Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Sriwijaya Sebagai Kerajaan Maritim Terbesar Pertama di Nusantara
31 Agustus 2024 11:58 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ageng Rachmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
‘Sriwijaya.., sang maharaja laut, mengarungi samudra waktu dengan kejayaan yang berkilau di perairan Nusantara’, ya.. setidaknya kalimat ini yang cocok menggambarkan gemilaunya kejayaan kemaritiman di Nusantara.
ADVERTISEMENT
Berbicara soal Nusantara, agaknya istilah ini kian lama kian menarik untuk dikaji. Terlebih setelah namanya terpilih menjadi nama Ibu Kota Negara Republik Indonesia yang baru, sejak diumumkannya oleh Presiden Jokowi pada 2019 lalu.
Penggunaan istilah Nusantara sebenarnya tak sebatas merujuk pada satu wilayah administrasi, melainkan seluruh wilayah Asia Tenggara sekarang ini, khususnya bagi negara-negara yang memiliki kesamaan historis tentang keberadaan penguasa yang pernah eksis pada zamannya, seperti salah satunya Kerajaan Sriwijaya (kurun waktu antara abad ke 7-8).
Kerajaan ini didirikan oleh seorang tokoh lokal Melayu di Sumatra, yakni Dapunta Hyang Shri Jayanasa dari Dinasti Syailendra sekitar tahun 670 hingga 1025. Kerajaan ini mendominasi perdagangan di Nusantara sebab kehebatannya dalam memanfaatkan potensi kelautan di selat Malaka yang saat itu merupakan pusat pelayaran paling penting yang menghubungkan pelayaran antara Cina dan India.
ADVERTISEMENT
Medio abad ke 7, Sriwijaya memiliki dua pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan di kawasan pantai Tenggara Sumatera, yakni Palembang dan Jambi. Kedua pelabuhan ini pernah dikunjungi oleh peziarah Buddha dari Cina (I-Tsing) setelah berlayar selama 20 hari. Kemudian ia mengajarkan agama Buddha Mahayana selama tiga tahun sebelum ia kembali lagi ke negara asalnya Cina. Pemilihan kedua pelabuhan tersebut, terutama di wilayah Jambi memiliki keuntungan lebih dalam bidang perdagangan dan pelayaran, sebab dapat menghubungkan langsung ke selat Malaka.
Sebagai kerajaan maritim klasik, Sriwijaya sangat menguasai jalur lalu lintas pelayaran sekaligus perdagangan internasional, bahkan setiap pelayaran dari Asia Barat (Timur Tengah) yang ingin menuju ke Asia Timur, harus melalui daerah kekuasaan Sriwijaya terlebih dulu. Meskipun ancaman dari luar seperti adanya pembajak laut, perampok dan lain sebagainya, kerajaan ini masih mampu menanggulanginya sebab Sriwijaya memiliki bala tentara yang sangat kuat dan disiplin, serta mampu menindas para pemberontak.
ADVERTISEMENT
Awal abad ke 10, sebuah penanda puncak dari kejayaan kerajaan ini. Hal ini ditandai dengan terjalinnya perdagangan maritim antara Sriwijaya dengan pedagang-pedagang Arab, bahkan juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola dari India Selatan. Hubungan ini tidak hanya bertujuan untuk mementingkan dibidang politik dan ekonomi, melainkan juga menjadi satu hubungan yang mampu menyebarkan budaya dan dogma oleh para pedagang-pedagang yang masuk. Seperti upaya penyebaran agama Islam oleh pedagang Arab, dan agama Budha oleh pedagang dari India.
Produk lokal yang menjadi primadona melalui perdagangan maritim Kerajaan Sriwijaya, seperti beras, rempah-rempah, gading, kayu manis, kemenyan, emas, kulit binatang, dan lain-lain. Dalam mencapai target pasar tersebut, Sriwijaya kemudian memperluas wilayah kekuasaannya di perairan Laut Jawa, Laut Banda, bahkan laut timur Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada puncaknya, awal abad 13 ialah momentum akhir dari gemilangnya kerajaan ini. Sriwijaya akhirnya runtuh. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti;
ADVERTISEMENT
Meskipun cerita-cerita ini telah terlampau jauh. Keeksisan dari gemilangnya Sriwijaya sebagai penguasa maritim pertama di Nusantara sudah cukup menjadi bukti tak terbantahkan akan kejayaan nenek moyang kita. Kejayaan mereka adalah bukti nyata bahwa Nusantara pernah menjadi pusat peradaban yang disegani bangsa asing. Hingga kini, kebanggaan itu masih melekat kuat di hati kita, mengingatkan kita akan tanggung jawab untuk menjaga dan terus melanjutkan warisan ini.
Dan akhirnya, tulisan ini meminjam lagu Ibu Soed; ‘nenek moyangku, seorang pelaut’.