Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Matinya Pemakar
3 November 2024 11:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ageng Rachmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Termenung di tengah malam kala itu membuatku sadar, tak hanya memikirkan sosok pujaan, suara-suara token listrik sekarat, dan beban kuliah yang kata orang di sekitarku disebutnya sebagai “tugas ibu”, kian tak henti-hentinya menghantui.
ADVERTISEMENT
Terlentang di atas kasur didampingi dengan dua istri belandaku, merenung memikirkan apa saja yang telah kualami dari pagi hingga menjelang petang hari itu, seakan menjadi momen yang pas tentang memaknai apa yang sebenarnya terjadi di masa ini.
Dari momen salah satu temanku yang memberikan rekapan/list pertanyaan-pertanyaan dari Chat GPT yang tujuannya untuk diajukan kepadanya guna mempermudah proses diskusi presentasi nantinya dan dari momen kecanduanku terhadap video pendek (reels) yang terus menguras dan mendangkalkan pikiran penikmatnya.
Seakan dengan merenung momen-momen ini, kita mendapat satu kesimpulan yaitu tentang kemajuan.
Kemajuan tak lepas dari proses sejarah dan budaya. Dalam mitologi Yunani misalnya, seorang tokoh bernama Prometheus, si pencuri api dari dunia dewa (kuil Zeus) dan dibawanya ke dunia manusia, telah diceritakan berhasil membuat sebuah kemajuan peradaban hebat yang mampu memberi manusia ilmu keterampilan menempa logam. Adanya api, manusia tak takut lagi dengan dunia luar. Mereka mulai keluar dari goa, ibarat gerombolan semut berbondong-bondong keluar dari sarangnya.
ADVERTISEMENT
Di Abad pertengahan yang dalam sejarah disebut sebagai masa Renaisans (abad ke 15-16), telah menjadi pionir lahirnya kembali kemajuan peradaban manusia setelah ditemukannya kembali naskah-naskah kuno peninggalan Yunani-Romawi. Terlihatlah betapa pentingnya membaca sastra, betapa pentingnya membaca sejarah dan filsafat, sehingga mampu menghasilkan tokoh-tokoh besar yang berpengaruh seperti Galileo Galilei dengan temuan teleskopnya, Nicolaus Copernicus dengan teori Heliosentris-nya, atau Leonardo da Vinci dengan lukisan Mona Lisa dan sketsa The Flying Machine-nya.
Semua itu dinamakan kemajuan. Jika kita berbicara tentang ide kemajuan, ada sebuah ungkapan dari seorang ilmuan dan matematikawan Prancis bernama Pierre Simon Laplace;
“Bayangkan suatu kecerdasan yang pada saat tertentu dapat mengetahui semua daya yang menggerakkan alam dan kedudukan semua wujud yang menyusun alam. Jika kecerdasannya juga cukup besar untuk menganalisis data itu, ia akan merangkum dalam satu rumusan tunggal pergerakan benda-benda di alam semesta, baik yang terbesar maupun atom-atom paling kecil. Bagi kecerdasan seperti itu tidak ada yang tidak pasti, dan masa depan seperti juga masa lalu akan hadir di depan hidungnya”.
ADVERTISEMENT
Ketika membaca kutipan Laplace, bayangan-bayangan yang ada dalam benak kita adalah soal mesin-mesin cerdas semacam smartphone, komputer, Artificial Intelligence, data raya yang erat kaitannya dengan teknologi masa kini.
Kemajuan teknologi semacam itu, telah memberikan dampak terang-terangan bahwa kita sudah mencapai fase ketergantungan. Diriku sendiri misalnya, sehari mampu meluangkan waktu 4 jam bahkan lebih untuk menonton konten-konten tak faedah di Instagram. Bangun tidur saja, hal pertama yang kita cari, lihat dan pegang adalah smartphone, bukan buku atau benda-benda lain. Tambah lagi kejadian ketika salah satu temanku yang memberikan list pertanyaan tentang materinya yang di dapat dari Chat GPT. Hal ini menandakan bahwa kemajuan teknologi telah mampu membuat para penikmatnya menjadi malas dan lebih suka hal yang instan.
ADVERTISEMENT
Kemalasan ini berdampak terhadap segala aspek keseharian kita, dari yang awalnya sering membaca buku, kini lebih sering scroll reels di Tik Tok dan Instagram. Dari yang awalnya sering berdiskusi dan mencari jawaban-jawaban dari artikel-artikel ilmiah, kini lebih sering mencari jawaban dari video-video opini konten kreator di You Tube yang belum tentu benar akan keabsahannya.
Hal ini ialah sebuah situasi yang menandakan matinya kepakaran.
Seorang psikolog asal Amerika, Rollo Reese May pada tahun 1960-an telah memprediksi bahwa akan tiba suatu masa dimana anak muda akan mudah sekali menemukan kepastian dunia eksternal. Saat itu terjadi dengan bantuan teknologi, maka anak muda akan mengalami kegelisahan yang luar biasa.
Kegelisahan ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama tidak ada ruang bagi misteri sebab semua telah disajikan oleh internet, dia tidak bertanya-tanya tentang alam, tidak bertanya-tanya tentang dirinya sendiri sebab telah teralihkan pandangannya oleh konten-konten tak faedah yang kaya diberanda mereka; kedua dia tidak sanggup untuk mendengarkan suara dari dirinya sendiri, tidak bertanya-tanya tentang sains dan misteri-misteri alam.
ADVERTISEMENT
Alih-alih pemangku kebijakan menginginkan generasi yang "seperti itu", nyatanya mereka mendukung satu statement, semua kalo bisa menjadi konten kreator saja. Maka benar kata Tom Niclos, “The Death of Expertise” bahwa yang paling sering didengar sekarang adalah influencer.
Rollo May telah memperingatkan kita tentang bahaya ketika suara yang paling keras menggantikan suara yang berpengetahhuan. Di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, penting bagi kita untuk tetap terus mencari, mendengar, dan menghargai mereka yang benar-benar ahli. Jangan sampai kepakaran tersingkir oleh sekedar opini.