Popularitas Becak Sebelum Ninja Dua “Tak”: Yogyakarta 1950-an hingga 1970-an

Ageng Rachmad
Saya seorang mahasiswa aktif Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidIkan, Universitas Jember.
Konten dari Pengguna
26 Desember 2023 11:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ageng Rachmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kang Becak di Stasiun Tugu Jogja oleh M. Dian Riski Martado/Mahasiswa Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kang Becak di Stasiun Tugu Jogja oleh M. Dian Riski Martado/Mahasiswa Jogja
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dinamika sejarah kota sering kali diperoleh dari golongan menengah atas. Tentunya hal ini akan menghilangkan banyak fenomena perkotaan yang sebenarnya terjadi dan dialami oleh orang-orang golongan menengah ke bawah. Studi penulisan sejarah tentang golongan menengah ke bawah sering kali fokus pada masyarakat kampung dan konflik-konflik agraria. Tetapi sebenarnya, penulisan sejarah menggunakan sudut pandang orang-orang menengah ke bawah bisa dikaji dilingkungan perkotaan, salah satunya di jalanan. Tulisan ini akan mengangkat fenomena becak yang menjadi alat transportasi sentral kota Yogyakarta pada tahun 1950-an hingga 1970-an.
ADVERTISEMENT
Periode antara 1950 hingga 1970-an merupakan periode dimana kota-kota di Jawa mengalami urbanisasi. Urbanisasi masyarakat desa ke kota disebabkan oleh deindustrialisasi di daerah pedesaan. Deindustrialisasi pedesaan disebabkan perubahan tata kelola ekonomi kolonial khususnya bidang pertanian, industri gula yang mengalami kehancuran pada masa Jepang dan Revolusi.
Perlu diketahui bahwa Yogyakarta merupakan kota Vorstanlanden; pusat industri gula, pertambangan dan tembakau yang di bawah kuasa modal asing. Sedangkan, masyarakat desa Yogyakarta dominan adalah buruh. Mereka yang tidak memiliki tanah garapan (menganggur) akan sulit memenuhi kebutuhan keseharian mereka dan ini tidak sedikit jumlahnya, sehingga mereka terpaksa mencari pekerjaan di luar tempat tinggalnya. Pada akhirnya, deindustrialisasi pedesaan ini mengakibatkan deteritorialisasi desa-kota yang mendorong adanya pencarian pekerjaan baru, khususnya pada bidang jasa di perkotaan. Dari sinilah cikal bakal kota sebagai kerangka “harapan baru” mulai terbentuk.
ADVERTISEMENT
Data populasi dari Badan Pusat Statistik tahun 1950 hingga 1970 menunjukkan tren jumlah penduduk tinggal di kota dibandingkan pedesaan didominasi oleh penduduk yang tinggal di kota. Garis berwarna biru adalah jumlah penduduk yang tinggal di kota dan garis warna hitam adalah jumlah penduduk yang tinggal di desa. Tabel tersebut menunjukkan peningkatan tiga kali lipat lebih masyarakat memilih menjadi penghuni kota.
Setelah kemerdekaan, terjadi pembludakan masyarakat desa yang berbondong-bondong bermigrasi ke kota. Pola pekerjaan masyarakat ini semakin lama menunjukkan pola produksi dan konsumsi yang seragam. Masyarakat desa yang awalnya terbiasa bekerja di sektor pertanian atau perkebunan kini harus terbiasa dengan industri jasa. Diantara beberapa pekerjaan di sektor informal yang ditawarkan di kota Yogyakarta adalah tukang becak, dimana kala itu sebuah peluang menjanjikan bagi para pencari kerja.
ADVERTISEMENT
Sartono Kartodirjo menyebut becak adalah sarana penghubung yang bersifat fleksibel. Dengan adanya sarana pendidikan, pusat perbelanjaan, perkantoran, dan khususnya pasar tradisional dengan jarak yang tidak terlalu jauh di kota Yogyakarta, tidak membutuhkan transportasi cepat. Alasan umum imigran desa memilih becak sebagai pekerjaan mereka adalah pengoperasiannya mudah dengan memiliki konstruksi yang sederhana, tidak memerlukan keahlian khusus atau pengetahuan teknis tertentu sebab sebagian besar para imigran desa berpendidikan rendah, dan kala itu transportasi becak masih menjadi transportasi secara umum di Indonesia.
Terlepas dari alasan tersebut ada alasan-alasan khusus yang didapat dari wawancara Eka Rahayu Manggasari terhadap para pengayuh becak di kota Yogyakarta tahun 2018-2019 dengan sebelas informan. Dari wawancara tersebut disimpulkan bahwa faktor keluarga seperti kewajiban seorang kakak sulung yang harus menafkahi adik-adiknya disebabkan kedua orang tuanya meninggal dan tidak memiliki tanah garapan, ditambah sebagian besar keluarga pengayuh becak tersebut adalah buruh tani, sedang keluarga mereka beranggapan bahwa menjadi buruh merupakan sebuah pekerjaan yang tidak menjanjikan. Dibumbui oleh ajakan teman juga menjadi landasan mereka merantau ke kota dan menjadi tukang becak. Faktor lain seperti pernikahan, pendidikan rendah, kondisi ekonomi dan pengangguran juga menjadi faktor dasar. Pola yang sama terlihat, dari terlahir di keluarga miskin (pekerjaan keluarga adalah buruh), berimbas ke latar belakang berpendidikan rendah menjadi alasan mereka memilih menjadi pengayuh becak.
Sejumlah wisatawan menggunakan transportasi becak di kawasan Malioboro | Foto: Yvesta ayu/Jurnalis lepas Jogja
Pasca periode pendudukan Jepang (1942-1945), berakibat pada hancurnya berbagai alat transportasi umum, kelangkaan bahan bakar dan sulitnya mencari spare parts kendaraan. Akibatnya, alat transportasi seperti sepeda pribadi, becak, dan dokar atau andong menjadi alat transportasi yang semakin dibutuhkan. Dari berbagai kendaraan tidak bermotor itu, yang paling laris dan populer sebagai alat transportasi umum adalah becak. Sebab saat itu harga jasa becak lebih murah daripada andong. Pada 1950an-1960an peran becak sudah terintegrasi dengan kebutuhan transportasi umum perkotaan. Bahkan posisi becak berada di posisi sentral. Pelanggan utama becak adalah para pelajar dan pedagang sayur.
ADVERTISEMENT
Pada 1960an-1970an stabilitas ekonomi Yogyakarta semakin membaik yang berakibat pada perkembangan pesat kota. Malioboro selain menjadi distrik perekonomian Yogya yang dipenuhi oleh pertokoan, hotel, industri kecil, pusat perbelanjaan dan becak. Pada periode ini pula Malioboro dikenal sebagai pusat destinasi wisata lokal maupun luar daerah. Di sini becak berperan sebagai transportasi penunjangnya sekaligus ikon wisata.
Baru pada 1970an, tepatnya tahun 1975, dominasi sepeda bermotor dua “tak” dan kendaraan mobil pribadi menggeser peran becak sebagai alat transportasi. Mobil bak (angkutan umum) mulai menyediakan jasa lebih murah daripada becak. Para pelajar mulai beralih pada kendaraan bermesin baik motor pribadi maupun mobil angkutan umum. Selain dianggap lebih cepat, secara sosial dipandang sebagai sesuatu yang gaul dan mengesankan. Meskipun demikian, becak tetap eksis sebagai ikon wisata Yogyakarta, bahkan berlangsung hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Referensi
Manggasari, Eka R. 2019. "Kota Sebelum Mesin: Yogyakarta Periode 1950an-1970an". Lembaran Sejarah. Vol 15, No. 2. Hal 121-143.