Konten dari Pengguna

Fenomena Budaya Tahlilan yang Berkembang di Masyarakat Jawa

Aghnia Putri Silviana
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Jenderal Soedirman.
4 April 2022 15:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aghnia Putri Silviana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tahlilan di Masjid Nurul Jadid, Minggu (27/02/2022)
zoom-in-whitePerbesar
Tahlilan di Masjid Nurul Jadid, Minggu (27/02/2022)
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia terutama di Jawa tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah tahlilan. Acara tahlilan yang berkembang di masyarakat pada umumnya dilaksanakan untuk mendoakan orang yang telah meninggal. Tahlilan sendiri merupakan suatu ritual adat yang telah hidup dari zaman dahulu hingga kini keberadaannya sangat erat dengan nilai-nilai Islam. Akan tetapi, terdapat beberapa masyarakat yang telah meninggalkan budaya tahlilan karena menganggap hal tersebut tidak sesuai dengan teologis maupun budaya yang dipegangnya.
ADVERTISEMENT
Tahlilan berasal dari kata tahlil, kemudian mendapatkan akhiran -an. Tahlil merupakan isim mashdar dari kata hallala, yuhallilu, tahlil yang berarti mengucapkan kalimat la ilaha illallah. Akan tetapi, tahlilan tidak lagi hanya bermakna mengucapkan kalimat la ilaha illallah, melainkan sebuah tradisi yang di dalamnya terdapat sekumpulan orang yang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an, kalimat-kalimat tayibah, serta doa untuk orang yang telah meninggal.
Tahlilan tidak menjadi suatu kegiatan yang diwajibkan secara hukum, tetapi tahlilan telah menjadi suatu kearifan lokal. Sesuatu yang dinamakan kearifan lokal berarti sesuatu yang dianggap arif, bijaksana, atau benar oleh masyarakat lokal. Orang yang tidak melaksanakan tahlilan untuk memeringati kematian anggota keluarganya tidak akan mendapat hukuman secara pidana, tetapi akan mendapatkan gunjingan sosial dari masyarakat sekitar. Pada zaman yang telah maju seperti saat ini, rata-rata masyarakat masih berpendapat betapa pentingnya melakukan tahlilan. Selain untuk menghormati dan mendoakan orang yang telah meninggal, tahlilan juga sering kali dijadikan sebagai ajang silaturahmi antarwarga atau antarkeluarga.
ADVERTISEMENT
Tahlilan secara umum dilakukan pada tujuh hari pertama, empat puluh hari, dan seratus hari setelah kematian. Hal itu akan selaras jika dihubungkan dengan wujud kebudayaan yang berupa kompleks aktivitas atau tindakan berpola dari suatu masyarakat. Selain itu, orang-orang yang menghadiri tahlilan biasanya akan mendapatkan hidangan yang akrab dikenal dengan berkat atau buku yasin sebagai peringatan hari keempat puluh setelah seseorang meninggal. Berkat dan buku yasin tersebut juga tergolong ke dalam wujud kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya buatan manusia.
Keberadaan tahlilan berkaitan dengan sebuah tradisi. Dari fakta tersebut, dapat dikaji melalui sejarah tentang awal mulanya muncul tradisi di Indonesia. Telah diketahui bahwa nenek moyang Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu proto dan deutro melayu. Nenek moyang Indonesia telah mengenal sistem kepercayaan sejak zaman neolitikum. Akan tetapi, bukti-bukti bahwa nenek moyang telah mengenal sistem kepercayaan, khususnya animisme banyak ditemukan di zaman megalitikum, seperti menhir, dolmen, sarkofagus, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Jika pada zaman megalitikum sesajen diletakkan di dolmen, maka dalam tahlilan sebagian besar orang-orang yang hadir biasanya diberikan jinjingan atau berkat. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa tradisi nenek moyang masih tetap dipakai, tetapi pada zaman sekarang pelaksanaannya telah diubah agar berterima oleh masyarakat. Hidangan yang pada zaman dahulu dijadikan untuk sajen para leluhur, kini mengalami perubahan konsep menjadi sebuah hidangan yang ditujukan sebagai rasa terima kasih terhadap orang-orang yang telah hadir pada acara tahlilan.
Pada zaman dahulu, masyarakat baru mengenal sistem ritual atau upacara keagamaan ketika Hindu dan Buddha masuk ke nusantara. Maka dari itu, tahlilan pun awalnya berasal dari upacara peribadatan nenek moyang Indonesia yang beragama Hindu dan Buddha. Lalu, bagaimana caranya tahlilan menjadi sebuah budaya yang berbau Islam?
ADVERTISEMENT
Dinamika kehidupan masyarakat sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu agama dan budaya lokal. Kedua hal tersebut bertindak saling memengaruhi. Agama yang tidak sesuai dengan budaya lokal akan sulit masuk atau diterima oleh masyarakat. Begitu juga dengan budaya lokal yang tidak sesuai dengan agama akan dianggap sebagai budaya sesat bahkan ditolak oleh masyarakat. Seperti ketika di nusantara berkuasa kerjaan-kerajaan Hindu dan Buddha, maka kebudayaan yang ada akan ikut terpengaruh. Begitu juga ketika kerajaan-kerajaan Islam berkuasa, maka kebudayaan yang awalnya terpengaruh Hindu dan Buddha akan berubah karena pengaruh Islam. Namun, tidak semua pengaruh Hindu dan Buddha hilang dari budaya nusantara. Maka dari itu terdapat kebudayaan yang merupakan hasil akulturasi antara Hindu dan Buddha dengan Islam.
ADVERTISEMENT
Tahlilan yang awalnya merupakan budaya hasil dari pengaruh Hindu dan Buddha berubah ketika pengaruh Islam masuk. Wali sanga memutuskan untuk menjadikan tahlilan sebagai media dakwah dan mengajak manusia melakukan takziah untuk mendoakan orang yang meninggal serta yang ditinggalkan. Maka dari itu, hingga sekarang tahlilan erat kaitannya dengan Islam. Hal itu dikarenakan upaya para wali dan setelah itu tidak ada lagi pengaruh agama yang kuat selain Islam yang mempengaruhi budaya di nusantara. Bisa saja, jika saat itu Hindu dan Buddha kembali bangkit ada kemungkinan tahlilan akan berubah menjadi budaya yang berkaitan erat dengan tata cara upacara Hindu dan Buddha.
Indonesia dapat disebut sebagai negara dengan sejuta kebudayaan yang dimilikinya. Kebudayaan-kebudayaan tersebut sebagian besar lahir karena pengaruh pada zaman dahulu yang jauh dari nilai-nilai yang dianggap benar pada saat ini. Indonesia sangat didominasi masyarakat yang beragama Islam, sehingga banyak kebudayaan yang sedikit dirubah agar diterima oleh masyarakat. Hal yang berkaitan dengan sihir, mantra, atau sesajen pada sebuah kebudayaan sudah banyak dihilangkan agar tidak bertolak belakang dengan keyakinan masyarakat.
ADVERTISEMENT