Konten dari Pengguna

Melihat Kehidupan Korban Penggusuran di Rusun Rawa Bebek

ATP
Juru Ketik
8 November 2017 16:53 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ATP tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rusun Rawa Bebek (Foto: Agritama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rusun Rawa Bebek (Foto: Agritama/kumparan)
ADVERTISEMENT
Siang tadi saya berkesempatan mengunjungi Rumah Susun Rawa Bebek di Jalan Inspeksi Kanal Timur, Cakung, Jakarta Timur. Saya ingin melihat para penghuni rusun yang konon dulunya korban penggusuran itu dan kini hidup layak di rusun.
ADVERTISEMENT
Ketika menginjakkan kaki di depan rusun, saya disambut oleh tawa anak-anak yang sedang bermain di RPTRA Rawa Bebek yang terletak persis di depan rusun.
“Ya anak-anak mana ngerti, Bang. Mereka mah seneng-seneng aja pindah ke sini, ada tempat mainnya. Kita ini yang pusing. Di sini semuanya bayar," selorong Aldi (21), salah seorang penghuni rusun.
Rusun Rawa Bebek. (Foto: Agritama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rusun Rawa Bebek. (Foto: Agritama/kumparan)
Aldi bekerja sebagai sopir angkot di kawasan Bukit Duri, lokasi tinggalnya dulu sebelum digusur oleh Pemprov DKI. Setiap pagi, dia harus bolak-balik rusun Rawa Bebek-Bukit Duri yang berjarak kurang lebih 20 Km.
“Saya masih kerja jadi sopir angkot di Bukit Duri, Bang. Jaraknya lumayan jauh. Saya enggak tahu mau kerja apa di sini. Jadi ya terpaksa bolak balik. Tapi emang capek banget sih, Bang," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Aldi juga mengeluhkan biaya hidup yang dirasa jauh lebih tinggi dibanding ketika ia masih tinggal di Bukit Duri.
“Saya kerja jadi sopir angkot, Bang. Tiap hari paling cuma dapet gocap (Rp 50.000). Di sini saya tinggal di lantai 5, per bulan mesti bayar Rp 200.000. Belum lagi buat token listrik sama air PAM," ujarnya.
Rusun Rawa Bebek. (Foto: Agritama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rusun Rawa Bebek. (Foto: Agritama/kumparan)
Persoalan yang sama juga dikeluhkan oleh Dede (40 tahun), penghuni rusun yang juga korban penggusuran Bukit Duri. Kehidupan Dede berubah. Tiap harinya Dede mesti bolak balik rusun Rawa Bebek-Bukit Duri untuk bekerja sebagai tukang kusen kayu.
“Saya tiap hari mesti ke Bukit Duri. Anak saya juga masih sekolah di sana. Sekarang sih, TransJakarta masih gratis. Tapi kan enggak mungkin selamanya bakal gratis. Entar kalau udah mulai bayar, tambah puyeng deh kita," kata Dede.
ADVERTISEMENT
Dede yang menghuni kamar rusun termurah, juga mengeluhkan persoalan biaya hidup. Ia menuturkan bahwa para penghuni rusun sedang memperjuangkan agar mereka tidak perlu membayar uang sewa.
“Kalau kamar saya nih yang paling murah Rp 200.000 per bulan, tambah token sama air PAM, jadi sekitar Rp 450.000. Belum lagi buat ongkos jajan anak saya sekolah ke Bukit Duri," ujarnya.
Rusun Rawa Bebek. (Foto: Agritama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rusun Rawa Bebek. (Foto: Agritama/kumparan)
Ketika saaya sedang menunggu ojek, saya mendengar bisik-bisik dari dua orang ibu-ibu asal Bukit Duri yang sedang menunggu Bus TransJakarta. Bus ini memang disediakan untuk para penghuni rusun.
“Yang dari Pasar Ikan kasian banget ya. Jauh banget Pasar Ikan. Bisa dua jam dari sini. Udah jauh macet lagi," celetuk mereka.
ADVERTISEMENT
Tak berselang lama Bus TransJakarta datang. Semua penghuni rusun bergegas menaiki bus. Dari dalam rusun tampak seorang nenek berlari-lari kecil mengejar bus.
“Pasar Ikan bukan ini? Pasar Ikan bukan?," ujarnya
Ketika tahu kalau bus Transjakarta tidak menuju Pasar Ikan, si nenek pun berteriak kesal. “ Yah, Pasar Ikan mah lama“," ujarnya diselingi tawa penghuni rusun lain.