Filsafat Spengler: Kharismatik yang Tersendentralisasi, Masa Depan Indonesia

Ageng Rachmad
Saya seorang mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidIkan, Universitas Jember.
Konten dari Pengguna
2 Oktober 2023 7:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ageng Rachmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi melihat masa depan Indonesia menggunakan filsafat Spengler (sumber: dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi melihat masa depan Indonesia menggunakan filsafat Spengler (sumber: dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oswald Spangler merupakan seorang filsuf abad 20 dari Jerman. Ia terkenal karena karya-karya pemikirannya psimitif terhadap peradaban barat yang termuat dalam bukunya berjudul "The Decline of the West" hingga dijuluki nabi malapetaka. Karya-karya Spangler memberikan sumbangsih besar terhadap pola gerak sejarah, khususnya filsafat sejarah. Berkat intuisi dan kecerdasan intelektualnya berbagai ramalan Spangler terbukti benar, seperti ramalan Perang Dunia 1 dan Perang Dunia 2.
ADVERTISEMENT
Namun, setelah ia meramalkan akan terjadinya Perang Dunia 2, ia wafat pada 8 Mei 1936. Sebelum wafat, ia telah menulis sebuah surat dengan nada sedih "Saya dapat melihat ke depan secara jelas, namun saya merasa lebih kesepian daripada sebelumnya, bukan seolah-olah saya berada diantara orang-orang buta, malainkan diantara orang-orang dengan mata berbalut sehingga mereka tidak dapat melihat runtuhnya rumah mereka" (Purwo Husodo: 2018). Lantas, bangaimana cara Spangler melihat masa depan?
Spangler dalam melihat masa depan dapat diterapkan menggunakan metode fisiognomik yang memandang dunia sebagai sejarah. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan simpatik, observasi, komparasi, penghayatan batiniah, dan kecakapan intelektual. Di mana hal ini merupakan cara untuk memahami dunia melalui fisi intuitif dan penggunaan analogi.
Ilustrasi keterkaitan Panji Gumilang terhadap masa depan Indonesia dalam kacamata filsafat Spengler (sumber: dokumen pribadi)
Masa Depan Indonesia
ADVERTISEMENT
Kuntowijoyo (2013) dalam bukunya “Pengantar Ilmu Sejarah” mengatakan Peacock dan Kirsch di abad 21 meramalkan adanya proses transendentalisasi (menembus atau melampaui) yang dialami oleh agama. Salah satunya masalah booming saat ini soal Panji Gumilang atau Al-Zaitun. Panji Gumilang dalam hal ini menjadi sosok kharismatik yang tersendentralisasi. Menurut Daniel Lucas, sendentralisasi merupakan usaha manusia untuk melepaskan diri dari ikatan atau keterbatasan naturnya (alamnya). Ia sadar bahwa diluar dirinya ada keberasaan lain yang lebih tinggi dan lebih sempurna. Tapi realita hidup nyatanya tidak seindah apa yang dibayangkannya. Dari sinilah ia memikirkan harus ada jalan keluarnya.
Namun, yang menjadi masalah adalah manusia telah menggunakan segala potensinya yang didorong membentuk berupa pemikiran, kesimpulan serta pandang semesta (padahal sebenarnya pikirannya tidak mampu). Dari sinilah muncul berbagai kebenaran yang memutlakkan diri di dalam kerelatifan, rasio (perbandingan) yang bersimarahaja atau bahkan keyakikan yang berubah menjadi fanatisme.
ADVERTISEMENT
Apabila proses ini berlangsung lama terhadap diri atau seseorang maka akan melahirkan isme baru atau aliran (sekte), misalnya kecenderungan menghasilkan kebiasaan baru yang tidak selaras dengan konsep Islam sesungguhnya, seperti yang terjadi di Al-Zaitun. Mengambil satu contoh di Al-Zaitun terdapat sholat berjamaah yang dicampuradukkan shaf laki-laki dan perempuan (tidak ada pembatasnya) dan perempuan dapat menempati shaf paling depan meskipun ada seorang laki-laki atas dasar kesetaraan. Lebih dari itu, Panji Gumilang berani mengganti lirik lagu Indonesia Raya.
Ia percaya tuhan itu satu. Namun tuhan satu ini dianggap seperti pembuat jam, tidak lagi maha kuasa, sebab kerja dunia sudah diserahkan pada hukum-hukumnya sendiri. Lebih gampangnya, jika diskenariokan Panji Gumilang mengatakan Al-qur’an adalah kalam Nabi Muhammad (meragukan Al-qur’an adalah kalamullah atau firman Allah). Dikatakan dalam buku Kuntowijoyo, “pembuat jam” dalam hal ini itu mati. Tinggallah agama God is dead, yang ada hanya satu kesadaran kosmis (keterkaitan antara manusia, alam dan semesta).
ADVERTISEMENT
Apakah hal ini cerminan dari pengalaman Panji Gumilang? Jika pun pengalaman seseorang, tidak ada pengalaman seorang pun yang menjadi patokan menggantikan firman tuhan. Justru sebaliknya, segala bentuk pengalaman serta fenomena dapatlah diteliti melalui prinsip dasar firman tuhan yang tidak pernah berubah. Jika kenyataan memang terjadi “demikian” maka akan menjadi sebuah kepahitan dan kehancuran bagi masa depan. Perlu digaris bawahi, transendentralisasi merupakan pekerjaan rumah kaum bangsawan.
Apakah Indonesia di tahun 2045 masih bertahan? Mengambil kata-kata dari Kutowijoyo “Tidak seorang pun mengetahui masa depan, termasuk sejarawan. Bahkan masa lalu dan masa kini hanya sebagian yang diketahui ilmuwan. Oleh karena itu, sejarawan harus pandai mengucapkan: Tuhan lebih mengetahui apa yang sebenarnya, wallahualam bissawab” (Kuntowijoyo: 2013).
ADVERTISEMENT
Sumber
Kutowijoyo (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. pg 166
Husodo, Purwo (2018). "Keruntuhan Peradaban Barat Menurut Oswald Spengler". Analisis Sejarah. Volume 7 Nomor 1. pg 177