Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Manis Seperti Rambutan
27 Juni 2024 12:17 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Ageng Rachmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
12 November 1954
Orang-orang memanggilku Yono. Di umur ke 21 tahun ini aku menempuh jenjang sarjana I di Universitas Gadjah Mada Jurusan Sastra. Sedari semester empat yang lalu, aku memutuskan kost sekamar bersama teman seperjuanganku, ialah Karem. Seorang sahabat yang selalu mau diajak barbasa-basi kesana kamari hingga inti pembahasannya telah benar-benar menjadi basi. Adalah tak mengherankan bahwa jurusan sastra agaknya membahas sesuatu yang di luar akal, memasukkan imajinasi, mitologi, sex, dan bahkan sejarah untuk dimuat menjadi sebuah karangan cerita. Ekonomi yang terhimpit membuatku enggan lagi tidur sendiri di kost yang sebelumnya aku tinggali. Tak cukup untuk mencukupi kebutuhan sebulan, memutar otak memutuskan mengajak sahabat mencari kost yang bisa ditinggali berdua. Berharap mampu meringankan beban di dunia fana.
ADVERTISEMENT
Satu pagi yang cerah. Setiap hari selasa, kamis dan jum’at dari pukul delapan hingga sepuluh pagi adalah waktuku bersama Karem menjaga perpustakaan universitas. Suasana hening, tenang, damai, hanya terdengar suara-suara kertas yang sengaja dibolak-balik. Sehari-hari kesibukannya di dalam perpustakaan hanya melayani mahasiswa yang ingin meminjam buku. Tepat pukul sembilan, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dengan suara ciri khasnya ‘melengking’ karena pintu itu memang sudah tak sepantasnya terpasang lagi. Masuklah seorang gadis berparas sederhana yang kecantikannya bak alami dari Sang Maha Kuasa. Ia tampak seperti orang Arab, hidung mancung, wajah putih bersih, bulu mata yang melengkung ke atas dengan mata yang hitam putih bersinar terang. Cahaya itu lantas membutakanku.
“Tidaklah kau lihat nona itu Rem, Akankah ia terlihat seperti orang Arab?” tanyaku.
ADVERTISEMENT
“Ya.. ia tampaknya bukan asli orang sini, tapi kenapa ia tak memakai cadar jika itu orang Arab”
“Tak semua orang Arab memakainya Rem, memang benar ia tampak bukan orang sini, ia penghuni surga, seorang bidadari yang turun dari kahyangan”
Aku terus memandanginya dari jauh, melihat apa yang ia kerjakan. Hingga pukul sepuluh ia tak kunjung keluar dari perpustakaan. Fokus membaca buku yang entah apa itu bukunya. Waktuku bersama Karem selesai menjaga perpustakaan, beralih ke kelas untuk mengikuti kuliah.
Dalam kelas, pikiranku hanya di isi oleh sosok misterius yang kulihat waktu di perpustakaan. Terselib pertanyaan demi pertanyaan melalui dialog internal yang muncul dalam batin, siapakah dia, akankah nona itu banar mahasiswi dari Arab yang mendapat beasiswa untuk berkuliah di sini yang selama ini beredar rumor di kalangan mahasiswa lain bahwa ada nona baru asal Arab yang berkuliah di jurusan Hukum, benarkah dia? Spontan jawaban lain yang bukan dari jawaban pertanyaan itu tiba-tiba muncul, sudahlah Yono, fokuslah dikelasmu dulu. Karem yang selalu duduk di sampingku melihatku bengong, menginjak kakiku seraya berkata dengan berbisik, “kau memikirkan apa Yon, jangan lagi nona yang datang di perpustakaan tadi. Sedari perjalanan kesini, kau hanya membahas dia saja”.
ADVERTISEMENT
“aku memikirkan kau, orang yang selalu menghancurkan alur pikiranku”.
***
Di hari-hari selanjutnya yakni hari Jum’at, seperti biasa Aku dan Karem menjaga perpustakaan, melayani siapa saja yang ingin meminjam buku. Tepat pukul sembilan, tiba-tiba muncul seorang gadis Arab yang kemarin mereka berdua lihat. Karem menyenggolku seakan memberikan kode bahwa ada sesuatu yang penting dan rahasia, ia berkata dengan berbisik, itu kan nona yang dulu katamu turun dari kahyangan, dan kujawab iya, kau benar.
Karem menoleh ke arahku dengan tatapan curiga, dan kemudian dia berkata, kau suka padanya? Seketika pertanyaan ini mengagetkanku dan membuatku tersinggung, “dengar Rem, jika kau suka, sukailah dia, jangan pula kau menuduhku”. Sontak Karem tertawa kecil dan membalas pernyataanku dengan satu kalimat yang tak akan pernah kulupakan, “tidak ada seorang maling yang mengaku menjadi maling, meskipun kau masih belum menjadi maling hati, hatimu berkata seakan-akan ia akan menjadi maling”. Seketika itu aku diam seribu kata.
ADVERTISEMENT
Pukul 9.36 nona itu mulai mendatangiku dengan membawa dua buku Novel yang akan ia pinjam. Layaknya seperti orang takjub mendengar ucapan dari nona itu, bisakah aku meminjam buku ini tuan? Katanya. Sontak bukannya aku langsung mengiyakannya, tetapi malah memujinya terlebih dulu, “wah bahasa Indonesiamu fasih nona, bagaimana bisa, kau seperti bukan orang sini”, dan ia menjawabnya “ya terima kasih, memang sebelumnya aku telah mengikuti kursus bahasa Indonesia di negaraku”. “baguslah nona, aku jadi tak akan bingung jika ingin bertanya-bertanya tentangmu, bisa lihat buku yang kau pinjam?” kataku. Terdapat dua buku yang ia pinjam, buku itu ialah Priayi Abangan karya Sapardi Djoko Damono dan Kubah karya Ahmad Tohari.
“Buku yang kau baca bagus nona, kau boleh meminjam ini selama satu minggu dari sekarang, jatuh tempo pada Jum’at depan, kau akan bertemu aku lagi. Siapa namamu?”
ADVERTISEMENT
“Alia. Alia Nur Fadilah”
“Alia.. alamatnya?”
“Jika alamat asli negaraku, aku asal kota Abu Sya’rin, disini aku tinggal di Jalan Sendowo Mlati”
“syukran, selamat membaca nona, buku ini bisa kau bawa”. Kemudian ia meninggalkan perpustakaan diiringi senyuman manis dan membalas “syukran ala kulli hadzihil asyya’i”.
Karem yang melihatku saling kontak dengan Alia tertawa kecil seperti mengejek, “kau sepertinya jatuh hati padanya Yon, aku bisa melihat itu, maling tidak akan mengaku menjadi maling”. Aku menanggapinya dengan santai “Tak akan pernah aku menjadi maling, jika pun kau bisa menebakku bahwa memang benar aku jatuh pada bintang itu, aku tak akan mencurinya, tetapi aku akan memintanya”. “kau seperti seorang pengemis”. Lagi-lagi pernyataan Karem membuatku tersinggung, tetapi tak masalah justru aku menganggap teman yang seperti inilah yang baik, blak-blakan ketika kita hanya berbicara empat mata saja.
ADVERTISEMENT
“lebih baik aku terlihat seperti seorang pengemis daripada seorang kriminal” jawabku dengan santai.
***
Hanya di satu tempat, di perpustakaan saja aku bisa melihat Alia. Lain dari itu, nihil seperti lenyap ditelan bumi atau bahkan ia kembali ke kahyangan, entah aku tak tahu. Itu pun tak seluruh hari Alia akan mengunjungi perpustakaan. Ia hanya mengunjungi setiap hari selasa dan jum’at pagi, lain tidak. Minggu lalu Alia telah memperpanjang peminjaman buku, tak sempat membaca satu novel lagi Kubah karya Ahmad Tohari, ia berkata akan menghabiskan buku ini sebelum meminjam buku-buku yang lain. Satu buku telah ia kembalikan. Begitu pun kumenyempatkan diri untuk kontak langsung bersama dia, menggali lebih banyak tentangnya, lebih dari mempertanyakan nama dan alamat saja.
ADVERTISEMENT
Minggu ini, tepatnya pada hari Jum’at, kumelihat Alia sendirian duduk di ruang baca, fokus pada buku yang ia buka dari halaman per halaman. Sejauh ia ke perpustakaan, tak pernah sekali pun ia membawa temannya. Pikirku mungkin saja ia hanya ingin sendirian, tak ingin diganggu oleh siapa pun. Tapi apa salahnya kumencoba tuk menghampirinya, tak sanggup tak akan melihat dia untuk hari-hari ke depan, terlewat dari sabtu hingga senin tanpa melihatnya, ah rindu.
“kenapa kau selalu sendirian nona?”
“teman-temanku selalu sibuk, banyak yang melakukan penelitian. Tak sepertiku yang belakangan ini masih kosong tugas”.
“boleh aku menemanimu nona?”.
“Oh tentu, duduk tuan” balasnya dengan ramah.
Berdua berbasa-basi membicarakan buku yang di sukainya. Membahasnya, menyangkutpautkan dengan kisah mitologi mistis, seseru layaknya menonton film di era-era itu. Siapa sangka, sejak pertemuan ini, aku dan ia seperti semakin dekat. Jauh dari itu, hanya perasaanku saja, aku seperti terperosok semakin jauh olehnya, bak lengket seperti ketan. Setiap ia datang ke perpustakaan sendirian aku selalu menanyakannya, mengapa sendirian lagi, akankah teman-temanmu selalu dibebani tugas yang menggunung. Tentu jawabannya selalu sama seperti dulu-dulu. Meski tak setiap dia ke perpustakaan aku temani duduk bersama, ada kalanya kumencoba sadar diri, takut membuat ia risih. Hanya kupandangi dari mejaku yang jaraknya kurang lebih 20 meter.
ADVERTISEMENT
Sejak menemaninya pada kala pertama, aku telah terbiasa dengan kehadirannya. Memberanikan diri mengajaknya berkeliling mengenal kota tua, menyusuri jalanan yang dulunya menjadi jalan utama yang dilalui orang-orang penting sekelas raja dan priayi (sekarang Malioboro). Sekedar mencari angin segar, hanya membeli dua bungkus cilok dan ditemani es teh untuk dinikmati di malam yang tak biasa ini.
Karem yang sebelumnya telah kuceritai bahwa malam nanti aku akan keluar bersama Alia ke Malioboro, membuatnya geleng-geleng kepala. Tak menyangka kutelah memberanikan diri mengajaknya keluar, tetapi yang dipersoalkan bukanlah masalah itu. Karem tahu batas dari kemampuan ekonomiku, yang ia pikirkan ialah apa yang akan kau belanjakan, untuk makan bulananmu saja sudah dirasa kurang, tidur saja masih tidur bareng, yang benar saja kau Yon. Mendengar pesan dari Karem, membuatku sedikit psimis untuk mampu mendekatinya. Dengan penuh rasa jujur kumenjawabnya bahwa cinta itu tak munafik, cinta itu tak dusta, cinta tak memandang materi, cinta murni datangnya dari hati, kubelanjakan saja jajanan kecil yang kurasa mampu untuk membelanjakannya.
ADVERTISEMENT
“dasar memalukan kau yon”
“tak ada yang dipermalukan jika soal realita, memberikan sesuatu yang aku mampu, itulah yang menurutku baik”
Cilok yang dibeli telah menemani gemerlapnya jalanan Malioboro bersama dua orang, satu di antaranya telah terperosok jauh masuk ke lubuk hati. Untungnya cilok ini memberikan kesan baru bagi Alia. Tak pernah sekalipun sebelumnya ia mencoba jajanan ini, tentu membuatnya spesial.
Malam itu, keramaian kota di isi dengan kebisingan suara-suara kereta kuda, suara-suara basa-basi orang yang berjalan berlalu-lalang, suara-suara bel becak yang berjalan memutari Malioboro, membuat sedikit sulit untuk fokus membahas topik yang sekiranya menarik untuk dibahas, buntu, benar-benar buntu. Aku mulai bercerita kepadanya bahwa aku sedikit sulit untuk bisa berbincang-bincang secara langsung, terkadang tak mampu mencari topik pembahasan menarik. Seraya tersenyum seperti sedia kala waktu ia meminjam buku untuk pertama kalinya, senyumnya manis dan berkata “Tak perlu kau mengkhawatirkan tentang hal itu, itu sudah menjadi hal yang lumrah terjadi, yang dipikirkan bukan soal omongan saja kan, tapi soal kebersamaan, justru orang yang banyak omong terkadang omongannya tak banyak bisa dipercaya”.
ADVERTISEMENT
“bolehkah aku mengirim surat ke dirimu jikalau pada waktu-waktu tertentu tak datang di perpustakaan. Kau hanya datang dua kali selama seminggu” tanyaku kepadanya. “tentu boleh, memang apa yang ingin kau tulis?”.
“soal kabar”
***
Beberapa hari setelah itu, aku mulai menulis satu surat untuknya. Tentang novel-novel terbitan anyar yang baru saja disediakan perpustakaan. Surat balasan telah aku terima, kumencoba membuka amplop surat dengan perlahan, memastikan tak ada bagian yang sengaja robek. Segitunya aku menjaga barang-barang yang datangnya dari dia. Beberapa tulisan ditulis menggunakan bahasa Arab gundul.
24 Desember 1954
السلام عليكم
Semoga kau selalu dalam lindungan Allah Swt, Aku telah membaca surat darimu. Terima kasih telah memberikan informasi yang sejatinya menarik untukku, kau tahu aku suka membaca, beberapa buku telah aku pinjam dari perpustakaan yang kau jaga, aku telah membacanya seluruhnya. Tapi maaf, minggu depan aku tak pergi ke perpustakaan karena ada penelitian lanjutan dari dosen yang harus segera aku selesaikan. InsyaAllah jum’at lusa aku mengunjunginya lagi. Tolong carikan saja novel yang isinya tentang ketimpangan hukum. Mungkin ini saja yang bisa aku tulis dari surat ini, terima kasih telah membantu. Jikalau kau bisa menemukan novel yang aku cari, artinya kau telah membantu penelitianku.
ADVERTISEMENT
شكرًا لك
Alia
Tanpa pikir panjang aku mulai mencari buku yang sesuai apa yang ia katakan. Satu jam mencari buku-buku yang dimaksud, tak ketemu, bertanya ke Karem, ia pun tak tahu juga. Hingga pada akhirnya teringat satu novel karya Pramodya Ananta Toer ‘Bukan Pasar Malam’ yang diterbitkan tahun 1951. Buku ini segera aku cari di rak pojok utara, bagian etalase tengah, karena sebelumnya aku telah selesai membaca buku ini dan kukembalikan di sini. Ketika buku telah kuketemukan, tak kuletakkan buku ini di rak, melainkan di laci tempat kerjaku agar tak seorang pun bisa meminjamnya sebelum Alia datang.
***
Jum’at lusa pun akhirnya tiba. Suasana hening dalam perpustakaan, hanya terdengar bunyi-bunyi lembaran kertas yang dibolak-balik. Alia datang seorang diri, menyapaku dengan senyumannya yang manis. Seminggu lebih kutak memandang wajahnya. Membuatku seketika canggung tak tahu mau berbuat apa, salah tingkah, tertawa kecil namun riang layaknya seperti anak-anak yang diberikan mainan baru, aku seperti seorang idiot. Karem yang melihatku salah tingkah, membuatnya tertawa dan memberikan satu jokes ala bapak-bapaknya, “lihatlah kipas itu, dia bisa bikin angin, kalo di depanmu Yon, bisa bikin kangen”. Tak kugubris ucapan dari Karem. Aku hanya ingin memberikan novel yang ia inginkan untuk penelitian.
ADVERTISEMENT
“selamat pagi nona, aku telah membaca balasanmu. Telah aku temukan satu novel yang kau cari, Bukan Pasar Malam karya Pramodya, kau bisa meminjam buku ini” kataku.
“terima kasih tuan, kau telah membantuku”
“boleh aku menemanimu di sini, kau sedang cari buku apa”
“tidak ada, kau sudah menyediakannya, temani saja aku di meja situ”
Di meja bagian pojok, aku dan Alia membahas novel yang telah kuketemukan itu. Lepas dari novel, perbincangan berdua melesat di luar jalur akademik, yang sejatinya tak terlalu penting.
“dulu kau mengatakan asal kota di negaramu adalah Abu Sya’rin, teringat dosenku dulu pernah membahas soal nama buah yang serapannya dari bahasa Arab, artinya rambutan. Bagaimana bisa kota-kota di Arab yang tandus kering bisa dinamai buah-buahan” tanyaku.
ADVERTISEMENT
“agaknya kau lupa cerita nabi Ibrahim tuan, tanah yang semula kering tandus, berkat doa dari Nabi Ibrahim menjadi berlimpah buah-buahan”.
“ohh ya, aku pernah mendengar itu, agaknya wajahmu juga berkat nabi Ibrahim, manis seperti rambutan kotamu”. Seketika mendengar kalimat itu, ia tertawa dan tak terlalu menganggapnya serius.
***
Beberapa bulan telah berlalu, akhir dari semester lima kali ini telah di depan mata. Berpuluh-puluh surat telah aku berikan kepadanya. Seluruhnya telah ia jawab, kecuali satu. Surat itu kuberi nama ‘cahaya’. Telah menyesal kumemberikannya surat itu. Tetapi tanpa itu, bagaimana bisa aku mendapatkan kabar dan kepastian. Akhir semester akan telah usai, ia pun akan kembali ke negara asalnya. Tanpa kabar, tanpa kepastian. Karem mencoba menyadarkanku.
ADVERTISEMENT
“tenang saja Yon, kau masih bisa menunggu jawaban pesan itu. Kau jangan pernah berharap kepada manusia, berharaplah hanya kepada Allah, dengan itu kau tak akan merasa sakit. Sebab Allah tak akan menyakiti hamba-hambanya, justru manusialah yang menyakitinya. Sabar yon, sabar..”.
“kau tahu cerita keindahan Rangganis Sang Putri Rem?”
“Tidak” katanya.
“dia lebih indah dari itu. Kau tahu cerita keindahan Diah Pitaloka yang mampu membuat perang Majapahit dan Pajajaran?”
“Tidak”
“dia lebih indah dari itu. Kau tahu keindahan Helana yang mampu membuat perang Troya”
“Tidak”
“dia lebih indah dari itu, dia lebih indah dari siapa pun. Kata ‘tidak’mu agaknya pantas menggambarkan secara tersirat akan jawaban yang tak kunjung pernah kugenggam”. Karem pun menyangkal pernyataanku, “tidaklah begitu yon, orang Arab tak mau didekati dan menebar kisah-kisah romantis di luar nikah. Datanglah langsung, lamarlah langsung jika kau berani. Yang terpenting sekarang perbaiki ekonomimu, perbaiki dirimu. Bukannya mengajak keluar hanya dibelikan cilok dan es teh. Egomu besar, lihatlah realitamu. Realitamu sebenarnya lebih besar dari egomu itu”.
ADVERTISEMENT
“kau benar Rem, kubuktikan kesungguh-sungguhanku ini. Jikalau semua kurasa siap, sejauh samudra menjadi pembatasnya, kan kuarungi samudra itu demi mendapatkan dia semata”.
“apa yang kau ingat tentang dia saat ini”
“manis seperti rambutan, doa dari nabi Ibrahim”.