Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Teman yang Orang Sebut Aneh
11 Juli 2021 5:40 WIB
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:01 WIB
Tulisan dari Agnesia Upany Nadenggan Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
“Ketika seseorang menemuimu untuk pertama kalinya dan ingin berteman dengan mu, apa hal yang kamu harapkan mereka katakan?” Ucap seorang lelaki pada seorang anak bernama Timmy dalam video yang diunggah di YouTube pada 11 Oktober 2017 silam itu. Pertanyaan tersebut adalah penanda munculnya satu lagi teman baru dalam kanal youtuber bernama Special Books by Special Kids yang sudah 4 tahun dijalankan oleh seorang lelaki 32 tahun bernama Christopher Ulmer.
ADVERTISEMENT
Bersama dengan istrinya, Alyssa Porter di sebuah apartemen kecil dekat pantai di Florida, ia memulai kanal tempatnya membagikan momen berharga yang ia habiskan bersama teman-temannya itu kepada dunia untuk diketahui.
Teman, begitulah caranya menyebut orang-orang terdiagnosa yang ia datangkan untuk berbincang dalam videonya itu. Bukan hanya sekadar rekayasa di depan kamera saja, melainkan ia memang menjalin hubungan khusus antara dirinya dan narasumber yang ia datangkan selayaknya teman. Terlihat dari keterbukaan dan kenyamanan para narasumbernya kepadanya yang terlihat sangat alami, tidak dibuat-buat.
Kedekatan ini tentunya tidaklah terjadi begitu saja. Dari beberapa anak yang memiliki diagnosa tersebut, sebagian pernah menjadi muridnya di sebuah sekolah khusus. Berawal dari merekam kegiatan mereka di hari Jumat yang mereka sebut dengan “Music Friday”, di hari itu Chris akan membawa gitar mengiringi anak-anak itu bernyanyi dan menari di depan kelas.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, kegiatan itu yang direkam oleh Chris untuk dibagikan ke orang tua masing-masing. Namun, tidak disangka respons para orang tua justru sangat senang dengan video tersebut. Semenjak itu, membuat video setiap hari Jumat menjadi agenda mingguan bagi Chris yang lama kelamaan membawanya menjadi terbiasa dengan anak-anak itu setelah sebelumnya sempat kesulitan untuk melakukan interaksi dengan mereka.
Ia mendapatkan dirinya menjadi dapat berinteraksi dengan mereka, mengerti mereka mulai dari kemampuan intelejensi hingga humor dan menjalin kedekatan dengan mereka. Hal itu yang membawanya para pemikiran, apakah semua orang juga bisa mendapatkan apa yang aku dapatkan dari orang orang ini? Saat itulah ide untuk membuat Special Kids by Special Books terbentuk.
ADVERTISEMENT
Awalnya ia tidak berencana membuat siaran YouTube, tetapi ia ingin membuat buku yang berisi tentang pandangan anak-anak itu tentang hidup. Tak lupa, ia meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua para anak untuk dapat menggunakan tulisan tentang anaknya. Ia pun menyusun proposal dan sampel lalu mengajukannya pada penerbit. Sayangnya, nasib tidak berpihak padanya. Ia ditolak mentah-mentah oleh 50 penerbit.
Alih-alih menyerah dan pasrah, Chris pun mengambil jalan lain yaitu dengan membuka laman Facebook. Di sana ia mengunggah beberapa video rekamannya dengan anak-anak di kelas yang berujung mendapatkan perhatian lumayan banyak dari para pengguna aplikasi tersebut. Setelah 6 bulan video-video tersebut diunggah, akun itu memiliki sekitar 50.000 pengikut dan salah satu videonya diambil oleh ABC World News yang membuat pengikut mereka naik meroket menjadi 150.000 pengikut dalam satu malam.
ADVERTISEMENT
Ia pun akhirnya menerima banyak pesan dari seluruh dunia meminta nya untuk melakukan wawancara. Pada awalnya ia tidak mengabaikan tawaran itu karena ia masih menjadi tenaga pengajar penuh. Namun, beberapa minggu kemudian ia pun mulai berpikir. Bagaimana jika orang-orang ini adalah tetanggaku? Bagaimana jika mereka adalah orang dengan komunitas yang sama dengan ku? Pertanyaan pertanyaan tersebut mulai menghantuinya.
Hal itupun menghantarkannya pada dimulainya kunjungan ke rumah-rumah pengirim pesan yang berada di Jacksonville, Florida. Tempat tinggalnya saat itu. Ia melakukan kunjungan diluar jam mengajarnya untuk melakukan wawancara dengan beberapa orang diluar sekolahnya dari berbagai umur dengan berbagai diagnosis untuk dibagikan di laman Facebooknya itu. Namun, sesekali ia masih menyisipkan video anak-anak muridnya di kelas.
ADVERTISEMENT
Laman itu pun berkembang selama kurang lebih 4-5 bulan dengan pengikut yang bertambah hingga menjadi 400.000 orang dan disaat yang bersamaan pula masa mengajarnya habis. Tidak terasa tiga tahun telah ia habiskan bersama dengan anak-anak itu, yang mana mereka akan lulus. Oleh karena itu, ia pun mengambil keputusan untuk melanjutkan Special Books by Special Kids berkembang lebih besar dengan bekerja penuh pada laman Facebooknya dan meninggalkan sekolah khusus.
Ia memiliki cita-cita besar pada konten yang ia unggah yaitu akan menjadi jembatan bagi orang dengan diagnosis dan orang normal pada umumnya. 2 tahun kemudian akun tersebut terus berkembang hingga memiliki sebanyak 1,5 juta pengikut. Hal tersebut membawanya pada keinginan yang lebih besar lagi untuk membuat video yang lebih panjang untuk diunggah mengingat Facebook sebagai aplikasi media sosial yang hanya dapat membagikan video pendek saja. Maka tercetuslah kanal YouTube Special Books by Special Kids.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang menyangka dirinya akan menjadi seorang pengajar pendidikan khusus hingga kemudian beralih menjadi seorang youtuber. Membagikan momen terbaiknya bersama teman-temannya yang terdiagnosa dengan penyakit langka dan berbagai disfungsi tubuh bahkan hingga sampai menyandang predikat advokat hak-hak distabilitas Amerika.
Padahal jika dulu ibunya bilang ia juga akan menjadi guru sama seperti ibunya, ia selalu menyanggah. Meskipun terbukti hal tersebut benar karena sebelumnya ia juga berkecimpung dalam dunia pengajaran yaitu sebagi pelatih bola di sebuah kampus di kota kecil Kentucky.
Kalau saja ia tidak menerima beasiswa yang diberi direktur atletik kampus pada saat ia menjadi pelatih saat itu, mungkin saja tidak akan sampai dia pada dirinya yang sekarang. Tidak juga ia lakukan hal yang ia cintai ini. Bagi Christopher, tidak akan ada yang memberikannya kebahagiaan yang lebih besar daripada membantu teman-temannya itu.
ADVERTISEMENT
Mengingat delapan tahun lalu saat memasuki kelas pertamanya, ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya. Ia yang tidak memiliki pengalaman dan bahkan hanya melakukan pengajaran karena tuntutan kelulusan mau tidak mau harus membawa kelas itu di bawah kendalinya.
Ia melihat anak-anak dengan berbagai diagnosa seperti autisme, asperger, agenesis corpus callosum dan cedera otak traumatis dengan usia mulai 7-10 tahun di kelas itu. Mereka yang memukul meja, berteriak, dan melompat-lompat merupakan pemandangan yang sangat tidak masuk akal bagi chris.
Namun, hal itu membawa Chris pada satu pengalaman terbesarnya yang membuat ia memiliki tekad yang kuat untuk menjadi seorang pengajar. Ia dipertemukan dengan Emma yang memiliki diagnosis gangguan apraxia. Gangguan apraxia adalah gangguan bicara yang tidak biasa di mana seorang anak mengalami kesulitan membuat gerakan yang akurat ketika berbicara.
ADVERTISEMENT
Ia dapat berpikir seperti orang pada umumnya namun memiliki kesulitan dalam penyampaiannya sehingga dalam berkomunikasi ia cenderung memerlukan waktu lebih lama dari orang pada umumnya. Oleh karena itu, anak ini cenderung akan menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan padanya dengan kata “Tidak tahu. Saya tidak tahu”.
Pada kenyataannya anak ini tahu jawabannya, tetapi karena ia membutuhkan waktu yang lama untuk mengungkapkannya, ia pun mengambil jalan termudah yaitu menjawabnya dengan kata tidak tahu. Chris pun mencari cara untuk dapat mengubah kebiasaan anak itu. Ia mulai menanamkan kepercayaan kepada anak itu.
“Saya mengambil waktu berhenti untuk memikirkan dan mengatasi diagnosisnya. Saya membangun kepercayaan padanya dalam hubungan kami” ujar Chris. Itu juga membutuhkan waktu yang lama untuk dilakukan.
ADVERTISEMENT
Selama 3 tahun Chris mencoba membangun kepercayaan dan hal tersebut membuahkan hasil. Dengan menanamkan kepercayaan itu, si anak mengerti bahwa dalam kelas Chris, hal yang paling dibutuhkan adalah menjawab jika ia tahu. Pada akhirnya si anak pun mulai memberikan respons baik yaitu menjawab pertanyaan Chris di tiap presentasi.
Banyak anak yang kini telah tergabung dalam kanalnya itu. Semua memiliki kisahnya dan chemistry-nya masing-masing baik secara pribadi maupun bersama Chris. Hal itu berawal dari kata kecil "teman" yang selalu di tanamkan Chris pada orang-orang yang terdiagnosa itu. Kamu ingin tahu bagaimana cara Chris memulainya? Mudah sekali. Bertanya.
“Ketika seseorang menemuimu untuk pertama kalinya dan ingin berteman dengan mu, apa hal yang kamu harapkan mereka katakan?” tanya Chris dalam setiap wawanacara dalam videonya. Kemudian hampir seluruh dari mereka akan menjawab dengan jawaban yang sangat mudah, "Hai".
ADVERTISEMENT
(Agnesia Upany Nadenggan Siregar, mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta)