan rasa percaya.
ADVERTISEMENT
Dia terdiam sejenak memikirkannya, dan tibalah saatnya dia membalas... Namun, Tiba-tiba terdengar suara yang tak asing didengar oleh telinga. Suara nan indah, penuh dengan harapan surga yang mengagetkanku dikala mesra.
“Leee..... Tolong ambilkan hanger baju di kamar..!” teriak ibuku.
Sontak aku terbangun dari tidurku. Aku menggosok mataku beberapa kali dan mencoba menatap penuh konsentrasi. Aku sadar bahwa nongkrong menikmati pantai dikala senja ditemani segelas kopi adalah sebuah mimpi.
Sesaat aku melamun membayangkan kisah antara bapak dan anaknya berusia 5 tahun yang sedang bermain bersama.
“Dor, dor, dor...” kata anak dengan melipat jarinya menyerupai pistol.
“Argggg... aku masih belum mati nak” balas bapak.
“Jurus... api....” seraya seperti wizard yang tangannya melontarkan bola-bola api.
ADVERTISEMENT
“Arggg..” balas bapak dengan gulung-gulung dilantai. Namun kemudian bapak membalas “Sekarang giliranku nak!. Rasakan jurus bom atom yang menewaskan lebih dari 170 juta jiwa dan diantaranya anak-anak seusiamu, yhaaaaaaa bummm....... hahahaha” ketawa bapak dengan puas.
“Tidak mempan, tidak mempan” balas anak dengan ekspresi menyepelekan.
“Jurus... bola-bola black hole yang tidak satu pun cahaya bisa lepas darinya, Bummmmm” balas bapak.
Lagi-lagi ekspresi menyepelekan si anak terlihat dan berkata, “tidak mempan, tidak mempan...”.
Bapak pun meyakinkan semampunya kepada si anak bahwa jurus yang dipakainya tidak ada yang bisa mengalahkannya, “Terus apa nak, terus apa yang bisa mengalahkanmu?. Ini black hole nak.. Black hole..! gak ada yang bisa lepas da....”. Spontan tiba-tiba si anak menyela pembicaraan bapak;
ADVERTISEMENT
“Jurus... petir..!”
“Arggg...” seraya bergulung-gulung kembali dilantai. “sudah nak, bapak capek” ujar bapak.
“Tidak ada yang bisa mengalahkan imajinasi pak” balasnya dengan penuh puas.
Di lain hari, ketika bapak melihat si anak lagi asyik menonton Tik Tok. Kemudian, bapak mengajak anaknya untuk bermain lagi. “Ayo nak pertempuran kita belum selesai” kata bapak.
Lagi-lagi ekspresi menyepelekan dari raut wajah si anak pun terlihat. Dan bapak pun juga langsung memberikan jurusnya yang terbaru “Jurus... saatnya belajar, sudah sore waktunya mengaji” sambil mengambil handphone yang berada di genggaman si anak.
Refleks si anak akhirnya menangis dengan bergulung-gulung dilantai melebihi bapak yang kalah ketika bertempur melawan anaknya di hari-hari sebelumnya. “Ternyata jurus imajinasimu mudah sekali kalah dengan jurus realita, hahahaha....” balas bapak dengan penuh kepuasan.
ADVERTISEMENT
Suara surga kembali membangunkanku dari lamunan.
“Kok lama Lee... cepet mana hangernya, keburu nanti hujan” teriak ibuku.
“Nggeh.. buk” balasku.
Hanya satu kata yang kuingat di waktu itu, “hanger”.