Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perilaku FOMO di Pegunungan, BAB Sembarangan Merusak Lanskap Sosial Pendakian
25 September 2024 11:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Agil Septiyan Habib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era serba digital seperti sekarang, pendakian bukan lagi sekadar kegiatan fisik belaka, melainkan sudah bertransformasi menjadi sebuah ajang eksistensi pelakunya. Para pendaki membawa kamera, gawai, tapi seringkali lupa membawa tanggung jawab ekologis. Fenomena inilah yang mengarah pada perilaku FOMO (Fear of Missing Out) yang sering membuat pendaki lebih fokus mengabadikan momen daripada memahami pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian alam.
ADVERTISEMENT
Dan salah satu contoh yang cukup memprihatinkan adalah kebiasaan buang air besar (BAB) sembarangan di area gunung, misalnya yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang belakangan viral. Tindakan yang mungkin tampak sepele ini ternyata menghadirkan dampak ekologis sangat besar.
Selain itu, perilaku tidak bertanggung jawab ini juga menyiratkan persoalan sosial yang lebih mendalam, yakni bagaimana hasrat untuk "eksis" telah mengalahkan kesadaran ekologis dan sosial seseorang.
Mungkin terdengar aneh untuk mengaitkan FOMO dengan perilaku buang air di gunung. Namun, penelitian dalam Tourism Management Perspectives menunjukkan bahwa perilaku pariwisata yang berorientasi pada eksistensi sering mengorbankan pertimbangan jangka panjang terkait kelestarian lingkungan.
Tak jarang, pendaki hanya ingin “terlihat” sebagai bagian dari komunitas petualang, tanpa memahami makna mendalam dari pendakian itu sendiri. Mereka lupa bahwa setiap tindakan di alam terbuka, sekecil apapun, berdampak pada ekosistem.
ADVERTISEMENT
Sebuah pepatah Latin mungkin relate dengan fenomena ini, "Omnia mutantur, nihil interit." (Semua berubah, tetapi tidak ada yang benar-benar lenyap.) Tindakan kecil seperti buang air sembarangan mungkin tampak hilang, tetapi dampaknya terhadap lingkungan akan bertahan lama, mengubah kualitas tanah, air, dan keseimbangan ekosistem.
Atas dasar inilah, penting untuk mempertanyakan, apakah FOMO ini adalah refleksi dari sikap tidak peduli terhadap lingkungan?
Antara Eksistensi dan Kesadaran Sosial
Ketika mendaki gunung, ada kontradiksi menarik antara keinginan untuk eksis dan tuntutan sosial untuk menjaga lingkungan. Dalam teori FOMO yang diuraikan di jurnal Social Science & Medicine, orang-orang cenderung mengikuti arus dan menunjukkan diri mereka sebagai bagian dari tren terkini. Bahkan jika itu berarti mengorbankan prinsip dan norma.
ADVERTISEMENT
Di lingkungan pegunungan, tindakan seperti meninggalkan sampah atau buang air sembarangan dapat dianggap "normal" oleh sebagian pendaki, terutama jika lingkungan sosial mereka tidak menegur atau menantang perilaku tersebut.
Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana pendakian berubah menjadi panggung sosial di mana status diukur bukan hanya dari kemampuan mendaki, tetapi juga dari jumlah foto yang diunggah ke media sosial.
Sayangnya, aspek ini seringkali menenggelamkan pesan penting tentang kelestarian alam yang harusnya menjadi prioritas utama. Orang lebih peduli pada like dan komentar, daripada jejak ekologis yang mereka tinggalkan di alam. Dengan demikian, pendakian yang dulunya sarat dengan nilai perenungan, kini berubah menjadi ruang kompetisi sosial.
Tanggung Jawab Kolektif dalam Pelestarian Alam
Namun harus diingat Bahwa tidak semua pendaki abai terhadap lingkungan. Ada komunitas pendaki yang memiliki kesadaran ekologis tinggi dan berusaha menjaga kelestarian alam. Mereka ini seringkali berperan sebagai pengingat bagi pendaki lain agar tidak meninggalkan sampah, menjaga kebersihan, bahkan mengedukasi tentang cara buang air yang benar di alam bebas.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, tanggung jawab kolektif sangatlah penting. Hal ini juga sejalan dengan konsep "Social Learning" yang diuraikan dalam berbagai literatur lingkungan. Melalui interaksi sosial yang baik, pendaki baru dapat belajar dari yang lebih berpengalaman, dan akhirnya kebiasaan baik dalam menjaga lingkungan akan menyebar.
Kesadaran kolektif ini harus lebih ditekankan kepada kalangan pendaki muda yang cenderung lebih mudah terpengaruh oleh media sosial dan FOMO. Penting bagi komunitas pendaki untuk terus menyuarakan pentingnya perilaku bertanggung jawab di alam, karena satu tindakan buruk dapat mencemari seluruh gunung.
Apalagi di gunung seperti Gunung Gede, yang merupakan habitat bagi spesies endemik dan sumber air bersih bagi kawasan sekitarnya. Kerusakan ekosistem akibat perilaku FOMO ini akan berdampak jangka panjang, baik bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar.
Perilaku FOMO dalam pendakian bukan hanya soal ingin eksis, tetapi juga soal bagaimana kita mendefinisikan hubungan kita dengan alam. Jika perilaku ini dibiarkan tanpa kendali, bukan hanya ekosistem yang akan rusak, tetapi juga hubungan sosial kita dengan alam yang kian renggang.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi di Gunung Gede perihal tindakan tidak pantas oleh oknum pendaki yang buang hajat di area sumber mata air perlu diberikan sanksi tegas, atau setidaknya sebuah sanksi sosial agar para pendaki lain yang demam eksistensi tidak ikut kalut melakukan aksi serupa demi sebuah popularitas yang sebenarnya tidak mencerminkan integritas seorang pendaki yang kerap dilabeli sebagai pecinta alam.
Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib