Dari Pentas Hingga Politik: Wacana Nasionalisasi Musik Dangdut Masa Orba 1990-an

Ageng Rachmad
Saya seorang mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidIkan, Universitas Jember.
Konten dari Pengguna
16 Desember 2023 23:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ageng Rachmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kepopuleran Dang Dut era 19-an, Majalah TOP edisi 057, tahun 1976 (Sumber: dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kepopuleran Dang Dut era 19-an, Majalah TOP edisi 057, tahun 1976 (Sumber: dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Negara ini dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitu juga dangdut, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Itulah yang dikatakan oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono pada tahun 1995 di acara HUT RI ke-50.
ADVERTISEMENT
Musik dangdut awalnya dikenalkan oleh Ellya Khadam, seorang penyanyi yang bergabung di sebuah orkes Melayu Kelana Ria pada tahun 1950-an. Sebut saja lagu-lagu yang dibawakannya seperti Termenung, Pergi Tanpa Pesan, Boneka Dari India, dan Djanji, dimana lagu-lagu ini digemari oleh para ibu-ibu di kota.
Pada perkembangannya, ditahun 1970 hingga 1990-an musik dangdut telah berkembang dengan pesat. Indikator ini mengacu pada banyaknya penjualan kaset pita, adanya konser-konser dan banyaknya penggemar musik dangdut. Rhoma Irama dengan grupnya Soneta bersama Rita Sugiarto misalnya, yang pernah mengadakan konser di Manila, Tokyo (1992), Melbourn, dan Timur Tengah. Bahkan majalah Tempo menyebut tahun 1979 sebagai tahun dangdut, sebab di tahun itu dangdutlah yang menguasai pasaran kaset pita. Salah satu artis dangdut yang mendominasi kaset-kaset adalah Rhoma Irama, Elvy Suakaesih dan Nelis Gacita. Artinya, banyak masyarakat Indonesia yang gemar akan musik dangdut, hingga menyebabkan pasaran kaset kala itu meledak sejadi-jadinya.
ADVERTISEMENT
Sejak itulah, tahun 1990-an sikap rezim Orde Baru sangat berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Bahkan Orba saat itu mewacanakan guna menjadikan musik dangdut sebagai musik nasional. Dukungan pertama yang tampak mulanya dari melibatkannya musik dangdut diacara-acara kenegaraan. Salah satunya pada Minggu 29 Desember 1991 dalam acara HUT Kodam Jaya ke-42 dengan tema “Yellow Dinamic Dangdut Fiesta”. Cara ini menghadirkan artis-artis dangdut papan atas seperti Rita Sugiarto, Megi Z, Ona Sutra, Veti Vera, Latif Khan, Masyur S, Evi Tamala, Mega Mustika, Herlina Efendi, Hamdan ATT, Camelia Malik, Dani Akbar, dan tentu saja Rhoma Irama. Dukungan ini membuat hubungan antara dangdut dengan rezim semakin dekat. Berbeda dengan sebelumnya tahun 1970-an hingga 1980-an, dimana lagu-lagu Rhoma Irama banyak yang mengkritik/menyindir pemerintahan Orde Baru. Adanya hubungan baik ini sekaligus menandakan babak baru dalam sejarah musik dangdut.
Basofi Sudirman "Tidak Semua Laki-laki" oleh Abi/kolektor kaset pita
Kegemaran pejabat tinggi rezim Orba secara langsung akan berdampak pada pola musik dangdut dengan pemerintah. Salah satunya mantan Wakil Gubernur Jakarta tahun 1992 Basofi Sudirman. Dimana Basofi melakukan rekaman lagu dangdut dengan judul “Tidak Semua Laki-laki”. Lagu ini laris di pasaran, hingga dikatakan bahwa Basofi memiliki keuntungan dari penjualan kaset lagu tersebut sekitar 400-500 juta. Bahkan Presiden Soeharto pernah mengomentari tantang pandangan pribadinya terhadap musik dangdut yang dikutip dari Majalah Tempo tahun 1922. Soeharto menyebut “Ratyatmu suka dangdut, pemudamu juga suka dangdut. Jadi ya pantas saja kalau kamu juga nyanyi dangdut”.
ADVERTISEMENT
Satu lagi dukungan pemerintah terhadap musik dangdut, ketika Eddy Sud (anggota Tim Asistensi DPP Golkar Dibidang Seni Budaya) yang diundang ke Festival Lagu Pop Internasional di Chile Februari 1994. Eddy malah mengirimkan artis dangdut, bukannya menyesuaikan dengan tema Festival. Eddy menyebut lagu Pop bukanlah lagu Indonesia, aslinya milik Amerika, sementara musik milik Indonesia adalah dangdut, apa yang menjadi milik kita, itulah yang harus ditonjolkan.
Lantas, keuntungan apa yang di dapat oleh rezim Orba atas adanya wacana nasionalisasi musik dangdut dan segala sikap yang ditonjolkan pemerintah?
Di bidang ekonomi, sumbangan musik dangdut terhadap keuangan rezim Orba sangat besar. Sebelum 1992 pemerintah menetapkan pajak Rp 100 per kaset yang terjual. Kemudian pada 1992 jumlah pajak dinaikkan menjadi Rp 200 per kaset terjual. Itje Trisnawati misalnya yang pernah mampu menjual 1 juta kaset di tahun 1989 melalui lagu ciptaan Mutbar B., berjudul “Duh Engkang”. Jika dihitung Rp 100 × 1.000.000 = Rp 100 juta (atau sekitar satu Miliar untuk uang sekarang). Angka tersebut masih satu musisi, belum musisi-musisi yang lain seperti Rhoma Irama dan Elvi Sukaesih.
ADVERTISEMENT
Di bidang politik, sebelum 1996 Rhoma Irama identik dengan musisi yang tidak searah dengan rezim Orba. Namun pada 1996, ia memutuskan menjadi pendukung Partai Golkar. Wawancara yang dilakukan oleh Derta Arjaya bersama Rhoma Irama pada 6 Februari 2015, Rhoma Irama mengaku ia bergabung ke dalam Golkar semata-mata karena Allah. Ia menganggap semua partai sama (1983) sudah berasaskan Pancasila. Apabila pada 1977 Rhoma Irama memutuskan bergabung dalam Partai PPP sebab alasan Islamnya, maka keputusannya untuk bergabung dalam Golkar juga karena Islamnya. Ia menambahkan bahwa keputusan untuk bergabung ke dalam Golkar bukanlah sesuatu yang instan dan baru terealisasikan pada 1996. Ia menganggap Golkar lebih Islam daripada PPP, buktinya banyak dukungan pemerintah Orba untuk membangun masjid-masjid di berbagai daerah dan ia menambahkan bahwa memperjuangkan Islam melalui partai yang berkuasa adalah jauh lebih efektif.
ADVERTISEMENT
Jika dipandang dalam sudut pandang lain, fungsi dan bergabungnya artis dangdut dipanggung kampanye Golkar yaitu sebagai daya tarik rakyat Indonesia. Tidak hanya Rhoma Irama yang bergabung ke dalam Golkar, musisi seperti Camelia Malik, Evi Tamala dan Ike Nurjanah juga mendukung Golkar dengan menaiki panggung-panggung kampanye Golkar.
Secara singkat adanya wacana nasionalisasi musik dangdut 1990-an nyatanya menunjukkan simbiosis mutualisme antara rezim Orba dengan musisi dangdut. Lebih dari itu, adanya wacana ini memberikan warna baru bagi sejarah musik dangdut dimana dalam perkembangannya semakin meningkat hingga memunculkan musisi-musisi baru. Sehingga eksistensi musik dangdut dapat dirasakan hingga saat ini.
Referensi
Arjaya, Derta. 2016. “Dangdut dan Rezim Orde Baru: Wacana Nasionalisasi Musik Dangdut Tahun 1990-an”. Lembaran Sejarah. Volume 12 Nomor 1 (April 2016), Pg 22-35.
ADVERTISEMENT
“Basofi Soedirman, Pak Harto Memberi Komentar”, Tempo, No. 28, Tahun XXII, 22 September 1992.
“The Day of the Dangduts”, Tempo, No. 10 Thn. IX 5 Mei 1979.