Konten dari Pengguna

Apa Dampak Kebijakan Sakoku bagi Masyarakat Jepang di Era Modern?

Agis Dian Kurona
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Ilmu Komunikasi.
12 November 2024 7:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agis Dian Kurona tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Agis Dian Kurona*
Sebuah kawasan modern di Tokyo. Sumber: Pexels/I Am The Girl 🫶🏻.
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah kawasan modern di Tokyo. Sumber: Pexels/I Am The Girl 🫶🏻.
Sejarah Jepang diwarnai oleh sebuah periode panjang yang unik, yakni kebijakan Sakoku, atau “Politik Isolasi”, yang berlangsung dari abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19. Selama lebih dari dua abad, pemerintahan Tokugawa menutup diri dari dunia luar dalam upaya menjaga stabilitas internal dan melindungi budaya Jepang dari pengaruh asing yang dianggap merusak. Meskipun kebijakan ini resmi berakhir pada tahun 1853 setelah “Pembukaan Jepang” oleh Komodor Matthew Perry, dampaknya tetap terasa di kalangan masyarakat Jepang hingga kini. Di era modern, di mana globalisasi dan keterbukaan menjadi norma, apakah jejak Sakoku masih relevan dalam membentuk identitas Jepang?
ADVERTISEMENT
Menarik untuk melihat bagaimana jejak mentalitas isolasi ini tercermin dalam berbagai aspek masyarakat Jepang modern. Di satu sisi, Sakoku mengajarkan Jepang untuk mengembangkan keunikan budaya, kemandirian ekonomi, dan kekuatan nasional tanpa ketergantungan pada bangsa lain. Selama periode ini, Jepang berhasil memurnikan budaya dan identitasnya sendiri, membangun tradisi unik yang kaya akan nilai estetika, seperti seni ikebana, kabuki, dan teknik pedang samurai. Di era modern, dampak dari kebanggaan budaya ini masih terlihat jelas dalam cara masyarakat Jepang menjaga tradisi, menghormati adat istiadat, dan membanggakan produk-produk yang mencerminkan identitas Jepang, seperti kerajinan tangan dan teknologi canggih yang dihasilkan dari penelitian mandiri.
Namun, ada sisi lain dari warisan Sakoku yang seolah berkontradiksi dengan semangat globalisasi yang kini menguasai dunia. Banyak pengamat mencatat bahwa masyarakat Jepang cenderung lebih konservatif dan berhati-hati dalam menerima pengaruh asing, termasuk dalam hal imigrasi, budaya pop, bahkan inovasi teknologi yang berasal dari luar. Hal ini dapat dilihat pada sikap masyarakat yang secara kolektif menahan diri dari perubahan besar, baik dalam sistem politik maupun kebijakan sosial. Meskipun bukan negara yang sepenuhnya tertutup, Jepang relatif lambat dalam menerima gagasan multikulturalisme, hingga kini memiliki salah satu tingkat imigrasi terendah di dunia. Sikap hati-hati ini sebenarnya merupakan cerminan dari kebijakan Sakoku di masa lalu, di mana keterbukaan dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas internal dan identitas nasional.
ADVERTISEMENT
Foto para pekerja di Jepang dengan umur yang beragam. Sumber: Pexels/Will Wright
Di tengah ketergantungan global saat ini, kekhawatiran terhadap perubahan dapat membatasi perkembangan Jepang dalam menghadapi tantangan modern. Isu ketenagakerjaan, misalnya, menjadi salah satu dampak nyata dari sikap tertutup terhadap imigrasi, di mana jumlah tenaga kerja lokal yang menurun akibat penuaan populasi membuat Jepang membutuhkan lebih banyak pekerja asing. Meski pemerintah Jepang perlahan mulai membuka diri pada pekerja asing melalui program visa kerja, masyarakat secara umum masih bersikap skeptis terhadap gagasan ini. Akibatnya, Jepang kini dihadapkan pada dilema antara mempertahankan nilai-nilai yang diwarisi dari Sakoku dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan global yang terus berkembang.
Selain itu, warisan Sakoku juga memengaruhi cara masyarakat Jepang memandang diri mereka di kancah internasional. Meski Jepang diakui sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia, ada kesan bahwa masyarakat Jepang cenderung melihat diri mereka berbeda atau “terpisah” dari negara-negara lain. Contoh yang jelas adalah dalam hal budaya kerja. Mentalitas gaman, atau bertahan dalam situasi sulit tanpa mengeluh, adalah contoh nilai yang berasal dari tradisi kesetiaan dan ketahanan diri selama periode isolasi. Nilai ini membuat Jepang dikenal akan etos kerja yang luar biasa. Namun, di sisi lain, nilai ini menciptakan tantangan kesehatan mental yang serius di kalangan pekerja Jepang, dengan tingkat kelelahan dan tekanan yang tinggi akibat budaya kerja yang menuntut mereka untuk terus bekerja keras tanpa kenal lelah.
ADVERTISEMENT
Jejak dari kebijakan Sakoku mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan antara menjaga identitas budaya dengan membuka diri pada dunia luar. Jepang mungkin masih bisa belajar dari masa isolasi mereka untuk merumuskan pendekatan yang lebih dinamis dalam menghadapi globalisasi, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang mereka junjung tinggi. Sebagai negara yang kuat secara ekonomi dan teknologi, Jepang memiliki kesempatan untuk menjadi teladan dunia dalam mengelola tradisi dan modernitas secara seimbang. Menjaga kearifan lokal sambil terbuka terhadap gagasan baru mungkin adalah kunci bagi Jepang untuk terus maju dan relevan di kancah internasional, tanpa harus terjebak pada mentalitas isolasi.
Pada akhirnya, perjalanan Jepang dari Sakoku hingga kini adalah pelajaran penting bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Di tengah era globalisasi, masyarakat global harus pandai memilih dan memilah pengaruh asing mana yang akan memperkaya budaya dan identitas nasional, serta kapan harus menjaga kearifan lokal sebagai harta yang harus dilindungi. Keseimbangan antara keterbukaan dan keteguhan pada nilai-nilai tradisi adalah kunci bagi keberhasilan bangsa dalam menghadapi arus perubahan global, dan Jepang telah mengajarkan kepada kita bagaimana kebijakan dari masa lalu dapat membentuk identitas bangsa di masa kini.
ADVERTISEMENT
*Penulis Adalah Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Kom, FISIP Untirta.